Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
Rivalitas dua kiblat sepakbola dunia, Brasil-Argentina, yang abadi hingga kini.
INGGRIS boleh bangga sebagai negeri penemu sepakbola modern, Jerman boleh jumawa sebagai hegemoni sepakbola internasional sejak usai Perang Dunia II, dan Spanyol boleh menggila sebagai pesona sejak awal milenium ketiga. Namun, Argentina dan Brasil sudah mengukir nama besar lebih dulu dari mereka.
Meski masih masuk kategori negara berkembang, Argentina dan Brasil punya prestasi sepakbola yang sama sekali bukan berkembang. Keduanya bahkan menjadi bagian kiblat persepakbolaan bagi banyak negara. Dalam artikel di situs resminya, 6 Juni 2014, FIFA bahkan menyebut rivalitas Argentina-Brasil sebagai “The Essence of Football Rivalry” – Intisari Persaingan Sepakbola.
Meski bertetangga, kedua negara punya kultur dan bahasa berbeda. Kalau Argentina berpenduduk mayoritas kulit putih dan berbahasa Spanyol lantaran dulunya merupakan koloni negerinya Ratu Isabella, Brasil punya banyak penduduk negro –didatangkan dari Afrika semasa kolonialisme penjelajahan dunia– dan berbahasa Portugis.
Pada 1820-an, keduanya pernah terlibat konflik dalam Perang Cisplatine. Provincias Unidas del Rio de la Plata (nama Argentina kala itu) memerangi Kekaisaran Brasil demi untuk memperebutkan wilayah Banda Oriental (kini Uruguay). Argentina dan Brasil (bersama Uruguay) juga pernah bahu-membahu dalam satu aliansi ketika Perang Paraguay 1864-1870.
Awal Persahabatan
Dalam sepakbola, hubungan keduanya baru dirintis pada 1908 saat Presiden Argentina Jenderal Julio Argentino Roca, yang penggila sepakbola dan pernah menjadi duta besar Argentina untuk Brasil, membawa timnas negerinya menyambangi Brasil. Upaya itu bertujuan mempererat persahabatan lewat sepakbola.
Namun ketika itu Brasil belum punya timnas. CBF (Federasi Sepakbola Brasil) sendiri baru berdiri pada 1914. Saat itu Brasil baru punya klub-klub kecil yang didirikan para imigran Inggris Raya, macam Sao Paulo Athletic Club atau Corinthian FC.
Setahun berselang, persahabatan keduanya lantas diperkuat dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Argentina Roque Saenz Pena ke Brasil. “Segalanya menyatukan kita. Tidak ada yang memisahkan kita,” cetus Pena dalam pidatonya yang dikutip FIFA.com, 6 Juni 2014.
Pertemuan resmi pertama kedua negara baru terjadi dalam laga persahabatan pada 20 September 1914 di Buenos Aires, Argentina. Tuan rumah perkasa dengan “mengajari” Brasil bermain bola lewat kemenangan 3-0.
Tapi Brasil cepat belajar. Beberapa waktu kemudian, masih di tahun yang sama, Brasil menekuk Argentina 1-0 dalam gelaran Copa Roca. Copa Roca merupakan ajang kompetisi sepakbola tahunan yang dibuat Presiden Roca untuk menciptakan persaingan sehat antar-dua negara bertetangga dengan tuan rumah bergantian. Dalam event yang dihelat hingga 1976 itu, Brasil memenangi tujuh, Argentina tiga. Khusus gelaran 1971, keduanya keluar sebagai juara bersama.
Titik Nol Rivalitas
Persaingan keduanya pun mulai mengakar seiring terjadinya perubahan dari kekaguman menjadi kecemburuan. Hal itu terjadi setelah keduanya mulai terjun di turnamen-turnamen regional hingga internasional, seperti Copa America sampai Piala Dunia. Brasil berkembang cepat dan prestasinya melebihi Argentina kendati yang disebut terakhir lebih dulu mengenal sepakbola.
“Ketika Argentina baru memenangkan satu Piala Dunia (1978) dan mulai dihormati di seluruh dunia hingga menjadi salah satu favorit di tiap kompetisi, Brasil sudah jauh meninggalkan mereka karena telah mengoleksi tiga gelar Piala Dunia (1958, 1962, 1970). Dari situlah rivalitas menjadi kian eksplisit dan keras di antara keduanya,” tulis Newton Cesar de Oliveira Santos dalam Brasil x Argentina: Historias do Maior Classico do Futebol Mundial.
Hal senada diungkapkan sejarawan Osvaldo Gorgazzi. “Respek dan kekaguman orang Argentina terhadap Brasil tumbuh antara 1958-1970, terlebih ketika Brasil berhak memiliki trofi Jules Rimet secara permanen. Itu menjadi titik persaingan dimulai antara dua pendukung. Sampai-sampai di Piala Dunia 1978, pendukung Argentina selalu punya yel-yel mengejek terhadap Brasil,” tuturnya di situs fifamuseum.com, 21 November 2016.
Namun, wartawan senior cum pengamat sepakbola Fernando Fiore punya pendapat lain. Dalam bukunya The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World, dia mengungkap permusuhan Brasil-Argentina sudah terjadi jauh sebelum itu. Tepatnya, saat gelaran Piala Dunia 1938 di Prancis.
Ketika negara-negara Amerika Latin yang “dipimpin” Argentina memboikot Piala Dunia edisi ketiga itu, Brasil bersama Kuba malah tidak ikut masuk “barisan boikot”. Argentina dkk. menolak tampil di Piala Dunia 1938 sebagai bentuk protes. Bagi mereka, semestinya Piala Dunia 1938 kembali di gelar di Benua Amerika karena Piala Dunia 1934 Eropa mengambil jatah dengan Italia sebagai tuan rumahnya.
“Mungkin Kuba tetap berpartisipasi karena itu Piala Dunia pertama mereka dan tidak ingin menyia-nyiakannya. Dan Brasil...entah apa alasannya. Tapi apapun itu, Argentina tidak memaafkan mereka selama bertahun-tahun. Ini menandai awal permusuhan dua negara adidaya Amerika Selatan,” tulis Fiore.
Dampaknya, Argentina ogah tampil di Piala Dunia 1950 yang digelar Brasil sebagai bentuk kekecewaan mereka. “Argentina menolak ikut tampil, mengingat Brasil tak mendukung boikot Amerika Latin di Piala Dunia 1938. Hasilnya, hubungan keduanya tetap memburuk dan menambah rivalitas bersejarah keduanya,” tambah Fiore.
Perbandingan Prestasi
Hingga kini, Argentina dan Brasil sudah 108 kali bersua. Brasil 44 kali menang, Argentina dengan 39 kali menang, dan 25 lainnya berakhir imbang. Brasil lebih mentereng di ajang Piala Dunia dengan lima kali merebut trofi Piala Dunia, sementara Argentina baru dua. Di Piala Konfederasi, Brasil menang empat kali dan Argentina sekali. Namun Argentina lebih superior di Copa America dengan koleksi 14 trofi, sementara Brasil baru delapan.
Namun publik sepakbola internasional tak hanya mempersoalkan hasil dan raihan trofi. Mereka juga membandingkan para legenda dan bintang-bintang kedua negara, semisal rivalitas Pele vs Maradona di masa lampau dan Lionel Messi vs Neymar da Silva Junior di zaman now.
“Mengalahkan Brasil lebih menyenangkan ketimbang mengalahkan tim lain. Hal sebaliknya berlaku bagi mereka! Mereka lebih bahagia menang dari kami ketimbang menang dari Belanda, Italia, Jerman atau tim lain. Bagi saya pribadi, tidak ada hal yang lebih indah dibanding mengalahkan Brasil,” cetus Maradona di situs resmi FIFA. Hal itu diamini sosiolog Argentina Pablo Alabarces. “Brasil senang bisa membenci Argentina dan Argentina benci untuk senang terhadap Brasil”, ujarnya. Maka, kalau sedang ada pertandingan Brasil melawan negeri lain, fans Argentina 100 persen bakal mendukung tim yang menjadi lawan Brasil. Begitu juga sebaliknya.
Level Klub, Pengecualian
Namun, perseteruan Brasil-Argentina tak berlaku di klub. Fans sepakbola di Argentina tetap akan mengelu-elukan seorang pemain Brasil jika dia membela tim kesayangan mereka. Begitu juga sebaliknya.
Sebagai contoh, kiper Argentina Edgardo Andrada yang bermain di klub Brasil Vasco da Gama. Dia dipuja-puja fans Vasco lantaran pernah menahan penalti Pele yang berseragam klub Santos pada 1969. Jose Poy, kiper Argentina yang membela klub Brasil Sao Paulo (1948-1963) juga menjadi salah satu idola fans setia Sao Paulo. Sama halnya ketika pemain Argentina Carlos Tevez dan Javier Mascherano jadi pujaan fans klub Brasil Corinthians lantaran ikut memberi gelar.
Walau demikian, jika kembali ke level internasional, aroma persaingan tetap kental. Tensi pertandingan berubah panas.
Kedua negara terakhir kali bersua dalam partai persahabatan di Melbourne Cricket Ground, Australia pada 9 Juni 2017. Argentina menang 1-0 dari Brasil. Meski kalah, mantan pelatih yang juga pengamat sepakbola Timo Scheunemann, justru lebih menjagokan Brasil sebagai salah satu favorit terkuat di Piala Dunia 2018 setelah Jerman dan Prancis. “Brasil sudah jauh lebih kuat dari saat mereka dikalahkan Jerman (1-7 di semifinal) di Piala Dunia 2014. Itu sudah tidak bisa disamakan. Argentina saya tempatkan di favorit keempat dan terakhir baru Spanyol,” ujar Coach Timo.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar