BANYAK orang menyayangkan keputusan Marie Eugene Francois Thomas Dubois meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen anatomi di Universitas Amsterdam. Setelah mengajar selama setahun, Dubois mendapati dirinya tidak cocok untuk pekerjaan itu. Dia tak suka mengajar.
Dan lagi, saat itu fokusnya telah beralih kepada sains evolusi manusia. Pencarian dan penelitian paleoantropologi guna mencari missing link evolusi manusia memang sedang marak di akhir abad ke-19. Semangat itu pula yang menjangkiti Dubois.
“Dubois adalah anak kecil penyuka sains ketika gegap gempita teori Darwin sedang berkembang di Eropa. Dia terpengaruh teori evolusi dan bercita-cita mencari mata rantai evolusi manusia yang hilang,” ujar Harry Widianto, direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dubois tidak main-main dengan hasrat intelektualnya. Usai mundur dari universitas, dia mendaftarkan diri menjadi dokter militer. Alasannya agar bisa ditugaskan ke Hindia Belanda dan meneliti di sana. Dia bertekad hendak membuktikan kebenaran teori evolusi setelah membaca karya-karya Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace.
Dengan menjadi dokter militer, Dubois berharap bisa meluangkan waktunya untuk sekaligus mencari fosil hominin. Bukan tanpa sebab dia memilih Hindia Belanda sebagai tujuan riset lapangannya. Adalah karya-karya Wallace yang menuntunnya mencari fosil di sana. Seturut Wallace, cuaca yang hangat dan iklim yang stabil di kawasan tropis menjadi faktor penting yang mendukung evolusi spesies. Kondisi hutan tropis di wilayah kepulauan Hindia Belanda pun cenderung tidak berubah dari masa ke masa.
“Dubois mencermati tulisan-tulisan Wallace. Akhirnya dia berkesimpulan untuk ke daerah tropis. Karena Wallace berpendapat bahwa daerah tropis adalah relung ekologi yang sangat ideal bagi evolusi manusia,” kata Harry.
Menumpang kapal SS Princess Amalia, Dubois berangkat ke Hindia Belanda pada 1887. Dia mengajak istri dan anaknya yang masih bayi. Tujuan pertamanya mengeksplorasi gua-gua di Sumatra yang diperkirakan pernah ditinggali manusia purba. Pasalnya, di Eropa fosil manusia Neanderthal banyak ditemukan di gua-gua. Tetapi, setelah tiga tahun mengeksplorasi, dia hanya menemukan fosil Sapiens, manusia modern.
Dubois lalu mengalihkan fokusnya ke Jawa setelah ditemukannya fosil tengkorak Homo Wajakensis di Tulungagung pada 1889. Dia pun sempat mempelajari fosil temuan Van Riestchoten itu. Fosilnya ditemukan pada lapisan pleistosen atas. Jadi, manusia Wajak ini diperkirakan hidup antara 40.000 sampai 25.000 tahun lalu. Fitur-fitur fosil yang ada mengindikasikan Homo Wajakensis adalah hominin yang sudah cukup maju. Ini penemuan besar pertama di wilayah Hindia Belanda, tetapi bukan makhluk itu yang dicari Dubois.
“Kesimpulannya Homo Wajakensis ini termasuk muda sehingga akhirnya dia meneliti pada endapan-endapan yang lebih tua,” kata Harry.
Ketika melakukan penggalian pada September 1890 di Kedung Brubus, Madiun, seorang pekerjanya menemukan fragmen rahang bawah dengan tiga gigi. Lalu pada Oktober 1891 di Trinil, Ngawi, dia menemukan fosil tempurung tengkorak. Terakhir, setahun kemudian, di lubang yang berjarak sekira 15 meter dari lokasi temuan tengkoraknya, Dubois menemukan tulang paha kiri yang hampir sempurna.
Dubois gembira dengan penemuan fosil-fosil Pithecanthropus Erectus itu. Inilah missing link evolusi manusia yang selama ini dicarinya. Kesimpulannya, fosil-fosil itu mengindikasikan sosok manusia kera yang telah mampu berjalan tegak. Dia mempublikasikan deskripsi lengkap temuannya itu pada 1894. Setahun kemudian, dia pulang ke Belanda dan mulai mempromosikan temuan fosilnya kepada kalangan saintis Eropa.