Masuk Daftar
My Getplus

Perempuan dan Sabuk Hijau

Dia mendapat julukan “antek asing”, bahkan “perempuan gila”. Tapi Komisi Nobel menganugerahinya penghargaan bergengsi.

Oleh: M.F. Mukthi | 08 Mar 2011

KENYA, musim dingin 1999. Seorang perempuan tua menanam pohon di hutan rakyat Karuna di Nairobi sebagai bentuk protes atas kerusakan hutan. Namun, tak lama kemudian, sejumlah orang yang bekerja pada pengembang real estate menebangnya. Petugas keamanan pengembang lalu menyerang perempuan itu dan kelompoknya. Kepalanya kena bacok. Beberapa orang terluka.

Penyerangan mental maupun fisik kerap menghampiri Wangari Maathai, aktivis lingkungan dan perempuan Kenya. “Insiden 1999 merupakan serangan fisik ketiga bagi aktivis pemberani itu dalam beberapa tahun terakhir,” tulis Jim Motavalli dalam “Africa′s Green Belt”, dimuat The Enviromental Magazine, www.emagazine.com.

Tujuh tahun sebelumnya, Maathai pingsan dipukuli polisi ketika melakukan aksi mogok makan. Dia juga berkali-kali ditahan oleh pemerintah.

Advertising
Advertising

Banyak pihak, termasuk pemerintah, merasa terusik kepentingannya oleh tindakan Maathai dan gerakannya, Green Belt Movement (GBM) atau Gerakan Sabuk Hijau.

Maathai lahir di Desa Ihithe, Distrik Nyeri, Kenya pada 1 April 1940, dari anak petani miskin beretnis Kikuyu, etnis terbesar di Kenya. Dia mulai bersinggungan dengan masalah perempuan dan lingkungan ketika mendapat beasiswa untuk studi di University of Pittsburgh, Amerika Serikat. Kala itu gerakan perempuan lagi tumbuh, memobilisasi diri, dan membicarakan tentang pembebasan perempuan. Dia memikirkan apa yang bisa dia lakukan untuk perempuan di negaranya.

"Perempuan desa [di Kenya] berbicara tentang bagaimana mereka tak punya cukup makanan karena lahan mereka telah dikonversi menjadi tanaman perdagangan (cash crop) –sebagian besar kopi– sehingga mereka harus membeli makanan," ujarnya kepada Financial Times, 10 Desember 2010.

"Dan karena mereka tak lagi memiliki pohon di lahan mereka, mereka harus pergi jauh untuk mendapatkan kayu bakar, sehingga mereka cenderung memasak makanan siap-olah dan siap-saji tapi biasanya tak bergizi. Selain itu, mereka berkata air sudah tercemar karena orang menggunakan pupuk untuk memelihara tanaman perdagangan."

Dia mulai menggarap isu itu ketika bekerja sebagai asisten peneliti –kemudian kepala pada 1976 dan 1977– di bagian Microanatomi, Departemen Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, College University of Nairobi. Dalam pandangannya, masalah lingkungan, perempuan, dan kemiskinan saling terkait. Dan perempuan menjadi pihak pertama dan paling dirugikan. Untuk mengatasinya, perempuan harus diberdayakan. Pendidikan mengenai komunitas dan lingkungan menjadi pintu masuknya.

Dalam salah satu forum Dewan Nasional Perempuan Kenya (NCWK), Maathai menyarankan agar kaum perempuan dilibatkan dalam reboisasi. Deforestasi, baginya, disebabkan oleh salah urus lingkungan oleh pemerintah dan ketidaktahuan penduduk pedesaan. Deforestasi merupakan faktor utama penyebab kemiskinan.

Tahun 1977, ketika duduk sebagai anggota Komite Eksekutif NCWK, dia mengeluarkan sebuah gagasan: gerakan penanaman pohon. Dia memeloporinya dengan menanam pohon di halaman belakang rumahnya pada 5 Juni, berbarengan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Dia juga menyatakan perang terhadap industri kopi milik pemerintah dan industri kayu yang meminggirkan kepentingan petani.

Mulanya, gerakannya tak diterima dengan baik oleh pemerintah maupun suaminya, anggota parlemen Mwangi Mathai. Suaminya bahkan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan pada 1979 dengan alasan istrinya terlalu berpendidikan, sukses, kuat, keras kepala, dan tak bisa mengendalikan diri. Ketika hakim mengabulkan permohonan itu, Maathai menganggapnya konyol, dan dia pun mendapat hukuman enam bulan penjara. Dia menjalaninya tiga hari. Pengacaranya menjamin pembebasan dirinya. Suaminya mendesak pengadilan agar Maathai tak lagi menggunakan nama keluarganya. Dan dia pun menambahkan “a” pada namanya.

Pada 1982, Maathai memutuskan untuk bersaing memperebutkan kursi parlemen di daerah asalnya, Nyeri. Pengadilan menyatakan dia tak memenuhi syarat dengan alasan teknis. Maathai meyakini ada motif politik di balik penolakan itu. Dia juga ditolak ketika hendak kembali ke pekerjaan akademisnya –yang artinya, dia juga harus keluar dari rumah dinasnya.

Namun Maathai tak bisa dicegah.

Pada 1986, Maathai mendirikan Green Belt Movement (GBM), lembaga nonpemerintah berbasis akar rumput yang memobilisasi perempuan desa untuk menanam pohon. Inti gerakan ini adalah penyadaran masyarakat, terutama perempuan di pedesaan, mengenai pentingnya hutan bagi perekonomian dan hidup mereka. Maathai dan para relawan keliling kampung untuk menjelaskan dan mengajak mereka menanam pohon. Dampaknya: laju deforestasi berkurang. Ketersediaan kayu bakar untuk para ibu dan jaminan sumber penghasilan keluarga pun lebih tercukupi. GBM dengan cepat menarik banyak orang.

Menurut estimasi Maathai, sebagaimana ditulis Paul Ekins dalam A New World Order: Grassroots Movements For Global Change, pada pertengahan 1980-an GBM punya sekira 600 pembibitan, memberi pemasukan rutin bagi 2.000-3.000 perempuan, serta membuat 2.000 sabuk hijau dengan melibatkan setengah juta anak sekolah –selain membantu sekitar 15 ribu petani membuat sabuk hijau sendiri. Jumlah itu terus bertambah seiring waktu. Karena berhasil, GBM memicu program serupa di lebih 30 negara Afrika lain. Banyak mahasiswa, akademisi, praktisi, atau organisasi dari luar negeri datang mempelajari GBM.

Namun hambatan tetap menghampiri. Para pengusaha, pun pemerintahan Presiden Daniel Arap Moi, merasa terganggu. Pada 1989, pemerintah hendak mengkonversi Uhuru Park, satu-satunya ruang publik di Nairobi, menjadi pusat perkantoran dan bisnis. GBM menuntut pembatalan proyek itu. Dukungan datang dari dunia internasional. Salah satunya dari Norwegia. Pemerintahan Moi dan para politisi pun berang. Dubes Norwegia dipulangkan, Moi diancam, dan legalitas GBM terancam dicabut. Oleh Moi, Maathai dijuluki “perempuan gila” yang mengancam ketertiban dan keamanan negara. Seorang menteri menyebutnya “seorang bodoh dan boneka pemarah antek asing”. Sementara Parlemen mencemooh gerakannya sebagai “segerombolan janda”.

Maathai jalan terus. GBM, kata Maathai suatu waktu, ditentang pemerintah bukan karena menanam pohon namun karena mengorganisasi diri, menentang salah-urus lingkungan. “Jika kita dapat mengurus sumber daya secara bertanggung jawab dan membaginya secara seimbang,” jelas Maathai suatu waktu, “pertikaian akan terkurangi.”

Jane Godall, konservasionis terkemuka, dalam situswebnya, www.janegoodallhopeforanimals.com, menulis rahasia keberhasilan GBM bukan hanya orientasi solusinya namun, “ia memberdayakan perempuan.” Sedangkan bagi International Wildlife Magazine (1978), GBM merupakan solusi paling masuk akal untuk mengatasi deforestasi, karena GBM lebih menyeluruh (meliputi beberapa aspek).

Pada 2004, Maathai dianugerahi Nobel Perdamaian oleh Komite Nobel Norwegia. Maathai, serta aktivitas revolusioner dan kampanye tak kena lelahnya, dianggap telah melindungi kelangsungan lingkungan dan mahluk hidup di Kenya serta hak-hak perempuan di Afrika. Dia merupakan environmentalis pertama yang berhasil meraih penghargaan bergengsi itu.

“Banyak dari perang yang pecah selama ini adalah mengenai rebutan sumber daya alam. Bila sumber daya alam kita kelola dengan lebih baik dan berkelanjutan, konflik di seluruh dunia dengan sendirinya akan berkurang,” tulis Maathai dalam The Green Belt Movement: Sharing The Approach and the Experience.

“Tak akan ada damai tanpa pembangunan yang adil, dan tidak akan ada pembangunan tanpa manajemen lingkungan berkelanjutan di ruang demokratis dan damai.”

TAG

Lingkungan

ARTIKEL TERKAIT

Bumi Pertiwi Hampir Mati Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan Pemujaan di Bukit Tandus Setetes Air di Tanah Gersang Yang Terkubur Amukan Merapi Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi Mempercantik Candi-candi di Yogyakarta dengan Semak Berbunga Riwayat Pertapaan di Lereng Gunung Ungaran Singgah di Rumah Dewa Siwa