Masuk Daftar
My Getplus

Makanan Kaleng Merentang Zaman

Dari kebutuhan perut prajurit di medan perang, makanan kaleng berkembang menjadi budaya kuliner masyarakat urban.

Oleh: Martin Sitompul | 19 Feb 2020
Aneka makanan kaleng. Foto: piqsels.com.

PEMERINTAH Prancis mendeklarasikan sebuah sayembara unik pada 1795. Isinya: dicari orang yang mampu mengawetkan makanan. Hadiah yang ditawarkan tak tanggung-tanggung, yakni uang sejumlah 12.000 franc (setara 167 juta dalam kurs rupiah saat ini). Penggagas hajatan itu adalah Napoleon Bonaparte, jenderal Prancis terkemuka. Saat itu, Napoleon membutuhkan metode pengawetan makanan untuk menyokong logistik konsumsi pasukannya dalam persiapan menginvasi berbagai negara.

Tantangan ini akhirnya dijawab Nicolas Appert, seorang jurumasak bangsawan Prancis. Pada 1803, Appert memulai eksperimen. Menurutnya, makanan mudah membusuk umumnya karena bersentuhan dengan udara terbuka. Dia kemudian meramu sup yang diawetkan dengan bahan daging sapi, saus kacang, dan kacang polong. Dia mengemasnya dalam botol kaca yang biasa digunakan untuk menuang anggur. Angkatan Laut Prancis menyimpannya selama tiga bulan.

“Kemudian mereka mencoba memakannya. Yang dirasakan adalah makanan yang lezat dan aman untuk dikonsumsi,” tulis Judith Jango-Cohen dalam The History of Food.  

Advertising
Advertising
Nicolas Appert dan jenis botol yang digunakan dalam metode pengawetan makanan. Sumber: Wiki.

Penemuan Appert menjadi cikal-bakal pengawetan makanan dengan media kaleng (canning food). Seiring waktu, makanan kaleng mengalami perkembangan baik dari segi kualitas makanan maupun kemasannya. Konsumsinya pun tak terbatas pada kebutuhan perang. Ia menjadi budaya populer dalam pola kuliner masyarakat urban. Makanan kaleng bahkan bertumbuh sebagai komoditas dalam industri pangan.

Pada era dunia modern kini, pengalengan merupakan hasil teknologi pangan yang sangat dikenal karena ketahanan dan efisiensi penyajiannya.

Gaya Hidup Londo

Sebelum Appert, metode pengawetan makanan telah diterapkan di negeri koloni Belanda, Hindia Belanda. Pejabat arsiparis Hindia Belanda F. de Haan dalam Priangan, de Priangen-Regentschapen onder het Nederlansdsch Bestuur tot 1811 mencatat, penduduk Batavia telah mengenal makanan kaleng sejak 1614.

Pada 1680 sudah ada pengiriman kaviar (telur ikan) dan buah zaitun dalam kaleng. Sedangkan kue yang dibungkus timah sudah ada pada 1715. Menu berat seperti ikan salmon jenis schoonhoven diperkenalkan tahun 1775. Makanan seharga 10 gulden per paket ini dikirimkan ke Hindia Belanda dengan kaleng timah yang diisi lemak domba sebagai pembalut ikan. Ikan asap dengan saus dalam kaleng menyusul masuk ke Batavia pada 1794.

Semua jenis makananan tersebut, menurut de Haan, sebagaimana dikutip Tawalinuddin Haris dalam Jakarta dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial, “banyak didatangkan dari Eropa untuk memenuhi kebutuhan warga Eropa.”

Baca juga: 

Cara Kuno Mengawetkan Makanan

Selama periode kolonial, makanan kaleng tetap menjadi pilihan di meja makan keluarga Belanda totok. Memasuki abad ke-20, hidangan Eropa dengan sajian demikian dinilai lebih tinggi daripada hidangan Hindia. Stigma ini berdampak terhadap semakin besarnya konsumsi makanan kalengan.

Menurut data Handbook of the Netherlands East Indies tahun 1930, jumlah makanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai yang cukup besar. Jenis makanannya pun variatif seperti: mentega, keju, ikan, daging, biskuit, buah, dan sayuran. Iklan makanan kaleng bertebaran. Dalam Gids voor Indie tahun 1933, misalnya, terpasang iklan makanan kaleng Del Monte, produksi Amerika, berisi asparagus, ercis, hingga buah-buahan.

Proses pembaratan makanan di era ini ternyata punya muatan politik identitas. Meninggalkan makanan lokal dan menggantinya menjadi menu ala Eropa ialah sebagai bentuk “totokisasi”. 

“Kekuasaan yang mendefinisikan aturan sosial dan mempertahankan penjagaan jarak dengan masyarakat Indonesia,” tulis Elsbeth Locher-Scholten, “Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng”, termuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan suntingan Henk schulte Nordholt.

Keracunan Hingga Apkiran

Selepas masa kolonial, makanan kaleng tidak begitu dilirik masyarakat Indonesia hingga masa Orde Baru.

Pada 1948, telah ada pabrik makanan kaleng di Denpasar, Bali, yakni Canning Indonesian Products (CIP). Semula ia milik Taiwan Chikusan, yang didirikan pada masa pendudukan Jepang untuk memenuhi kebutuhan logistik perang. Setelah Jepang angkat kaki, perusahaan itu dibeli orang-orang Tionghoa. Pabrik ini masih bertahan hingga kini. Sementara di Kupang, Nusa Tenggara Timur, berdiri pabrik Indonesian Canning and Frezzing Factory (ICAFF) sekira 1952. Karena seretnya permintaan, ICAAF mengalami kemunduran produksi lalu tutup.

Dibukanya pintu modal asing meningkatkan jumlah pabrik makanan kaleng di Indonesia. Pada 1970, menurut data Dirjen Perikanan, sebanyak 17 pabrik makanan kaleng telah berdiri di Indonesia. Saat itu, pemerintah memang tengah menggenjot industri pengalengan makanan, terutama ikan, mengingat potensi maritim Indonesia yang begitu besar.

“Perikanan sangat membutuhkan industri semacam ini,” ujar Dirjen Perikanan Nizam Zachman, dikutip Kompas, 15 September 1970.

Baca juga: 

Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu

Sepanjang dekade 1980-an, konsumsi makanan kaleng di kalangan masyarakat kota-kota besar meningkat. “Sarden” demikian sebutan makanan keleng berisi ikan laut, sedangkan “kornet” untuk yang berisi daging. Dari segi merek, Del Monte merupakan makanan kaleng impor yang cukup terkenal. Merek lokal yang populer adalah CIP. Permintaan terhadap makanan kaleng biasanya melonjak saat menjelang hari raya lebaran.

Menggeliatnya industri makanan kaleng tidak selamanya membawa kebaikan. Di paruh kedua tahun 1980, tercatat banyak kasus keracunan makanan kaleng. Pengolahan yang tidak steril menyebabkan korosi (reaksi kimiawi) dan kerusakan mikorobiologi terhadap kandungan makanan dalam kaleng. Di samping itu, ada pula para pedagang nakal yang berlaku curang. Mereka menjual produk apkiran, yaitu makanan kaleng yang rusak dan yang dihapus atau tidak dicantumkan tanggal kadaluarsanya.

Kendati mengancam kesehatan, makanan kaleng tidak punah. Ia seolah menyatu dengan kultur kuliner masyarakat urban. Alasannya, praktis dan menambah status sosial.

TAG

kuliner makanan

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat Kontes Memasak Tempo Dulu