Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Sisi lain Maradona yang belum terpublikasikan dihadirkan via sebuah dokumenter. Hidupnya berada di lingkaran setan.
SENIMAN kanvas lapangan hijau jempolan itu menyapa sekira 75 ribu fans Napoli di Stadion San Paolo, 5 Juli 1984. Gemuruh chant “Diego!…Diego!” menyambut sang bintang itu, Diego Armando Maradona. Ia dipuja bak juru selamat buat Il Partenopei, julukan Napoli.
Adegan itu jadi salah satu highlight dalam film dokumenter bertajuk Diego Maradona: Rebel, Hero, Hustler, God garapan Asif Kapadia, sineas yang juga meracik dokumenter mendiang pembalap Ayrton Senna (Senna, 2010) dan musisi Amy Winehouse (Amy, 2015) yang mendatangkan Piala Oscar.
Dokumenter berdurasi 130 menit ini baru bisa disaksikan dalam salah satu program screening di Festival Film Cannes, Minggu (19/5/2019). Bagi yang penasaran, saat ini baru sekadar bisa mengintip trailer resminya berdurasi dua menit lantaran baru akan diedarkan resmi pada 14 Juni 2019. Di situ, Asif lebih dulu ingin membangkitkan euforia saat Maradona disambut riuh puluhan ribu tifosi Napoli.
Tak ketinggalan ia juga menyisipkan masa kecil Maradona yang hidup dalam ekonomi sulit, di mana bola jadi mainan termahal baginya. Bola yang selalu ia peluk saat tertidur di salah satu rumah sangat sederhana di pemukiman kumuh Buenos Aires, Argentina. “Buat saya bola adalah mainan terindah. Bola menjadi sumber kehidupan saya,” sebut Maradona dalam trailer itu.
Bintang asal Argentina itu memang sedang memasuki puncak kariernya saat hengkang dari La Liga bersama Barcelona dan berlabuh ke Serie A bersama Napoli. Cerita selanjutnya sudah diprediksi sejak lama: Napoli mendobrak hegemoni para raksasa Serie A asal utara (Juventus, Inter Milan, AC Milan) dan tengah (AS Roma).
Baca juga: Darah Daging Fasisme Italia Menggebrak Eropa
Sepanjang bersama Napoli, Maradona menambah lima titel ke lemari gelar klub: Scudetto Serie A 1986-1987 dan 1989-1990, Coppa Italia 1986-1987, UEFA Cup (kini Europa League) 1988-1989 serta Supercoppa Italiana 1990. Namun bukan ini yang jadi intisari Diego Maradona. Kapadia tak ingin filmnya berpusar pada prestasi, melainkan bagaimana hidup seorang Maradona tak lagi sama setelah hijrah dari Barcelona di Katalan, Spanyol ke Napoli di Campania, Italia.
Sejak kepindahan itu, kehidupan Maradona tak sekadar dalam lingkaran sepakbola lagi. Camorra, organisasi mafia yang berpusat di Napoli, sudah menyeretnya ke dalam lingkaran dunia hitam.
Kapadia mengaku, ide itu didapatnya saat tengah melakukan finishing proyek Senna. Obsesinya terhadap Maradona makin kuat setelah produser Paul Martin mendapat akses terhadap arsip video Maradona berdurasi 500 jam yang belum pernah terpublikasikan. Ia lantas menggabungkannya dengan wawancara langsung dengan Maradona.
Baca juga: Seteru Sengit di Sirkuit
Maka dalam trailer-nya, beberapa potongan gambarnya tetap nyampur antara footage berwarna dan hitam putih. Iringan musik yang nge-beat saat muncul gambar Maradona di Stadion San Paolo seketika berubah getir lewat lantunan biola klasik saat potongan gambar beralih ke masa-masa gelap Maradona di Napoli, garapan editor Chris King.
Bicara arsip-arsip video, koleksi itu sebelumnya berada terpisah di Argentina dan Italia. Mengutip Deadline, 18 Mei 2019, video-video itu sebelumnya direkam dua tim kameramen yang dipekerjakan agen dan manajer Maradona, Jorge Cyterszpiler. Selain untuk rencana membuat film tentang Maradona, gambar kamera dan video itu diambil sebagai langkah preventif kalau Maradona jadi korban penculikan mafia.
Tantangan sesungguhnya dalam produksinya adalah saat menanyakan hal-hal sensitif terkait mafia kepada Maradona. “Anda punya nyali menanyakan hal-hal ini langsung pada saya. Kebanyakan orang akan bicara di belakang saya. Oleh karenanya saya respek pada Anda’,” ujar Maradona sebagaimana ditirukan Kapadia. Sejak itu, wawancara berjalan lebih mengalir.
Dinaungi Mafia, Dihantui Narkoba
Kapadia memang tak menjelaskan detail lantaran belum waktunya film tayang. Namun jika menengok beberapa catatan lain soal kehidupan Maradona di Napoli, hidupnya benar-benar tak lepas dari lingkaran setan mafia Camorra, utamanya dari Klan (keluarga) Giuliano.
Jangankan saat sudah berseragam Napoli, jamahan tangan Camorra sudah terasa saat Maradona berhasil diboyong dari Barcelona. Wartawan investigasi asal Inggris Jimmy Burns dalam Maradona: The Hand of God menyingkap soal bagaimana Napoli menyisihkan Juventus yang juga kepincut Maradona, serta menangkal tawaran Barca memperpanjang kontrak di periode transfer musim panas 1984.
“Negosiasi transfer Maradona dibicarakan dalam sejumlah pertemuan rahasia antara Juliano dan Cyterszpiler, baik di Barcelona maupun di Pulau Ischia pada Mei hingga Juni 1984. Selanjutnya jelang akhir masa transfer, Maradona menolak tawaran (petinggi Barcelona, Joan) Gaspart. Sebelum deadline tutup transfer 29 Juni, Maradona meneken kontrak bernilai USD6,4 juta untuk sang pemain dan USD13 juta untuk Barcelona,” tulis Burns.
Saat konferensi pers pertama Maradona di Stadion San Paolo, 5 Juli 1984, gosip tentang adanya sokongan dana dari mafia Camorra sempat bikin marah Presiden Napoli Corrado Ferlaino. Pertanyaan itu datang dari jurnalis Prancis Alain Chaillou dan seketika ia digiring personel keamanan ke luar ruang preskon.
Baca juga: Petaka Pasadena
“Ferlaino tampak marah dan menunjuk pintu keluar. ‘Pertanyaan Anda menghina kami. Napoli adalah kota yang jujur. Sebagai presiden klub, saya meminta Anda pergi’,” kata Ferlaino dikutip Burns. Bisa jadi luka lama terasa nyeri lagi lantaran paman Ferlaino dibunuh salah satu klan mafia Camorra.
Ferlaino sendiri sesungguhnya tak pernah tertarik pada Maradona. Ketertarikan pada Maradona justru muncul dari Juliano, direktur olahraga Napoli yang sudah lama memantaunya. Ferlaino justru bernafsu memboyong tiga pemain asing dari Inter Milan.
“Pada menit-menit akhir deadline, Ferlaino mengirim amplop tertutup berisi nama tiga legiun asing Inter Milan ke otoritas liga. Tapi ketika otoritas liga mengumumkan dan mencatat nama-nama transfer yang muncul dari amplop Napoli, hanya nama Diego Maradona,” sambung Burns.
Amplop Ferlaino ternyata sudah lebih dulu ditukar oleh kurir misterius yang menyusup ke kantor ofisial liga. Ditengarai, kurir misterius itu orang suruhan mafia Camorra.
Terlepas dari itu, Maradona jadi milik Napoli, atau lebih tepatnya mafia Camorra? Pasalnya, Maradona diberikan ini-itu untuk memastikan hidupnya banyak senang di Napoli. Bahkan medio 1989 muncul sebuah foto sohor yang menampakkan Maradona berada di tengah-tengah anggota mafia Camorra dari Klan Giuliano. Saat itu Maradona diundang ke pernikahan sepupu Lovigino.
“Saya akui dunia itu sangat melenakan. Mafia. Organiasi yang bagi kami orang Argentina adalah hal baru…ke manapun saya pergi ke salah satu klub malam milik mereka, saya diberikan (arloji) Rolex, mobil…saya tanya apa yang harus saya lakukan? Mereka bilang, ‘Tidak ada, hanya harus berfoto bersama dengan kami.’ Saya bilang terima kasih,” ujar Maradona dalam otobiografinya Yo Soy El Diego.
Makin lama, hidup Maradona makin tidak tenang. Ia selalu dalam pantauan mafia. “Empat bulan setelah foto itu tersebar, Maradona mengklaim Camorra mengancam keluarganya jika tidak menurut hingga membuatnya takut kembali ke Napoli setelah libur kompetisi,” ungkap John Dickie dalam Blood Brothers: A History of Italy’s Three Mafias.
Bukan hanya itu, makin lama berhubungan dengan mafia, hidup Maradona makin rusak. Selain sering bolos latihan, ia pun mulai sering mengonsumsi kokain meski kebiasaan buruk itu diduga pertamakali dilakoninya pada 1982 sejak masih berseragam Barcelona.
Baca juga: Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
Kebiasaan buruk itu membuat Maradona kena batunya pada 1990. Mengutip Independent, 5 Juli 1994, Maradona diciduk di Bandara Fiumicono atas kasus penyelundupan kokain senilai USD840 ribu yang juga diduga berkaitan dengan bisnis narkoba Camorra. Dalam persidangannya di Roma, Maradona lantas divonis penjara 14 bulan ditambah denda USD3.200.
Hukuman Maradona lalu ditambah 15 bulan larangan aktivitas dalam sepakbola setelah positif saat dites doping. Masa-masa kelam itu gagal membuatnya kembali seperti sedia kala meski kariernya tetap masih berjalan sampai 1997.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar