The Godfather: Part II dan Seluk-Beluk Organisasi Mafia
Sekuel sekaligus prekuel fiksi bos mafia yang terinspirasi dari kisah nyata. Menjadi pengetahuan yang membuka rumitnya kehidupan mafia.
DALAM satu hari pada tahun 1901, Vito Andolini (diperankan Oreste Baldini) diterpa musibah berlipat ganda di Kota Corleone, Pulau Sisilia, Italia. Bocah sembilan tahun itu terpaksa jadi anak yatim setelah ayahnya dibunuh bos mafia Don Ciccio. Saat hari pemakaman pun Vito mendapati kakaknya dan ibunya dibunuh oleh pelaku yang sama.
Vito kecil pun diburu. Namun ia bisa menyelamatkan diri dibantu sahabat ayahnya, Tommasino (Mario Cotone). Vito akhirnya kabur hingga ke New York, Amerika Serikat. Dalam pemeriksaan imigrasi, petugas salah menyebut namanya: Vito Andolini menjadi Vito Corleone.
Lantaran terinfeksi virus cacar, Vito terpaksa dikarantina tiga bulan di Pulau Ellis. Di kamar karantinanya, Vito duduk dengan anteng menghadap jendela. Dari kejauhan tampak Patung Liberty. Vito tak sabar mendambakan kehidupan barunya sebatang kara di kota yang sedang berkembang pesat itu.
Baca juga: Alkisah Bocah Nazi dan Piyama Yahudi
Alur cerita melompat maju ke tahun 1958 dengan adegan Anthony Corleone (James Gounaris) hendak dibaptis di Lake Tahoe, Nevada, Amerika Serikat. Sejak ayahnya meninggal, putra mendiang Santino “Sonny” Corleone itu diangkat anak dan diasuh sang paman Don Michael Corleone (Al Pacino) dan istrinya Kay Adams (Diane Keaton).
Michaellah yang menggantikan sang ayah, Vito Corleone, menjadi “Godfather” yang memimpin bisnis dan organisasi mafia dengan jejaring anggota keluarga besarnya. Sebagaimana Vito Corleone, pada pesta pasca-pembaptisan itu Michael menerima banyak tamu dengan beraneka urusan dunia hitam.
Dua narasi yang berjalan paralel itu menjadi preambul film The Godfather: Part II garapan sineas Francis Ford Coppola. Film tersebut merupakan sekuel sekaligus prekuel dari The Godfather (1972) karena narasi keduanya “dijahit” Coppola secara bersamaan.
Narasi pertama, menjadi awal “kerajaan” mafia yang dibangun Vito sang ayah. Narasi kedua, tentang kejatuhannya dan dilanjutkan Michael kala keduanya sama-sama menginjak usia 30-an. Narasi tersebut membawa alur mundur ke masa Vito muda (diperankan Robert De Niro) dan istri serta anak-anaknya mesti banting tulang demi sesuap spaghetti pada era 1917.
Hidup Vito berubah ketika bertemu tetangga sesama orang Italia, Clemenza (Bruno Kirby Jr.) dan Tessio (John Aprea). Bertiga, mereka mulai mencari nafkah dengan cara culas, yakni mencuri barang-barang orang kaya untuk dijual kembali dengan harga mahal. Mulanya usaha haram itu menghasilkan banyak uang. Namun aktivitas mereka terdeteksi Don Fanucci (Gastone Moschin), bos yang berpengaruh di lingkungan tempat tinggal mereka.
Fanucci acap memeras para pebisnis kecil dengan alasan “uang perlindungan”. Tindakannya itu lama-kelamaan membuat Vito gerah hingga berencana untuk memberi perhitungan.
“Aku akan memberinya tawaran yang takkan bisa ia tolak,” ujarnya kepada Clemenza dan Tessio jelang menghadapi Fanucci.
Lagi-lagi, jalan cerita melompat ke tahun 1959, saat Michael direpotkan oleh pencarian para pelaku percobaan pembunuhan terhadapnya. Sembari memburu aktor intelektualnya dibantu consigliere Tom Hagen (Robert Duvall), Michael juga mesti mengembangkan sayap bisnisnya. Ia diajak rekan pebisnis Yahudi, Hyman Roth (Lee Strasberg), bekerjasama dan berinvestasi pada pemerintahan Kuba pimpinan diktator Fulgencio Batista.
Baca juga: Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita
Namun, semakin Michael mengenal Roth dengan eratnya jalinan kerjasama bisnis, ia semakin tahu bahwa dalang di balik percobaan pembunuhan terhadapnya tak lain adalah Roth. Michael makin syok ketika tahu sang capo dan sahabat mendiang ayahnya, Frank Pentangeli (Michael Gazzo), dan terutama sang kakak, Frederico “Fredo” Corleone, turut terlibat. Kekacauan akibat percobaan pembunuhan itu berujung pada pemanggilan Michael oleh Komite Senat Amerika Serikat untuk menjalani pemeriksaan terkait aktivitas organisasi mafia.
Apakah Michael bisa melepaskan diri dari ancaman jerat hukum dan melancarkan balas dendam terhadap orang-orang yang mencoba membunuhnya? Bagaimana intrik-intrik yang dilakoni Vito Corleone muda untuk merebut kekuasaan Don Fanucci di New York, hingga memberi perhitungan pada pembunuh ayah dan ibunya, Don Ciccio, di Sisilia? Keseruan-keseruan itu baiknya Anda nikmati sendiri. Meski sudah rilis sejak 1974, The Godfather: Part II masih bisa Anda tonton di aplikasi daring Mola TV dengan kualitas gambar yang masih apik.
Sekuel Tanpa Marlon Brando
Sebagaimana film sebelumnya, The Godfather: Part II juga bersumber dari novel karangan Mario Puzo bertajuk The Godfather (1969). Bersama Coppola, Puzo bertandem sebagai penulis naskah. Duet tersebut berhasil meramu latar belakang film dengan apik secara sinematografi. Suasana kehidupan orang-orang Italia-Amerika era awal 1900-an, 1917, dan 1950-an bisa dirasakan betul.
Untuk melengkapi otentisitas filmnya, Coppola dan Puzo tetap menyajikan sejumlah dialog dengan dialek Sisilia. Ditambah alunan music scoring karya komposer Gordon Willis, penonton betul-betul dihanyutkan ke tiga era pada premis-premis cerita yang dilakoni Vito Corleone muda dan Michael Corleone.
Kendati begitu, setiap premis dalam dua cerita yang berpalalel itu lebih rumit ketimbang film sebelumnya. Penonton baru akan bisa memahaminya jika lebih dulu menyaksikan The Godfather karena film kedua punya banyak pertautan cerita dengan film sebelumnya yang dirilis dua tahun sebelumnya.
Coppola dan Puzo sendiri punya alasan mengapa ia menyuguhkan dua cerita yang berparalel antara Vito dan Michael di usia 30-an. Harapan keduanya, cerita itu akan saling bertemu pada scene penutup, di mana keluarga Corleone yang masih lengkap –tokoh Sonny Corleone (James Caan) dibunuh pada film sebelumnya– akan menghadap pesta ulang tahun kejutan untuk sang ayah, Vito Corleone.
“Gagasannya adalah untuk menyandingkan lahirnya keluarga (mafia) di bawah kepemimpinan Vito Corleone dengan kejatuhannya kala dipegang putranya Michael. Saya memang selalu ingin menulis skenario yang menceritakan kisah seorang ayah dan anaknya di usia serupa. Mereka berdua di usia 30-an dan saya ingin kedua ceritanya berintegrasi. Agar tak sama dengan film sebelumnya, saya memberi struktur ganda dengan menyajikan cerita masa lalu dan masa sekarang,” tulis Coppola dalam Godfather: The Intimate Francis Ford Coppola.
Sayangnya, Marlon Brando Jr. yang sebelumnya memerankan tokoh “Godfather” Vito Corleone batal comeback di The Godfather: Part II. Walhasil Coppola dan Puzo mesti menulis ulang adegan pamungkas itu tanpa Marlon Brando. Imbasnya, klimaks pada adegan akhir kurang berkesan pada para penontonnya. Andai Marlon Brando tetap kembali, meski setidaknya sebagai cameo, kesan yang ditinggalkan tentu akan lebih paripurna untuk melengkapi penampilan-penampilan apik Al Pacino sebagai Michael dan Robert De Niro yang memerankan Vito Corleone muda.
Coppola sebelumnya malah ingin Brando kembali sebagai tokoh utama memainkan karakter Vito Corleone muda. Brando menolak. Pun dengan tawaran sebagai cameo di akhir film. Jawaban Brando tetap sama. Faktanya, Brando masih memendam kejengkelan pada rumah produksi Paramount Pictures yang dianggapnya memperlakukan dirinya tidak pantas sepanjang produksi film pertama.
“Saya tak ingin menelepon karena saya selalu merasa bodoh mengungkit soal ‘The Godfather’. Masalahnya saya selalu menunggu karena punya firasat bahwa Anda mungkin saja memainkan Vito Corleone muda. Saya menghormati Anda; dan jika Anda bilang tidak ingin melakukannya, saya akan menerimanya dan takkan mengungkitnya lagi,” tulis Coppola dalam suratnya kepada Brando pada Mei 1973, sebagaimana dikutip The Daily Mail, 2 November 2019.
Toh kendati Coppola dan Puzo mengalami pergulatan dalam proses produksinya, The Godfather: Part II cukup sukses di pasaran kendati tak sebesar film pertama. Raihan enam Piala Oscar, termasuk kategori sutradara terbaik yang didapat Coppola dan aktor pendukung terbaik untuk De Niro, jadi bukti sahihnya. Prestasi itu sekaligus jadi momen pertama dalam sejarah bahwa film sekuel juga mendapat Piala Oscar.
Sejarah lain yang dibuat The Godfather: Part II adalah karakter Vito Corleone yang dimainkan De Niro menjadi karakter pertama yang dimainkan dua aktor berbeda (Brando dan De Niro) mendapat dua Piala Oscar. Capaian tersebut baru bisa disamakan pada 2019 lewat karakter fiksi penjahat Joker, yang mendapatkan Piala Oscar kala diperankan Heath Ledger dalam film The Dark Knight (2008) dan Joaquin Phoenix di film Joker (2019).
Cosa Nostra
Satu lagi hal menarik yang diangkat Coppola dalam sekuelnya adalah mulai tersingkapnya aktivitas mafia ke khalayak publik. Jika dalam The Godfather (1972) Coppola banyak mengangkat isu kultur Italia-Amerika, dalam The Godfather: Part II Coppola ingin penonton bisa menyelami lebih dalam kerumitan aktivitas organisasi mafia di dunia hitam.
Adegan Michael Corleone menghadiri sesi dengar pendapat dengan Komite Senat Amerika, contohnya. Michael dengan tegas menyanggah dirinya sebagai bos mafia organisasi manapun, termasuk Cosa Nostra, sebuah organisasi mafia asal Sisilia yang terkenal bengis. Pengakuan itu lantas dikonfrontir dengan pernyataan Frank Pentangeli, seorang capo ketika ayah Michael, Vito Corleone, masih berkuasa.
Coppola meracik adegan itu dengan inspirasi dari kisah serupa yang dialami Joseph Valachi yang diinvestigasi oleh Senat Amerika pada Oktober 1963. Saat itu pula istilah Cosa Nostra untuk menyebut sebuah kelompok mafia Italia asal Sisilia diungkap ke publik. Valachi merupakan bekas soldato dari keluarga mafia Genovese yang tokohnya ditransformasikan Coppola menjadi karakter Frank Pentangeli.
“Yang menarik adalah, sejak awal eksistensi mereka dan bahkan sampai 1950-an, banyak orang menganggap mafia bukanlah para kriminal pelanggar hukum namun justru teladan dan pelindung kaum lemah dan miskin, mengingat negara tak menawarkan perlindungan bagi masyarakat kelas bawah. Tetapi novel The Godfather-nya Mario Puzo dan adaptasi filmnya oleh Francis Ford Coppola telah sukses membentuk pemahaman umum tentang mafia di Amerika dan di negara lain,” ungkap Marta Zapała-Kraj dalam Mafia: The History with Mario Puzo’s Godfather in Background.
Baca juga: Nick Zapetti Raja Mafia Amerika di Jepang
Setelah sesi dengar pendapat Senat Amerika dengan Valachi, sang whistleblower pada 1963, itulah anggapan terhadap mafia mulai berubah. Seiring dengannya, beragam aktivitas mereka berhasil dibongkar. Beragam aktivitas mereka sudah termasuk tindakan kriminal tingkat tinggi. Mafia bukan lagi dianggap sebagai jaringan bisnis, namun juga dianggap sebagai organisasi yang berjalan dengan tindakan-tindakan kejahatan.
“Selama 30 tahun Valachi memegang sumpahnya dengan ‘omertà’, semacam sumpah dengan darah untuk tutup mulut akan dunia bawah tanah. Lalu pada 1960 dia ditangkap dan dipenjara. Dunia bawah tanah ingin dia mati karena takut semuanya terungkap. Ketakutan setengah mati, Valachi beralih ke FBI dan mulai ‘bernyanyi’ meski kepalanya dihargai USD100 ribu oleh para mafia. Namun sekarang Valachi menceritakan semua kisahnya terkait semua aktivitas sindikat kriminal yang melibatkan pertumpahan darah,” tulis Time, 16 Agustus 1963.
Baca juga: Tradisi Penerimaan Anggota Mafia
Menukil Encyclopedia of Organized Crime in the United States karya Robert Kelly, Valachi tampil sebagai “peniup peluit” setelah ditangkap dan diancam hukuman mati atas dakwaan pembunuhan dan perdagangan heroin. Setelah diinisiasi Senator Arkansas John L. McClellan dan meminta perlindungan penuh dari FBI jika harus memberi testimoni, Valachi bersedia memberikan testimoni terkait aktivitas mafia dengan imbalan hukuman matinya diubah menjadi hukuman bui seumur hidup.
Dari A sampai Z terkait organisasi mafia semua diuraikan Valachi kala bersaksi di hadapan Komite Senat Amerika. Termasuk istilah “Cosa Nostra” untuk menyebut lima keluarga mafia –keluarga Charles Luciano, Tommaso Gagliano, Joseph Profaci, Salvatore Maranzano, dan Vincent Mangano– yang eksis dan menguasai New York pada 1930-an. Di era 1950-an, kala Valachi juga terlibat, lima keluarga penguasa itu berganti menjadi keluarga Tommy Lucchese, Joseph Colombo, Carlo Gambino, Joe Bonanno, dan Vito Genovese yang notabene eks bosnya.
Valachi juga mengungkap seluk-beluk organisasi mafia, di mana pada hierarki tertinggi terdapat bos yang punya seorang consigliere (penasihat) yang biasanya pengacara. Di bawahnya ada underboss, lalu caporegime, dan pada kasta terakhir adalah soldato alias tukang pukul. Valachi adalah mantan soldato di keluarga Don Vito Genovese.
“Testimoni Valachi merupakan pelanggaran pertama terhadap omertà. Ia anggota mafia Italia-Amerika pertama yang mengakui eksistensinya di hadapan publik dan darinya pula istilah Cosa Nostra mulai populer. Meski kemudian pengakuan Valachi tak pernah berujung pada penangkapan satu pun pemimpin mafia-mafia yang ada, setidaknya publik mendapat pencerahan tentang sejarah mafia, ritual-ritual, dan aktivitas-aktivitasnya yang melibatkan tindakan pembunuhan sadis,” tulis Selwyn Raab dalam Five Families.
Testimoni Valachi dirangkum dalam “The Valachi Papers” dan dirilis Kementerian Kehakiman Amerika. “The Valachi Papers” banyak dijadikan referensi untuk penyelidikan kriminal maupun inspirasi film-film bertema mafia hingga saat ini, termasuk trilogi The Godfather.
Data Film:
Judul: The Godfather Part II | Sutradara dan Produser: Francis Ford Coppola | Pemain: Al Pacino, Robert De Niro, Robert Duvall, Diane Keaton, John Cazale, Lee Strasberg, Michael Gazzo, Richard Bright, Morgana King, Francesca De Sapio, Gaston Moschin, Bruno Kirby Jr., Dominic Chianese | Produksi: Paramount Pictures, The Coppola Company | Distributor: Paramount Pictures | Genre: Fiksi Kriminal | Durasi: 200 menit | Rilis: 20 Desember 1974, Mola TV
Baca juga: Diego Maradona dalam Pangkuan Mafia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar