Suatu malam di Kampung Melayu, Batavia, pada 1907. Keheningan pecah. Suara pistol berkali-kali terdengar. Enam bandit beraksi di rumah orang Tionghoa. Mereka berhasil membawa kabur perhiasan dan barang senilai 300 gulden. Warga berusaha mengejar. Tapi nyali mereka ciut ketika beberapa bandit melepaskan pelor ke udara.
Perampokan ini tercatat dalam Bataviaasch Nieuwsblad edisi 5 November 1907. Ini adalah kasus perampokan kesekian kalinya di wilayah Batavia.
Frekuensi kasus perampokan cukup tinggi. “Dua sampai tiga kali seminggu,” kata Margreet van Till, sejarawan Universitas Amsterdam suatu kali di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Perampokan terjadi merata di Batavia. Sekalipun wilayah itu punya jumlah polisi memadai. Tapi wilayah favorit para bandit berada di pinggiran Batavia (Ommelanden). Wilayah ini meliputi Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi sekarang. Panjang wilayah ini mencapai 100 kilometer dan lebarnya 50 kilometer.
Baca juga: Polisi zaman Kompeni
“Wilayah Ommelanden itu tidak bisa dikendalikan oleh Belanda,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia yang menggeluti tema Batavia. Hanya ada seorang schout, beberapa opas atau petugas polisi, dan sejumlah pembantu polisi. “Jumlahnya tidak sampai 100 orang,” lanjut Bondan.
Di sisi lain, roda ekonomi Ommelanden bergerak cepat sejak paruh kedua abad ke-19. Pertanian, perkebunan, dan pasar tumbuh pesat. Kampung-kampung bermunculan di atas tanah milik orang Belanda dan Tionghoa.
Di mana ada kampung, di situ pula bandit beraksi. Bandit bisa berasal dari mana saja. Dari kampung tempatan atau kampung jauh. Mereka merampok pada malam hari. Siang harinya, sebagian bandit kembali berbaur ke masyarakat seperti biasa tanpa rasa bersalah. Tapi beberapa bandit memilih bersembunyi di hutan sekitar Ommelanden.
Aksi-aksi para bandit meresahkan warga. Tiap orang berpotensi menjadi korban bandit. Tidak peduli dia seorang Eropa, Tionghoa, atau anak negeri.
Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia
Polisi memang menangkap sejumlah bandit. Kemudian mengeroyoknya sampai mampus sebagai pelampiasan kekesalan. Tapi lebih banyak bandit yang lolos hingga menjadi legendaris.
Beberapa bandit mengukir namanya dalam sejarah. Mereka berkali-kali lolos dari kepungan warga dan kejaran polisi. Reputasi mereka tersebar dari mulut ke mulut. Dari soal kebal pelor, mampu menghilang, jago menyamar, sampai lihai berbahasa asing.
Berikut ini sejumput kisah tentang bandit-bandit kakap di Batavia dan sekitarnya, baik tertulis dalam sumber tertulis maupun terekam dalam tradisi lisan.
Si Tjonat
Si Tjonat menjadi bandit sejak usia 13 tahun pada 1830-an. Tempat kelahirannya tak diketahui pasti. Dia mungkin kelahiran Buitenzorg (sekarang Bogor). Sebab ayahnya seorang kepala desa di Buitenzorg.
Orang sedesa mafhum bahwa Si Tjonat punya perangai buruk sedari remaja. “Kelakuannya ada terlalu bengis, gampang sekali memukul teman-temannya,” demikian gambaran Si Tjonat versi F.D.J. Pangemanann, seorang jurnalis surat kabar Perniagaan.
Pangemanann menulis sebuah buku tentang kisah Si Tjonat. Buku itu berjudul Tjerita Si Tjonat Satoe Kepala Penjamoen di Djaman Dahoeloe Kala dan terbit pada 1900. Margreet van Till merujuk buku ini sebagai salah satu sumber penulisan buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api.
Baca juga: Siapa Sebenarnya Si Pitung?
Alur kisah dan sejumlah tokoh dalam Tjerita Si Tjonat sangat mungkin rekaan Pangemanann. Tapi dia meyakinkan bahwa sosok Si Tjonat benar pernah hidup pada masa lampau.
“Adapoen ini Tjerita jang baroe dimentlahirken ini, doeloe soedah terdjadi betoel,” tulis Pangemanann. Dia menggambarkan sosok Si Tjonat sebagai bandit ulung. Si Tjonat memulai kiprah di dunia kriminal sebagai pencuri ayam, telur, dan kerbau.
Si Tjonat remaja punya seorang patron bernama Si Gondit. Umurnya 40 tahun. Kerjaannya merampok, menipu, dan membunuh. Suatu hari dia ingin menipu dan membunuh Si Tjonat. Tapi Si Tjonat mengendus siasat liciknya. Si Tjonat membunuhnya dan membawa kabur uang almarhum ke Batavia.
Ketika mencapai usia dewasa, Si Tjonat mulai mengumpulkan anak buah. Dia dan anak buahnya merampok di sekitaran Batavia, Tangerang, dan Buitenzorg.
“Kadang-kadang ia ada di bilangan Bantan (sekarang Banten); terkadang pula ada di bilangan Betawi atau Bogor, dimana saja dia rasa bisa merampok dan tiada gampang jatuh di tangan polisi,” tulis Pangemanannn. Si Tjonat pandai menyamar dan mengubah nama.
Tapi hari nahas Si Tjonat datang juga. Bermula dari kecintaanya pada seorang gadis Tionghoa bernama Lie Guow Nio. Dia perlahan lengah. Tempat persembunyiannya terlacak polisi dan warga sehingga dia tertangkap. Kemudian pengadilan memvonisnya hukuman gantung pada 5 April 1855.
“Bilang ribu orang sudah datang menonton, dan tatkala si Tjonat naik tangga gantungan, semua orang sudah bersorak dan berteriak, ‘Tjonat, selamat jalan!’,” demikian Pangemanannn menggambarkan akhir hidup Si Tjonat.
Si Ronda
Tak ada keterangan pasti kapan Si Ronda mulai beraksi. Sosoknya muncul dalam bentuk tuturan lisan, drama, film, dan novelet selama dekade 1920 dan 1930. Tuturan lisan menempatkan Si Ronda sebagai pahlawan kaum kusam. Dia berasal dari Kampung Marunda, sekarang terletak di Jakarta Utara.
Si Ronda adalah seorang yang menguasai beladiri (Jago).“Ilmu yang dimiliki si Ronda bukan dipergunakan untuk kecongkakan atau kesombongan, tetapi dipergunakan untuk membela rakyat kecil yang tertindas oleh tuan-tuan tanah,” tulis buku Sejarah Kampung Marunda terbitan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta tahun 1985.
Baca juga: Aksi Jago Pukul Betawi
Gambaran berbeda tentang Si Ronda tersua dalam buku berjudul Sair Tjerita Rampok Si Ronda. Buku tua ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Jakarta. Waktu terbitnya tak tercantum. Tapi ada sedikit penjelasan mengenai waktu terbitnya.
“Cerita Si Ronda sudah main di film. Diputar di waktu malam,” tulis Si Kantjil, nama samaran si penulis buku. Film Si Ronda muncul pada 1930. Ini berarti buku Sair Si Ronda terbit setelah 1930.
Film Si Ronda menggambarkan kebaikan-kebaikan Si Ronda pada kaum kusam, sebagaimana tuturan lisan. Tapi buku Sair Si Ronda justru mengajukan hal sebaliknya. Si Ronda adalah bandit culas. Dia ingin sendirian menguasai hasil rampokan. Tak mau berbagi dengan temannya bernama Oji.
“Adat Ronda memang serakah. Bagi barang dia tiada suka. Hingga Oji menjadi murka. Hendak bales membikin Ronda celaka,” tulis Si Kantjil. Perlakuan Si Ronda membuat Oji bersekutu dengan polisi. Si Ronda mati setelah tiga pelor menembus dadanya.
Kisah kematian Si Ronda jelas samar. Ada banyak versi. Tapi Margreet van Till menyebut kisah dalam Sair Si Ronda menjadi contoh nyata tentang upaya polisi menangkap bandit dengan bandit. (Bersambung)