Masuk Daftar
My Getplus

Stunting dan Sejarahnya di Indonesia

Dampak jangka panjang dari stunting cukup mengkhawatirkan.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 17 Mei 2019
Agus Setiawan, Ph.D (dosen sejarah kesehatan Universitas Indonesia) dan dr. Dermawan C. Nadeak, Sp.GK (dokter spesialis gizi klinik) dalam diskusi Stunting dan Sejarahnya di Indonesia di Beranda Coffee, Jakarta Selatan, 16 Mei 2019. (Hendra Krisdianto/Historia).

Aktif mengikuti Historia di media sosial Twitter mengantarkan Triawan (24 tahun) ke acara Ngobras (Ngopi Bareng Rasa Sejarah) pada 16 Mei 2019. Acara yang diadakan Historia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini berlangsung di Beranda Coffee, Jakarta Selatan.

Ngobras edisi kali ini mengangkat tema “Stunting dan Sejarahnya di Indonesia”, dengan menghadirkan para pakar kesehatan di Indonesia, di antaranya Agus Setiawan, Ph.D (dosen sejarah kesehatan Universitas Indonesia), dan dr. Dermawan C. Nadeak, Sp.GK (dokter spesialis gizi klinik).

“Tema yang diangkat menarik. Jarang ada bahasan tentang stunting di sejarah kesehatan,” ucap mahasiswa sejarah UNJ itu.

Advertising
Advertising

Antusiasme para peserta Ngobras begitu besar. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan tentang materi stunting ini. Kendati kursi telah habis, mereka rela berdiri demi dapat mendengarkan pemaparan dari para pemateri.

Baca juga: Tonton Ngobras Stunting dan Sejarahnya di Indonesia

Gizi dan Stunting

Permasalahan kesehatan gizi, lebih lanjut dapat menjadi stunting, telah menjadi momok bagi dunia kesehatan Indonesia. Stunting terjadi manakala seorang bayi tidak tumbuh secara optimal akibat asupan gizi pada 1000 hari pertama kehidupannya tidak terjaga.

“Dampak jangka panjang dari stunting ini cukup mengkhawatirkan. Misal meningkatkan risiko penyakit, postur tubuh tidak optimal, produktivitas yang tidak maksimal, dan sebagainya,” kata Dermawan.

Sejak masa kolonial, pemerintah sudah memberikan fokus terhadap persoalan gizi buruk tersebut.

Agus mengatakan bahwa bentuk nyata dari perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap permasalahan kesehatan dilakukan dengan membangun banyak fasilitas kesehatan. Namun awalnya hanya untuk menjaga kesehatan para tentara.

“Perhatian pemerintah kepada sipil ini malah belakangan mendapat prioritas karena tentara kolonial menjadi ujung tombak pemerintah Hindia Belanda,” ujar Agus.

Baca juga: Laporan Khusus: Penting Memahami Stunting

Masalah kesehatan terburuk dialami oleh rakyat Indonesia sejak diberlakukannya kebijakan Tanam Paksa pada 1830. Terjadi kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Jangankan gizi, pangan pun tidak tercukupi.

“Orang-orang Indonesia itu jangankan untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, untuk mendapatkan bahan pangan dasar saja sudah sangat terbatas,” kata Agus.

Kasus gizi buruk di masyarakat terus meningkat, terlebih sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1930. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penanggulangan dengan mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Melalui lembaga riset ini, pemerintah mencoba membuat solusi terkait permasalah gizi.

Seorang konsultan pertanian untuk pendidikan, G.A. van de Mol, dalam tulisannya Gezonde Voeding (Makanan Sehat), menyerukan agar orang Eropa yang tinggal di Hindia untuk beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif.

Namun, kesulitan harus dihadapi masyarakat Indonesia. Upaya perbaikan gizi kembali terhalang saat masa pendudukan Jepang. Kebijakan yang mengharuskan rakyat menyetor hasil pertanian membuat mereka kekurangan pangan. Rakyat harus hidup dengan makanan seadanya.

Dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol, Aiko Kurasawa menjelaskan keadaan yang dialami rakyat Indonesia saat menghadapi krisis tersebut. Untuk mengatasinya, diperkenalkanlah resep-resep makanan baru pengganti beras.

“Salah satunya adalah ‘bubur perjuangan’, yang terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul,” tulis Aiko.

Baca juga: Bubur Perjuangan dan Roti Asia

Pada masa pendudukan Jepang segala lembaga kesehatan dan hasil-hasil riset yang telah dibangun oleh Belanda dikuasai sepenuhnya untuk kepentingan militer Jepang. Tidak sedikit pun mereka memberi ruang bagi pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia.

“Satu kata untuk masa pendudukan Jepang ini: gizinya sangat buruk,” kata Agus.

Agus kemudian menulis dalam makalahnya bahwa setelah Indonesia merdeka, Kementerian Kesehatan segera dibentuk atas usulan panitia kecil (Sukarno, Hatta, Agus Salim, Achmad Subardjo, dll). Setelah itu kementerian kesehatan bergerak cepat mengatasi permasalah kesehatan ini.

Pada 1950, dibentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR), kelanjutan dari IVV pada masa Belanda. Lembaga pimpinan Poorwo Soedarmo ini merintis berbagai program gizi nasional, seperti penyuluhan, penanggulangan, dan pendidikan untuk para ahli gizi.

Tetapi bukan persoalan mudah bagi LMR menjalankan misinya. Keadaan ekonomi yang belum stabil, ditambah tidak meratanya pemahaman masyarakat tentang kesehatan membuat LMR harus bekerja sangat keras.

Pada 1951, LMR mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan. Hal itu dilakukan untuk mencetak ahli-ahli gizi di Indonesia. LMR juga menginisiasi diadakannya Hari Gizi Nasional pertama pada pertengahan 1960-an.

Untuk mempercepat program kerja LMR, Poorwo kemudian membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan makanan terus meningkat.

“Kalau saya pribadi sebagai dokter gizi mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna ini sudah lebih gampang diterima,” ucap Dermawan.

Pada 1999, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi untuk urusan kesehatan ini. Mereka memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan di wilayahnya, termasuk urusan gizi.

Namun, hal itu sangat memberatkan. Pemerintah daerah yang kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan kesulitan menanggulangi perosalan gizi tersebut.

Baca juga: Riwayat Penanggulangan Stunting

Acara Ngobras diakhiri dengan pemaparan dari perwakilan Kominfo, Irawan, mengenai program-program yang telah dijalankan dalam persoalan stunting.

“Sejak tahun 2014, Kominfo diberi kepercayaan untuk mengkampanyekan stunting di Indonesia,” terang Irawan.

Sebagai langkah nyata, Kominfo kemudian membentuk sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Genbest” (Generasi Bersih dan Sehat). Gerakan ini ditujukan untuk menyelesaikan persoalan gizi di berbagai daerah di Indonesia. Caranya dengan penyuluhan langsung pada masyarakat, terutama generasi-generasi muda.

TAG

Kesehatan

ARTIKEL TERKAIT

Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban Vaksin Wabah Penyakit Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia Sulitnya Menghadapi Wabah Natural History, Ilmu yang Mendorong Penjelajahan Bangsa Eropa