Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto sesumbar. “Warisan saya saja untuk 10 turunan juga nggak habis kok. Sejak lahir saya sudah hidup berkecukupan. Supaya tahu. Jadi jangan kira saya ini OKB’,” katanya. Dia menolak anggapan bahwa reputasi dirinya sebagai orang kaya lantaran menangani kasus korupsi E-KTP yang menjerat Ketua DPR, Setya Novanto. Sontak ucapan angkuhnya menjadi viral di lini massa.
Lantas, bagaimana ceritanya sebutan OKB (Orang Kaya Baru) mengemuka?
Fenomena OKB sebenarnya bukan barang baru. Ia telah mengakar sejak zaman kolonial. Istilah ini mengacu kepada mentalitas suatu kelas sosial dalam masyarakat.
Sejarawan Belanda terkemuka Bernard Vlekke mencatat, struktur masyarakat Batavia terbagi atas dua kelompok: pegawai Kompeni dan warga bebas. Hampir semua warga bebas adalah mantan pegawai Kompeni dan orang-orang kaya baru Batavia yang suka pamer kekayaan namun berselera rendahan.
“Dianggap tanda kemakmuran bila punya banyak budak dan melepaskan semua kerja dan urusan, bahkan pendidikan anak-anak kepada pelayan,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara dalam obituari mengenang Mr. C. Th. van Deventer bertajuk “De Taak” (Tugasnya) termuat di mingguan Algemeen Indisch Weekblad, Agustus 1917 pernah menyentil kaum perlente sebangsanya yang banyak gaya ini. Ki Hadjar menyebut mereka sebagai borjuis pribumi yang berorientasi Barat. Mereka memuja sesuatu yang berbau Barat dan fasih dalam penguasaan tata budaya Belanda.
“Dia (Ki Hadjar Dewantara) mencela para parvenue (orang kaya baru) Jawa tertentu yang selalu ingin pamer dan menonjolkan materi, namun tidak mampu menghargai bentuk pendidikan yang tidak menyertakan bahasa Belanda,” demikian menurut Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 1900--1942.
Namun istilah OKB sendiri barangkali mulai mengkhalayak setelah meletusnya revolusi sosial di Sumatera Timur. Mohammad Radjab, wartawan Kantor Berita Antara, dalam reportasenya di Pematang Siantar pada 23 Juni 1947 melaporkan, banyak orang biasa yang tiba-tiba bergelimang harta; punya mobil, perhiasan, dan rumah mewah. Kekayaan itu ditengarai berasal dari penjarahan saat terjadi revolusi sosial yang menumbangkan kekuasaan kesultanan feodal di Sumatera Timur. Ratusan orang yang ”beruntung” itu hilir-mudik di jalan, berbelanja dan memborong di pasar.
“Inilah busa tiap-tiap pergolakan. Oleh rakyat di sana mereka dinamakan O.K.B. (Orang Kaya Baru) atau kaum feodal baru yang menggantikan kaum feodal yang dibasminya setahun yang lalu,” tulis Radjab dalam memoarnya Tjatatan di Sumatera (1949).
Antropolog Universitas Nasional Malaysia, Shamsul Amari Baharuddin juga meyakini istilah OKB bermula dari Sumatera. Istilah ini sejak tahun 1950-an sering disinggung dan menjadi diksi yang melekat dalam masyarakat hanya dengan singkatannya. OKB bahkan populer hingga ke Malaya.
“Istilah OKB digunakan dalam percakapan sehari-hari, lirik lagu, pertunjukan komedi, cerita pendek, ataupun tajuk rencana koran-koran lokal berbahasa Melayu,” ungkap Shamsul dalam artikel “From Orang Kaya Baru to Melayu Baru” termuat di kumpulan tulisan Cultural Privilege in Capitalist Asia suntingan Michael Pinches.
Gaya dan tren OKB pun mewabah. Di Jakarta yang telah menjadi ibu kota negara Indonesia, mereka teridentifikasi dari bangunan rumahnya yang menyolok. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an:Kenangan Semasa Remaja menyaksikan bangunan rumah yang aneh-aneh di sekitaran Menteng, Kebayoran baru, Simpruk, atau Pondok Indah. Rumah-rumah ini dibangun dengan arsitektur meniru berbagai gaya bangunan asing seperti gaya Spanyol, klasik Eropa, Yunani, Italia, dan lain-lain. Padahal desain rumah demikian sangat tidak cocok dengan iklim tropis.
“Tetapi memang begitulah umumnya yang terjadi pada orang kaya baru (OKB) yang mendadak duitnya banyak tetapi kurang diimbangi dengan kemampuan intelektualitasnya sehingga mempunyai selera seni yang rendah, kurang mempunyai estetika. Memang tidak ada istilah lain kecuali sekali lagi, norak!" celoteh Firman Lubis.
Seiring dengan genjotan pembangunan dan modernisasi di era Orde baru, OKB berdandan mengikuti zaman. Mereka ini biasanya merujuk kepada para pejabat yang tiba-tiba kaya setelah menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Sebagian lainnya menyebut kepada orang yang ketiban warisan.
Sebagai sebuah “suku urban”, menurut sejarawan Universitas Leiden Henk Schulte Nordholt, orang kaya macam ini dapat dikenali dari pakaian mereka yang berbeda dan mahal. Identitas kelasnya mencuat lewat gaya hidup baru: konsumerisme.
Nordholt mencatat, ragam kebiasaan orang kaya baru yang menarik adalah upaya mereka untuk mengoleksi kartu nama, undangan, relasi (sosialita), alat pembakar roti, mobil hingga apartemen. Juga tak ketinggalan, aktivitas plesiran mancanegara.
“Secara serempak dunia orang kaya baru ini terdiri atas sekumpulan jaringan kerja yang lebih besar, termasuk Hongkong (untuk belanja), Amerika Serikat (tempat anak-anak mereka bersekolah), Eropa (untuk perjalanan lima hari), dan Makah (untuk ibadah haji bintang lima),” tulis Nordholt dalam Outward Appreances: Trend, Identitas, Kepentingan.