Dua puluh bandit bersenjata tajam mengepung rumah milik Pak bekel, kepala desa penarik pajak, di Kretek, Surakarta, pada larut malam 15 November 1873. Mereka mengincar harta benda milik Pak bekel: uang, kerbau, dan beberapa pikul padi. Aksi mereka cepat. Penghuni rumah tak berdaya. Seorang anggota penghuni tewas setelah melawan mereka.
Kasus seperti ini kaprah terjadi di perdesaan Surakarta, Yogyakarta, Pasuruan, dan Probolinggo sepanjang pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Bandit beraksi secara gerombolan. Bisa melibatkan lima, belasan, sampai puluhan orang dalam sekali perampokan. Para pamong dan pejabat Belanda menyebut bandit jenis ini sebagai kecu.
“Gangguan perbanditan ini sangat menakutkan, lebih-lebih bagi para personil perkebunan yang tinggal di desa,” catat Suhartono W. Pranoto dalam Jawa: Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850—1942. Mereka menargetkan kelompok tertentu sebagai sasarannya. Antara lain pemilik dan mandor perkebunan, Pak bekel, orang Belanda, Tionghoa, dan tuan tanah.
Baca juga: Asal Usul Bandit di Perdesaan
Dalam pandangan para kecu, sosok-sosok tersebut bertanggung jawab terhadap perubahan kehidupan petani di perdesaan. Pajak, sistem ekonomi uang, dan kerja wajib melesat sejak agroindustri masuk perdesaan seiring pemberlakuan Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) pada 1830.
Petani tertimpa beban berat tersebab perluasan agroindustri. Mereka memprotes keadaan itu melalui kekerasan: menjadi bandit dan membentuk gerombolan kecu. “Timbulnya resistensi merupakan usaha balas dendam terhadap agroindustri yang telah menyengsarakan dan merugikan petani,” terang Suhartono dalam “Agroindustri dan Petani: Multi Pajak di Vorstenlanden 1850—1900” termuat di Prisma, 4 April 1991.
Membakar Perkebunan
Perbuatan bandit termasuk merampok, mencuri, membunuh, melukai, dan membakar bangunan. Seluruh tindakan termaksud punya tujuan sosial-politik. Mereka tidak seperti bandit kriminil biasa sehingga mereka dikategorikan sebagai bandit sosial.
“Social banditry adalah gejala tak asing dalam sejarah Indonesia abad XIX dan XX,” kata Sartono Kartodirdjo dalam wawancara dengan Prisma, Januari 1977. Dia menambahkan bahwa perlawanan bandit memiliki ciri sangat lokal, terpisah-pisah, dan tidak menjadi kesatuan gerakan perlawanan secara utuh.
Sementara Suhartono membagi perlawanan petani-bandit menjadi dua: individu dan kelompok. Ketika melakukan aksi sendirian, bandit akan mencuri kecil-kecilan di perkebunan. Sasarannya hewan ternak dan hasil panen perkebunan. Tujuannya supaya distribusi agroindustri terganggu. Sebab hewan ternak bertugas mengangkut hasil panen. Tak ada hewan berarti tak ada panen tersalur ke pembeli.
Baca juga: Bandit Menguasai Malam di Batavia
Selain mencuri kecil-kecilan untuk melumpuhkan agroindustri, bandit juga membakar los dan gudang perkebunan tebu dan tembakau. Seringkali terjadi di Probolinggo dan Pasuruan. Pelakunya perorangan. Jarang sekali bandit membakar secara gerombolan.
“Pertama kali timbul pembakaran tebu di Kabupaten Probolinggo pada tahun 1834, sewaktu awal pelaksanaan Tanam Paksa di daerah itu,” tulis Suhartono.
Pembakaran los dan gudang perkebunan terjadi tiap tahun. Jumlahnya naik-turun, tidak pernah ajeg. Pernah tercatat 144 kali pembakaran pada 1846, lalu turun pada tahun-tahun berikutnya.
Kasus pembakaran ini menjadi perhatian serius pemerintah kolonial. Residen Probolinggo mengeluarkan peraturan agar penduduk sekitar turut memadamkan kebakaran. Penduduk juga tak boleh membawa barang mudah terbakar. Bila ketahuan, hukuman keras akan menimpa mereka.
Cara Kerja Bandit
Tapi perbuatan bandit paling menakutkan untuk penguasa lokal dan pemerintah kolonial ialah perkecuan. Pencurian dan pembakaran bandit perorangan jarang sekali menimbulkan korban luka dan tewas. Beda halnya jika bandit telah bergerombol. Mereka bisa melakukan apa saja dan tak gentar pada siapapun.
Gerombolan kecu punya senjata, ilmu kebal, organisasi, strategi, dan jaringan khusus. Mereka memperolehnya melalui tempaan bertahun-tahun. Orang paling berpengalaman dan andal dalam dunia perkecuan akan menjadi pemimpin atau benggol.
Benggol bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anggota gerombolannya. Sebagai balasannya, dia memperoleh kesetiaan penuh dari anggotanya. “Loyalitas pada pimpinan merupakan keharusan dalam kelompoknya,” ungkap Suhartono dalam “Kecu Sebuah Aspek Budaya Bawah Tanah” termuat di Wanita, Kekuasaan dan Kejahatan: Beberapa Aspek Kebudayaan Jawa.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya
Gerombolan kecu terdiri atas empat posisi hierarkis. Benggol berada pada posisi atas. Di bawah benggol, ada wakilnya. Setelah itu posisi telik sandi. Tugasnya mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang calon korban dan wilayah operasi.
Posisi paling buncit dalam gerombolan kecu disebut canguk. Mereka mengawasi keadaan dan memberikan kode kepada gerombolan tentang keadaan sekitar ketika aksi perampokan berlangsung.
Benggol Sohor
Berhasil tidaknya aksi perampokan bergantung pada kemampuan benggol mengatur kemampuan anak buahnya. Jika banyak menuai hasil dan lolos dari kejaran polisi kolonial, nama-nama benggol akan sohor di perdesaan dan gerombolan kecu lain.
Penthung Pinanggul, Gobang Kinosek, Kandhang Jinongkeng, Dadhung Sinedel, Jodongso, dan Singabarong merupakan nama-nama benggol sohor di Yogyakarta dan Surakarta. Semua nama alias. Diambil dari ciri khas masing-masing benggol. Misalnya nama Penthung Pinanggul berasal dari kebiasaan sang benggol membawa tongkat pentungan ketika beraksi.
Gobang Kinosek menjadi tanda keahlian seorang benggol menggunakan pisau besar untuk merajang tembakau. Kandhang Jinongkeng berarti kandang kerbau atau sapi. Benggol tersebut bertubuh besar dan berat sehingga tak seorang pun mampu mendorong atau mendongkelnya.
Terakhir Dadhung Sinedel. Maksudnya tali besar dan kuat untuk mengikat kerbau atau sapi. Dia biasa menggunakan tali untuk melukai dan membunuh korbannya.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap di Batavia
Untuk memulai aksinya, benggol akan berkoordinasi dengan telik. Ketika informasi calon korban dan wilayah sudah cukup memadai, benggol mengirim surat ancaman ke sembarang orang bahwa si penerima surat akan jadi korban kecu. Tetapi nyatanya kecu memilih korban lain. Inilah strategi layang booding untuk memecah konsentrasi dan membuat lengah pihak tertentu.
Berbekal itu semua, mereka leluasa beraksi hampir saban malam. Sepak terjang mereka terekam dalam laporan pejabat kolonial dan surat kabar setempat semisal Suara Mataram. Bahkan saking seringnya perkecuan mengisi surat kabar, orang menyebut surat kabar itu sebagai koran kecu.
Pemerintah kolonial melakukan segala cara untuk menghentikan aksi gerombolan kecu. Antara lain meningkatkan upah dan menambah jumlah polisi. Tetapi cara ini gagal. Suhartono menyebut langkah itu sebagai contoh bahwa pemerintah kolonial tidak memahami akar penyebab aksi para kecu.
“Pengkecuan-pengkecuan ini jelas merupakan hal kronis, karena situasi sosio-ekonomi jelek yang berkepanjangan,” ungkap Suhartono. Sepanjang petani terus hidup di garis subsistensi (kemiskinan), sepanjang itulah perbanditan sosial muncul.