Masuk Daftar
My Getplus

Solusi Baru Buat Kota Renta

Mampukah Jokowi dan Ahok menuntaskan masalah Jakarta yang diwariskan dari zaman ke zaman?

Oleh: Bonnie Triyana | 19 Nov 2012
Foto: Micha Rainer Pali

SIANG itu, 20 September lalu, ruas Jalan Borobudur disesaki orang-orang berkemeja kotak-kotak. Mereka memenuhi halaman rumah bernomor 22 yang jadi posko tim sukses Joko Widodo dan Basuki T. Purnama, yang lebih dikenal dengan sebutan Jokowi-Ahok. Pilkada DKI Jakarta berlangsung dua putaran dan berakhir dengan kemenangan Jokowi-Ahok.

“Jokowi siapa yang punya... Jokowi siapa yang punya... yang punya kita semua..,” demikian para pendukung Jokowi-Ahok menyanyikan lagu kemenangan mereka.

Tapi Jakarta butuh lebih dari sekadar nyanyian kegembiraan. Jokowi, yang sukses memimpin Solo, digadang-gadang dapat menyelesaikan persoalan yang merundung Jakarta dari zaman ke zaman. Dari kemacetan, banjir, sanitasi, sampai laju urbanisasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jakarta membutuhkan figur pemimpin yang berani dan serius mengambil tindakan. Hal tersebutlah yang menurut sejarawan JJ Rizal tak lagi ditemui pada pemimpin Jakarta saat ini sepeninggal Ali Sadikin.

Advertising
Advertising

“Praktis sepeninggal Bang Ali memimpin Jakarta, belum ada lagi gubernur yang mampu menyelesaikan persoalan di Jakarta secara sungguh-sungguh,” kata JJ Rizal.

Ali Sadikin menjabat gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977. Terkenal dengan beragam program pembangunannya, dia menjadikan Jakarta tak hanya sebagai pusat bisnis dan hiburan tapi juga pusat kebudayaan.

Menurut JJ Rizal, Jokowi sebagai gubernur terpilih akan menghadapi begitu banyak persoalan yang membelit Jakarta sejak lama. Dua di antaranya adalah problem yang tidak pernah tuntas diselesaikan. “Banjir dan nyamuk adalah masalah klasik di Jakarta. Ini terjadi sejak abad ke-5. Dulu Raja Purnawarman membangun kanal sepanjang 12 kilometer untuk menanggulangi persoalan tersebut,” ujar Rizal.

Penanggulangan banjir juga dilakukan pemerintah kolonial. Pada 1930, pembangunan banjir kanal barat mulai dilakukan. Pada masa Ali Sadikin jadi gubernur, dia menetapkan kawasan Pluit seluas 465 hektar sebagai penampungan air. Namun kini kawasan itu berubah menjadi permukiman.

Menurut Rizal, kebijakan Ali Sadikin tak lagi diteruskan oleh penerusnya. Tjokoropranolo, gubernur pengganti Ali, justru melakukan kebijakan yang berlawanan arah dengan Ali. “Mayoritas pekerjaan Tjokro itu merusak pekerjaan Bang Ali. Orang-orang yang merusak tata ruang kota tidak disikapi keras. Bahkan becak yang sudah dilarang beroperasi oleh Bang Ali, begitu Tjokro naik becak juga naik lagi,” ujar direktur penerbit buku Kobam itu.

Sementara itu arsitek Marco Kusumawijaya berpendapat Jakarta memang memiliki setumpuk persoalan pemanfaatan ruang yang tak seimbang antara fungsi dan kebutuhan warga. “Lebih banyak apartemen mewah, sementara ruang terbuka hijau kurang. Jalan mobil lebih banyak daripada jalan kereta. Akibatnya terjadi kesenjangan antara kapasitas kota dan pertumbuhan kota. Infrastruktur salah arah,” ujarnya.

Kebijakan tidak tepat sasaran dan lambannya pengambilan tindakan memperburuk kondisi ibukota negara ini. Persoalan merambat ke berbagai bidang. Tak hanya tata ruang, kemacetan semakin parah dari waktu ke waktu. “Persoalan terbesar di Jakarta adalah telat bertindak. Misalnya soal MRT. Kalau rencana itu jadi, MRT Jakarta akan jadi MRT termahal di dunia karena dibangun dalam kondisi lingkungan yang tak memadai lagi,” kata Marco, merujuk transportasi massal berbasis rel (MRT) yang rencananya mulai dibangun di Jakarta pada 2014.

Jakarta berubah sangat pesat dalam 50 tahun terakhir. Ruang terbuka hijau jadi hal langka, sesuatu yang tak terjadi pada 1950-an. Firman Lubis, seorang dokter-cum-penulis sejarah, dalam memoarnya Jakarta 1950-An: Kenangan Semasa Remaja menulis bahwa Jakarta pada tahun-tahun itu masih memiliki banyak lapangan terbuka di tengah kota. “Sekarang banyak yang hilang dan berganti menjadi berbagai macam bangunan, seperti perkantoran, mal, supermarket, dan apartemen yang seringkali dibangun seenaknya saja tanpa memperhatikan tata ruang,” tulisnya.

Butuh Terobosan Baru

Kota berusia hampir lima abad lebih ini bermula dari sebuah kota pelabuhan Kerajaan Padjadjaran di Sunda Kelapa, tepat di muara Sungai Ciliwung. Dari sebuah kota pelabuhan kecil, Jakarta bertumbuh menjadi metropolitan yang dihuni lebih dari 10 juta penduduk. Sejak abad ke-12, kota ini sudah jadi bandar pelabuhan yang sibuk dan kerap dikunjungi pedagang-pedagang Tiongkok, India Selatan, dan Timur Tengah.

Pada 1527, yang kemudian ditetapkan sebagai tahun lahirnya Jakarta karena bertepatan dengan penaklukan Sunda Kelapa, Fatahillah mengubah namanya menjadi Jayakarta, artinya kota yang menang. Nama Jayakarta kemudian diubah menjadi Batavia pada 1619 ketika kota ini dikuasai Belanda. dan pada masa pendudukan Jepang, namanya jadi Jakarta hingga kini.

Limabelas tahun awal kemerdekaan, Jakarta mengalami banyak perubahan. Trem yang digunakan untuk melayani warga sejak kota ini masih bernama Batavia harus berhenti pengoperasiannya pada 1960. Walikota Sudiro sempat mengajukan permohonan kepada Presiden Sukarno agar trem tak dihapuskan. Namun Sukarno kala itu menganjurkan agar Jakarta membangun jaringan kereta bawah tanah ketimbang trem yang dinilainya tak cocok.

Sebagai ibukota negara, penampilan Jakarta masih jauh dari ideal. Kota terbesar pertama di Indonesia ini bagaikan tersandera problematikanya sendiri. “Kita perlu cara baru untuk mengatasi masalah di Jakarta,” ujar Marco.

Bermodal cara baru itulah pasangan Jokowi-Ahok melaju ke Pilkada DKI. Dengan slogan “Jakarta Baru”, pasangan yang diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra ini berhasil mengalahkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dalam dua putaran. Baik Jokowi maupun Ahok dinilai berhasil saat memimpin daerah masing-masing. Di Solo, Jokowi menjadi perhatian banyak orang dengan gaya kepemimpinannya yang komunikatif. Sementara Ahok dianggap berhasil menggratiskan biaya berobat bagi warga kabupaten Belitung Timur.

Dalam kampanyenya, Jokowi selalu menekankan pentingnya mereformasi birokrasi sebagai ujung tombak pelayanan warga. Hal yang sama juga dilakukan Ali Sadikin saat memimpin Jakarta dengan tantangan yang lebih berat ketimbang saat ini. “Birokrasi DKI zaman Bang Ali itu ‘mandor kawat’,” kata Rizal.

Jokowi pun berjanji menangani persoalan warga lebih manusiawi dengan menekankan aspek komunikasi. “Yang akan saya lakukan bukan menggusur tapi menggeser,” kata Jokowi dalam acara debat kandidat gubernur yang disiarkan televisi pada 16 September.

Mampukah Jokowi-Ahok menyelesaikan persoalan yang menjerat kota Jakarta dan mengatasi berbagai problem yang diwariskan masa lalu? Waktu akan membuktikannya dan sejarah akan mencatatnya.

[pages]

TAG

kota

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Tempat Jin Buang Anak Kertanagara dan Nusantara Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya Binjai, dari Kota Rambutan sampai Kedebong Pisang Demam Sepeda 1990-an 200 Tahun, Pasar Baru Terus Melaju