Menelusuri Jalur Rempah dari Nusantara Menuju Dunia
Tak hanya untuk penyedap masakan, rempah juga digunakan dalam mumifikasi dan mengatasi wabah penyakit. Mendorong negara-negara Eropa melakukan eksplorasi yang berujung eksploitasi.
LADA, kayu manis, andaliman hingga jintan tentu tak asing bagi masyarakat Indonesia. Rempah-rempah itu digunakan sebagai bahan pelengkap berbagai hidangan di meja makan. Namun, rempah tak hanya digunakan sebagai bumbu dapur, tetapi juga berperan dalam proses mumifikasi para Firaun di Mesir Kuno dan membantu Eropa menghadapi wabah penyakit dari abad ke-12 hingga ke-18.
Jack Turner dalam Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme menyebut konsumen lada yang pertama terdokumentasi tidak menggunakan rempah untuk menyedapkan makanan, melainkan sebagai bahan untuk mengawetkan jenazah. “Lubang hidung Raja Ramses II, Firaun teragung Mesir, dijejali lada tak lama setelah kematiannya pada 12 Juli 1224 SM […] jauh setelah masa kekuasaan Ramses, banyak jenazah figur terkenal yang dikuburkan bersama rempah,” tulis Turner.
Baca juga: Rahasia Membuat Mumi di Mesir Kuno
Dalam proses mumifikasi di Mesir Kuno, jenazah terlebih dahulu dilapisi campuran bumbu dan rempah untuk mencegah pembusukan sebelum dibungkus dan dimasukkan ke dalam peti mati. Perut, usus, paru-paru, dan hati dibaluri garam dan minyak rempah, kemudian diawetkan di dalam guci kanopik.
Pada saat Eropa dilanda wabah penyakit, campuran rempah-rempah seperti kayu manis, cengkih, vanila, dan madu menjadi populer di kalangan masyarakat karena dipercaya memiliki sifat antiseptik dan aromatik yang dapat melindungi dari wabah. Perannya yang besar dalam kehidupan masyarakat dunia membuat rempah-rempah menjadi komoditas yang paling dicari. Nilainya yang tinggi membuat perdagangan dan eksplorasi ke sumber penghasil rempah marak dilakukan para pelaut Eropa. Salah satu tujuannya adalah Nusantara.
Baca juga: Wabah-Wabah Penyakit Pembunuh Massal
Sejarah perjalanan dan perdagangan rempah Nusantara menjadi bahasan utama dalam pameran “Jalur Rempah: Rumah Rempah Dunia” di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta. Pameran ini menampilkan 35 objek yang terdiri dari prasasti, mata uang kuno, serta benda-benda dalam kehidupan sehari-hari seperti pipisan-gandik (untuk mengolah jamu dan obat-obatan), gahi-gahi (tongkat pemetik pala), dan tukiri (keranjang) yang masih digunakan hingga kini di perkebunan pala.
Berbagai objek tersebut dikelompokkan ke dalam enam instalasi utama yang terdiri atas Area Koleksi Jalur Rempah, Replika Bas Relief Borobudur, Herbarium Tanaman Rempah, Instalasi Peta Interaktif Jalur Rempah, Panel Aplikasi Rempah Internasional, serta Instalasi Interaktif Replika Kapal Borobudur.
Dengan mengedepankan aspek interaktif dan partisipatif, pengunjung dapat menelusuri jejak perdagangan rempah asli Nusantara yang mendorong perkembangan ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan, karena turut menjadi media pertukaran bahasa, budaya, pengetahuan, dan agama. Pertukaran tersebut tak hanya dengan bangsa-bangsa dari negeri yang jauh, namun juga antara kerajaan-kerajaan di Nusantara yang memiliki identitas dan keahlian yang beragam.
Baca juga: Merentang Sejarah Uang di Nusantara
Peran Jalur Rempah sebagai pusat perdagangan internasional yang menghubungkan negara-negara Eropa dan Asia dapat ditelusuri dari penggunaan berbagai mata uang di Nusantara. Koin-koin dari Portugis, Tiongkok, dan India yang digunakan sebagai pembayaran di pelabuhan-pelabuhan sepanjang Jalur Rempah, memengaruhi desain koin Nusantara. Beberapa di antaranya ditampilkan dalam pameran. Salah satu yang tak boleh dilewatkan adalah uang kampua.
Kepala Unit Museum Nasional Indonesia yang menjadi bagian dari tim kurator pameran, Ni Luh Putu Candra Dewi mengatakan alih-alih menggunakan logam, uang tersebut terbuat dari kain. “Konsep uang kampua digagas oleh ratu Kerajaan Buton, dengan memanfaatkan kainnya untuk dijadikan alat tukar atau pembayaran,” kata Candra Dewi di sela-sela tur pembukaan pameran. Peredaran uang kampua diawasi secara ketat oleh perdana menteri kerajaan untuk mencegah penyebaran uang palsu.
Baca juga: Genosida VOC di Pulau Banda
Di bagian lain, pengunjung dapat melihat peta pelayaran Bugis yang menjadi bukti pertukaran pengetahuan di sepanjang Jalur Rempah. Informasi garis pantai Nusantara diadopsi dari data kartografi Eropa, sementara nama kota ditunjukkan dengan huruf Bugis. Bendera merah-putih-biru pada peta menjadi penanda wilayah yang dikuasai Belanda. Peta itu juga ditandai tinta merah di beberapa titik sebagai tanda kuburan bajak laut. Peta pelayaran Bugis ini dibuat dari bahan perkamen yang kuat dan tahan air agar tidak mudah rusak saat dibawa berlayar oleh para pelaut Bugis.
Perdagangan rempah juga mempunyai sisi gelap. Dalam upaya menghindari tingginya harga rempah –yang lebih berharga daripada emas pada abad ke-17– negara-negara Eropa melakukan eksplorasi untuk menemukan sumber rempah. Demi menguasai wilayah itu, mereka tak segan melakukan berbagai cara seperti berperang maupun mendirikan koloni untuk memonopoli perdagangan rempah. Salah satu objek pameran yang berkaitan dengan hal tersebut adalah Manuskrip Perjanjian Breda.
Baca juga: VOC Sewa Samurai dalam Pembantaian Banda
Pada abad ke-17, untuk menguasai produksi pala dunia, VOC melancarkan kampanye militer yang intensif ke Kepulauan Banda. Upaya tersebut terkendala karena Inggris telah lebih dahulu menguasai Pulau Run di bagian paling barat Kepulauan Banda pada 1616. Konflik antara kedua negara itu pun tak terhindarkan, hingga akhirnya ditandatangani perjanjian damai di Kota Breda pada 31 Juli 1667. Imbas perjanjian tersebut, Inggris menukar Pulau Run dengan Pulau New Amsterdam, yang sekarang dikenal dengan nama New York, yang berada di bawah kendali Belanda.
Selain Manuskrip Perjanjian Breda, pengunjung juga dapat melihat model perahu Maluku terbuat dari cengkih yang dikeringkan, dijahit, dan direkatkan. Menurut tim kurator pameran, Sukiato Khurniawan, bentuknya yang unik membuat model perahu itu banyak dijual sebagai buah tangan kepada orang-orang Eropa yang mengunjungi Kepulauan Maluku. “Model perahu ini sebelumnya berada di Museum Nusantara di Delft, Belanda, kemudian dikembalikan ke Indonesia sebagai bagian dari upaya pengembalian artefak sejarah ke negara asalnya atau repatriasi,” kata Sukiato.
Baca juga: Jaringan Intelektual dan Spiritual dalam Jalur Rempah
Pameran “Jalur Rempah: Rumah Rempah Dunia” merupakan hasil kolaborasi Museum dan Cagar Budaya (MCB) dengan Unit Museum Nasional Indonesia, Museum Kebangkitan Nasional dan berbagai pihak seperti CultureLab Consultancy (CLC), Yayasan Negeri Rempah, serta Cukup Cakap sebagai upaya untuk mengedukasi publik, khususnya generasi muda tentang arti penting Jalur Rempah.
Sejarawan yang menjadi bagian dari tim pameran, Sadiah Boonstra mengatakan dengan diselenggarakannya pameran Jalur Rempah, masyarakat dapat menelusuri kembali jejak perdagangan rempah, di mana rempah asli Nusantara menjadi komoditas andalan dalam jaringan tersebut. Besarnya peran dan nilai sejarah yang terkandung dalam rempah Nusantara bagi perkembangan perdagangan global mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengusulkan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia ke UNESCO pada 2017. Upaya pengajuan ini ditargetkan dapat tercapai di tahun 2024.
Pameran “Jalur Rempah: Rumah Rempah Dunia” di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta berlangsung dari tanggal 9 hingga 31 Desember 2023. Pengunjung dapat menyaksikan pameran ini dengan membeli tiket Rp2.000 untuk dewasa dan Rp1.000 untuk anak-anak.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar