Rumah kayu itu berwarna kecoklatan. Arsitekturnya bergaya rumah panggung. Sangat mencolok di antara bangunan landai sekitarnya.
Rumah itu merupakan tempat tinggal seorang tajir melintir keturunan Bugis bernama Haji Sapiudin di Batavia pada akhir abad ke-19.
Si Pitung menyatroni rumah itu pada suatu malam dalam bulan Juli 1892. Tujuannya mengambil-alih harta si pemilik rumah. Dia membawa lima temannya dan sebuah revolver.
Kawanan Si Pitung berbagi tugas. Sebagian ke dalam dan mengancam pemilik rumah, sisanya berjaga di luar rumah. Mendengar suara gaduh, tetangga mendekat ke rumah. Mereka mencabut revolver. Dor! Sebuah tembakan ke udara menghalau gerak para tetangga. Pemilik rumah menyerah, tetangganya pun mundur. Mereka membawa kabur uang Haji Sapiudin. Peristiwa ini tercatat dalam arsip kolonial, koran Hindia Olanda, dan tradisi lisan.
Baca juga: Siapa sebenarnya Si Pitung?
Rumah Haji Sapiudin masih berdiri tegak. Ia kini jadi Museum Si Pitung. Letaknya di Marunda, Jakarta Utara. Tak jauh dari laut. Di dalamnya ada beberapa ruangan dan replika perabotan rumah tangga.
Tak ada petunjuk pada ruang mana pergumulan terjadi. Tak ada pula keterangan pada ruang mana Haji Sapiudin menyimpan uang.
Si Pitung merencanakan serangan secara sempurna. Dia mengetahui situasi rumah, lingkungan sekitar, dan jalur kabur. Sementara Haji Sapiudin tak pernah menyangka bakal disatroni. Berkunjunglah sesekali ke rumah ini dan anda akan segera melupakan gambaran romantik tentang Jakarta lama yang tenang, damai, dan aman.
Kejahatan kala malam
Kisah perampokan kawanan Si Pitung hanya satu contoh kasus peristiwa kriminal berjenis perampokan di Batavia dan wilayah pinggirannya (Ommelanden). Ada banyak kasus serupa terjadi dari 1869 sampai 1942.
Kebanyakan perampokan berlangsung pada malam hari. “Jalan-jalan rindang di kota yang juga disebut ‘Ratu di Timur Jauh’ ini pada malam hari terlihat berbeda,” tulis Margreet van Till dalam Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api. Jalan-jalan itu gelap dan mencekam.
Lampu gas memang telah terpasang di sejumlah jalan Batavia dan Ommelanden sejak 1870. Kemudian lampu pijar atau listrik mengganti kedudukan lampu gas setelah 1897.
Tapi ada jalan yang tak terpasang lampu penerangan. Utamanya di jalan kampung yang berada di luar pusat kota dan jauh dari permukiman orang Eropa. Wilayah ini justru lebih luas daripada pusat kota Batavia.
Pengawasan pemerintah kolonial mengendur pada malam hari. Berbeda dari pengawasan saat siang hari. Warga tidak bisa bebas berkeliaran ke luar distriknya masing-masing.
Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Batavia menyebut bahwa warga Batavia harus memiliki surat jalan (passen stelsel) untuk bergerak dari satu distrik ke distrik lainnya.
“Jadi seorang penduduk Pasar Senen yang akan bepergian ke Glodok harus punya surat pas. Begitu juga orang Mangga Besar mau pergi ke Tanah Abang, dia juga harus membawa surat pas,” tulis Mona.
Tapi kala malam tiba, seseorang bisa saja bergerak tanpa surat jalan. Menyelinap di antara rerimbunan pohon dan mengelabui petugas ronda di gardu jaga.
Petugas ronda berjaga tanpa dibayar. Biasanya mereka berasal dari kampung setempat. Senjata mereka hanya pentungan kayu dan kentongan untuk memberitahu keadaan bahaya atau tanda kehadiran bandit.
Lembaga polisi memang telah berdiri di Batavia dan Ommelanden, tapi rasio jumlah anggota polisi dengan daerah yang harus mereka amankan jomplang. Selain itu, kinerja mereka mengecewakan.
Opas polisi anak negeri bekerja dengan bayaran kecil. Mereka tak terlatih. Kemampuan mereka amatiran. Senjata mereka pentungan kayu.
“Kepolisian lamban bereraksi, bahkan juga selalu gagal menangkap para pelaku kejahatan,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Baca juga: Polisi zaman Kumpeni
Para bandit membaca renggangnya keamanan Batavia dan Ommelanden. Mereka bergerak dalam kelompok kecil, empat atau lima orang. Menurut mereka, ini jumlah ideal. Lebih dari itu akan menyulitkan gerak mereka. Malam hari adalah waktu mereka untuk berpesta.
Bandit beraksi
Para perampok selalu berkumpul sebelum beraksi. Tak pernah ada perampokan spontan. Semua melalui perencanaan.
Untuk menghindari kecurigaan polisi dan orang lain, para bandit menggelar pertemuan di keramaian. Bisa di teater stambul, pasar malam, atau pesta lainnya. Mereka berbicara seputar korban, target rampokan, situasi keamanan, jalur pelarian, persembunyian, dan hari baik untuk merampok.
Saat akan beraksi, para bandit melengkapi diri dengan beladiri, senjata api, senjata tajam, dan segala macam bentuk jimat di sebalik pakaiannya.
Bandingkanlah semua persiapan para bandit itu dengan keadaan petugas gardu jaga dan opas polisi. Keadaan tersebut memaksa penduduk mencari jasa keamanan informal. Mereka patungan untuk membayar seorang jago demi melindungi wilayahnya dari serangan bandit. Takutkah para bandit? Tidak.
Suatu malam seorang bandit rela menyerahkan senjatanya kepada polisi demi memperoleh lawan sepadan. Sebab dia telah berulangkali merampok dan mempercundangi opas polisi, jago, dan petugas ronda dengan berbagai taktik. Semisal penyamaran.
Kadang-kadang para perampok harus menyamar. “Perampok bernama Gantang, contohnya, memakai pakaian menyerupai asisten residen,” ungkap Margreet. Gantang jugalah bandit yang menyerahkan senjatanya kepada polisi.
Sebagian bandit memilih berbugil ria. Bukan lantaran mereka menjalani laku tertentu, melainkan lebih karena taktik.
“Penduduk pribumi tidak biasa mempunyai banyak koleksi pakaian. Oleh karenanya pakaian yang digunakan selama perampokan tersebut kerap dikenali atau bisa saja pakaiannya dikhawatirkan hilang dan dijadikan barang bukti,” lanjut Margreet.
Baca juga: Kisah begal dulu begal sekarang
Para bandit tak mesti berasal dari tempat jauh. Mereka bisa saja tetangga atau teman dekat si korban. Mereka mengetahui si korban punya banyak uang dari hasil panen usaha pertaniannya. Mereka sengaja memilih uang demi alasan praktis: mudah dibawa kabur.
Suhartono dalam Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa menyatakan target rampokan seringkali berupa hewan ternak petani kaya atau produk hasil ekspor pengusaha Eropa dan Tionghoa. Tapi bandit di Batavia dan Ommelanden enggan merampok barang-barang demikian. “Mungkin barang-barang tersebut terlalu besar untuk dibawa pergi dengan cepat,” tulis Margreet.
Para bandit lain menargetkan harta benda semua kalangan. Tak peduli kenal atau tidak; laki atau perempuan; Eropa, Tionghoa, atau pribumi; pengusaha atau pedagang warung; dan kaya atau miskin. Hasil rampokannya hanya dinikmati bersama gerombolannya. Tak ada pikiran untuk membagikannya ke warga miskin. Merekalah sebenar-benar bandit. Hidupnya memang dari perbanditan.
Bandit-bandit tersebut mengakhiri aksi-aksinya jika merasa hasil rampokan sudah mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Mereka akan menarik diri dari pergaulan. “Perampok-perampok pribumi yang sukses, menjalani hidup nyaman di dekat kota Batavia, tetapi tetap berada di luar jangkauan masyarakat,” tulis Margreet.
Kode etik bandit
Polisi tidak diam saja melihat geliat para bandit. Dengan segala keterbatasannya, mereka berhasil mengejar dan menangkap sejumlah kecil bandit. Tapi bandit punya kepercayaan kuat pada kode etiknya sendiri.
Jika seorang bandit tertangkap, seburuk apapun siksaan dari polisi, dia tak sudi buka rahasia mengenai strategi, taktik, hasil rampokan, dan identitas temannya kepada polisi. Ini mempersulit polisi memberantas perbanditan.
Baca juga: Penjara tak bikin tobat
Seringkali bandit hanya tersenyum mendengar vonis di pengadilan. Penjara bukan hal menakutkan untuk mereka. Kalaupun masuk penjara, mereka akan menggunakan segala cara untuk kabur. Contohnya bandit bernama Oesoep di Batavia pada 1920.
“Oesoep menguasai bahasa Belanda, Melayu, serta Arab. Dia mempunyai banyak teman dan kenalan yang tidak hanya berada di Batavia, tetapi juga dalam lingkar lebih luas yang memudahkan pelariannya,” terang Margreet.
Sekarang bayangkanlah Anda adalah penduduk Batavia atau Ommelanden pada kurun 1869-1942. Lalu Anda membaca berita di surat kabar tentang bandit-bandit kakap yang kabur dari penjara seperti Oesoep. Di sekitar Anda masih ada bandit-bandit bersenjata api. Lebih canggih daripada punya polisi. Bagaimana Anda akan melewati malam di Jakarta lama?