Jaringan Intelektual dan Spiritual dalam Jalur Rempah
Jalur rempah bukan hanya perdagangan. Jalur ini juga menjadi jaringan intelektual dan spiritual.
Jalur rempah menghubungkan Maluku yang menjadi sumber rempah dengan laut Jawa, Champa (Kamboja dan Vietnam) di utara, sampai ke Tiongkok. Menghubungkan Selat Malaka, Aceh, dan Srilanka di barat. Dari Aceh terhubung ke Semenanjung Malaysia, Burma, Bangladesh, dan turun di pantai timur India.
Dari selatan India, para pelaut yang mengarungi jalur ini pada musim yang tepat bisa berlayar langsung ke Yaman. Ada pula yang melewati pantai barat India hingga ke Persia sampai ke ujung Teluk Persia atau Teluk Arab.
Bukan hanya perdagangan dan komoditas, jalur rempah juga menjadi jalur bagi pertukaran budaya. Sebagaimana dikatakan Dekan Fakultas Islam Nusantara, Universita Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Ahmad Suaedy, jalur ini juga bisa dilihat sebagai jaringan intelektual dan spiritual. Bahkan akar kosmopolitanisme Islam di Nusantara berawal dari jalur rempah.
“Jalur rempah selalu dilihat dari komoditas, perdagangan. Padahal [intelektual dan spiritual] tak bisa dipisahkan,” kata Suaedy dalam diskusi daring bertema “Tradisi dan Jarngan Sufisme di Jalur Rempah: Mencari Akar Kosmopolitan Islam Nusantara”, Sabtu, 24 April 2021.
Baca juga: Berebut Rempah di Maluku
Hindu, Buddha, dan Islam tiba ke Nusantara melalui jalur rempah. “Sebelum Eropa datang mencari rempah, pelayaran dilakukan oleh orang Persia, Timur Tengah, dan India. Mereka membawa pengaruh spiritual Hindu, Buddha, dan Islam,” lanjut Suaedy.
Tak cuma menerima pengaruh, Nusantara juga dikunjungi orang luar untuk belajar agama. Sriwijaya pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan agama Buddha.
“Kita tahu dari Tibet ada yang ziarah ke Sriwijaya untuk belajar Buddha. Nusantara didatangi orang lain untuk belajar. Jadi tak hanya menerima tapi pusat pengajaran,” kata Martin van Bruinessen, ahli studi tentang Islam dari Utrecht University, Belanda.
Pedagang muslim diperkirakan juga sudah mengunjungi kota pesisir di Sumatra Utara atau Aceh pada abad pertama atau kedua Hijriah (abad ke-7 atau ke-8 M). Barangkali ada juga yang menetap.
“Selama ada pergerakan manusia, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bahkan menetap cukup lama, maka saat itu ide-ide pemikiran termasuk agama pun ikut dibawa,” kata Van Bruinessen.
Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya
Catatan Pertama tentang Islam di Aceh
Pada abad ke-8 M, sebuah kota yang majemuk ditemukan di Tiongkok. Kota itu adalah Quanzhou yang oleh banyak sumber disebut Zaitun. “Kita tahu soal kota ini dari catatan pengalaman dua penjelajah besar dunia,” lanjut Van Bruinessen.
Marco Polo (1271–1295) adalah pedagang Venesia yang pernah tinggal di Tiongkok selama hampir 20 tahun. Dia mencatat terdapat komunitas muslim yang besar di kota Zaitun.
Marco Polo melakukan perjalanan dari kampung halamannya ke Irak, Iran, Afghanistan, menyusuri Jalur Sutra ke Tiongkok. Dia tinggal agak lama di Mongolia sebelum tiba di Tiongkok.
“Dia lalu kembali ke Venesia melalui Selat Malaka. Dari catatannya kita dapat kesan waktu itu, 1292 mungkin, belum ada orang Aceh yang jadi muslim. Waktu itu masih pra-Islam,” jelas Van Bruinessen.
Baca juga: Ibnu Battuta, Kisah Perjalanan Musafir Terbesar
Lima puluh tahun setelah perjalanannya, Ibnu Battuta (–1354), penjelajah asal Maroko, menyusuri jalur darat mengunjungi banyak wilayah di Asia. Dia bukan pedagang melainkan ulama dan ahli fikih.
“Dia meninggalkan catatan menarik tentang Zaitun. Ia bicara tentang orang Islam dari Persia dan Arab. Zaitun itu ada di seberang Taiwan,” jelasnya.
Dari Zaitun, Ibnu Battuta pulang lewat jalur laut. Dia melewati Filipina, Kalimantan, dan Selat Malaka. Sempat mampir di Aceh, dia menjadi orang pertama yang mencatat bahwa sudah ada orang Islam di Aceh.
“Ibnu Battuta ini sumber pertama kalau di Aceh sudah ada Islam. Jadi antara kunjungan Marco Polo dan Ibnu Battuta itu sekira 1320 (Islam sudah ada di Aceh, red.),” lanjutnya.
Baca juga: Ibnu Battuta Singgah di Samudra Pasai
Tasawuf dan Tarekat
Tasawuf dan tarekat memainkan peran menentukan dalam proses persebaran Islam di Nusantara. Tasawuf dan tarekat selalu memiliki warna lokal tapi membawa ajaran yang universal. Karenanya tarekat lebih mudah menjadi perantara penyebaran Islam yang universal tetapi tetap menyimpan lokalisme.
“Orang sufi menerima cara pujian terhadap nabi yang bersifat sangat lokal diiringi musik, bentuk ziarah yang bersifat tradisi sangat lokal. Haul juga mudah diterima orang penganut tasawuf daripada yang mengkhususkan diri terhadap fikih dan hadis,” jelas Van Bruinessen.
Baca juga: Jejak Sufi, Pembawa Ajaran Islam ke Nusantara
Adapun tarekat yang dikenal di Indonesia ada yang berkembang di Afrika, India, dan Asia Tengah. Semuanya terhubung dengan jaringan yang sangat luas tersebar di seluruh dunia. “Hubungannya melalui jalur rempah atau jalur sutra, jalur maritim maupun darat,” lanjut Van Bruinessen.
Pengamatan menarik lainnya, kata Van Bruinessen, orang-orang yang ada di wilayah penyebaran Islam jalur rempah rata-rata menganut mazhab Syafi’i. Sementara masyarakat yang di wilayah penyebaran jalur sutra atau darat menganut mazhab Hanafi.
Hal itu sangat mencolok di India. Islam yang datang dari utara, yakni yang menciptakan budaya Mughal, bermazhab Hanafi. Namun yang nampak di wilayah pesisir Samudra Hindia adalah mazhab Syafi’i.
“Mazhab Hanafi mungkin lebih sering dipakai sebagai mazhab negara. Mughal dan Utsmani mengambil Hanafi sebagai mazhab. Sedangkan Syafi’i disebarkan secara perseorangan. Tapi faktor kebetulan mungkin lebih penting,” jelas Van Bruinessen. “Jadi mazhab juga berkaitan dengan jalur perdagangan.”
Baca juga: Ratu Pakubuwana, Sufi Perempuan Leluhur Wangsa Mataram
Bahasa Melayu, Bahasa Jalur Rempah
Van Bruinessen menyoroti bagaimana para pedagang dan pelayar saling berkomunikasi ketika berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Khususnya ketika menyusuri jalur rempah, para pedagang dan pengembara selalu memilih mengambil perjalanan yang lebih pendek. Mereka harus berpindah kapal untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan.
“Bukannya dari Yaman langsung ke Maluku. Harus menunggu musim angin juga,” jelas Van Bruinessen.
Baca juga: Revolusi Bahasa di Sriwijaya
Di kawasan Nusantara rupanya bahasa Melayu yang dipakai dalam perdagangan antarpulau. “Di daerah pinggiran laut sering mengambil bahasa Melayu sebagai bahasa pertama. Di pedalaman ada bahasa lain,” kata Van Bruinessen.
Komunitas berbahasa Melayu bahkan juga ditemukan di Filipina, Kamboja, Vietnam, dan Srilanka. “Jadi bahasa Melayu punya kaitan erat dengan jalur rempah,” tegasnya. “Jalur rempah di sini ada aspek budaya juga.”
Baca juga: Kisah Rempah dan Kuliner Khas Yogyakarta
Tambahkan komentar
Belum ada komentar