Awal abad ke-20, Batavia dan Ommelanden (daerah sekitarnya) menjadi perhatian pejabat tinggi kolonial. Mereka bertanya kepada setiap asisten residen di sana mengapa banyak kasus perampokan tiap malam. Asisten residen Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), Tangerang, dan Buitenzorg (sekarang Bogor) menjawab kompak.
“Banyaknya laki-laki di Ommelanden yang merampok sebagai mata pencaharian tambahan dengan tingkatan berbeda-beda,” tulis mereka dalam laporannya, seperti diungkap Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam. Penyebab lainnya menurut mereka ialah peredaran senjata api ilegal di masyarakat.
Tetapi laporan-laporan asisten residen mengosongkan kesulitan hidup petani di wilayah termaksud. Mayoritas petani mengolah di atas tanah partikelir. Sebagai balasan terhadap pengolahan tanah itu, mereka wajib membayar pajak kepada pemilik tanah.
Baca juga: Asal Usul Bandit di Perdesaan
Bila tidak mampu membayar pajak, petani akan kena denda atau harus menghadap pengadilan. “Tidak segan-segan mereka dipenjarakan atau dibakar harta bendanya,” tulis Suhartono W. Pranoto dalam Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942.
Situasi ini melahirkan perlawanan balik dari petani kepada pemilik tanah. Perlawanan mereka tidak secara frontal, melainkan dalam bentuk perbanditan. Bergerombol atau sendirian. Nama-nama bandit sohor pun menguar. Misalnya Entong Tolo asal Pondok Gede (sekarang masuk wilayah Jakarta Timur, berbatasan dengan Bekasi) pada 1904—1910.
Merampok di Tanah Partikelir
Entong Tolo awalnya menghidupi dirinya dengan berdagang. Usianya hampir 50 tahun ketika memulai karier baru sebagai bandit. Dia beraksi di sekitaran Meester Cornelis, Bekasi, Sawangan (Depok), dan Buitenzorg. Sebagian besar di tanah-tanah partikelir.
Kecuali Meester Cornelis, tiga wilayah lainnya termasuk dalam Ommelanden. Polisi kesulitan menjangkau seluruh wilayah Ommelanden. “Wilayah Ommelanden itu tidak bisa dikendalikan oleh Belanda,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia.
Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia
Pun demikian menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo dalam “Banditry and Political Change in Java”, termuat di Modern Indonesia Tradition and Transformation. Ommelanden relatif kosong dari pengaruh pemerintah dan penguasa lokal. Inilah sebab Entong Tolo kerap beraksi di sana.
Keamanan di Ommelanden bertumpu pada centeng atau jago bayaran milik tuan tanah. Tapi mereka bukan tandingan Entong Tolo dan anak buahnya. Dia berulang kali mengangkangi centeng atau jago bayaran itu. Aksi-aksinya cenderung brutal sehingga membuat orang-orang takut terhadapnya.
Harta benda dan hewan ternak kepunyaan tuan tanah pun beralih ke genggaman Entong Tolo. Dia bagikan sebagian hasil rampokannya kepada petani untuk mengurangi penderitaan mereka lantaran tekanan pajak. Laku lampah semacam ini mengantarkan Entong Tolo ke posisi bandit sosial.
Ditakuti dan Dihormati
Pembagian hasil rampokan merupakan upaya Entong Tolo menabung simpati penduduk. Dia hidup buron dari satu tempat ke tempat lainnya. Tapi selalu ada pertolongan dari penduduk untuknya di banyak tempat. Termasuk untuk lima istri dan anak-anaknya.
“Mereka (penduduk, red.) ini seolah-olah membayar ‘pajak’ untuk menghidupi Entong Tolo dan seluruh keluarganya,” tulis J. van Gich, sekretaris Karesidenan Batavia, kepada Gubernur Jenderal A.W.F. Idenburg, 17 September 1910, termuat di Laporan-Laporan tentang Gerakan Protes di Jawa pada Abad XX, disusun oleh tim Arsip Nasional Republik Indonesia.
Berdasar laporan tadi, sosok Entong Tolo tampak seperti paduan antara seseorang yang ditakuti sekaligus dihormati. Karena itu pula, Sartono menggambarkan Entong Tolo seperti bos mafia Sisilia, Italia Selatan, daripada pelindung orang-orang miskin dan terbuang.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya
“Dia menikmati ‘hidup enak’, berpenghasilan cukup untuk memenuhi keinginannya dengan memeras uang dari berbagai lapisan masyarakat setempat," ungkap Sartono.
Dalam pandangan pejabat kolonial, Entong Tolo terang sebagai pembuat onar, pengganggu keamanan, dan perusak ketertiban. Dia harus lekas ditangkap. Mereka mengerahkan polisi untuk memburunya.
Polisi datang ke tempat-tempat bekas aksi Entong Tolo dan bertanya ke penduduk tentang Entong Tolo. Tapi tak seorang penduduk pun sudi berbicara kepada polisi.
Polisi beralih tanya ke pejabat setempat dan polisi lokal. Hasilnya serupa. Pejabat setempat dan polisi lokal enggan berbicara tentang Entong Tolo. Bukan lantaran hormat akan Entong Tolo sebagaimana penduduk, melainkan “takut akan mendapat balas dendam dari anak buah Entong Tolo”. Demikian keterangan lanjutan dari J. van Gich.
Entong Tolo seperti berada di atas angin. Tak tersentuh oleh siapapun. Tapi jalan hidup pemimpin bandit bukanlah tanpa akhir. Seperti pemimpin bandit lainnya, Entong Tolo pun bertemu dengan titik akhir tempo kejayaannya. Dia tertangkap pada November 1908. Sedikit sekali keterangan mengenai kronologis penangkapannya.
Baca juga: Aksi Bandit Sosial di Perdesaan
Sejarawan Suhartono dan Sartono tak menjabarkan penangkapan Entong Tolo barang sekalimat pun. Mereka justru banyak menjelaskan proses setelah penangkapan. Keduanya menjelaskan kesulitan polisi dalam mengadili Entong Tolo. Persis seperti ketika mereka berupaya menangkapnya.
Beberapa pejabat kolonial berharap pengadilan menghukum berat Entong Tolo. Tapi harapan itu lumer. Tak ada bukti kuat dia telah berbuat kriminal atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Para saksi dan korban Entong Tolo memilih bungkam. Pengadilan hanya mempunyai bukti keterlibatan anak buah Entong Tolo.
Dibuang ke Manado
Asisten Residen Meester Cornelis dan Residen Batavia kemudian mengadu ke Direktur Kehakiman, J. Reepkamer. Dia ragu pengadilan mampu berkeputusan bila tak ada bukti kuat. Dia lalu meneruskan masalah ini ke Dewan Hindia. Keluarlah saran dari Dewan Hindia pada akhir 1910. Bahwa Entong Tolo sebaiknya dibuang ke luar Jawa, ke Manado.
“Residen Manado bersedia menerima Entong Tolo sebagai orang buangan di ibu kotanya,” catat J. Reepkamer dalam laporannya, 10 November 1910. Residen juga siap menanggung biaya hidup Entong Tolo selama diasingkan di Manado. Biayanya sebesar 10 florin sebulan.
Baca juga: Sejarah Bandit Sulawesi Selatan
Angka itu terbilang cukup memadai untuk seorang pesakitan. Ilustrasinya seperti berikut. Saat itu, 1 florin setara dengan 7 kilogram gula. Harga gula zaman kiwari berkisar Rp12.000 per kilogram. Artinya kalau tunjangan Entong Tolo dirupiahkan sekarang, nilainya hampir Rp840.000.
Setelah memberi tunjangan selama enam bulan, Residen Manado berkewajiban mencarikan pekerjaan lain untuk Entong Tolo. Apa pekerjaan Entong Tolo setelah pensiun jadi bandit, tak seorang pun tahu. Laporan arsip dan media sezaman berhenti membahasnya. Tapi namanya terus mukim dalam tradisi lisan penduduk tempatan sebagai bandit sosial.