Masuk Daftar
My Getplus

Peta Sebagai Sumber Sejarah

Saat peta tak hanya sebagai lampiran sebuah karya penelitian.

Oleh: Aryono | 19 Des 2017
Peta Jawa semasa pemerintahan Thomas Stamford Raffles.

SEKALI waktu, Alfonso de Albuquerque -pemimpin armada Portugis yang menyerang Malaka pada 1511- mengirim sebuah peta yang bertuliskan huruf Jawa kepada raja Portugal. Namun sayang, tulis Adrian B Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke -16 dan 17, kapal yang membawa peta itu tenggelam di tengah jalan.

Dalam catatan bangsa Portugis, peta sudah dikenal pelaut dari Nusantara untuk berlayar pada awal abad ke- 16. Penyataan Lapian itu menunjukkan masyarakat Nusantara sudah lama mengenal konsep ‘ruang’ dalam kerangka kekuasaan.

“Sebenarnya kita sudah memiliki gagasan mengenai space sendiri, yang saya sebut sebagai pengetahuan geografi Nusantara. Dulu, kita memiliki konsep ruangan tradisional, sak pandelengan (satu sapuan mata -red). Apa itu konsep sak pandelengan? Jadi wajar ketika mengklaim wilayahnya tidak harus membuat demarkasi, didelineasi dengan alat sextan. Namun sejauh raja bisa memandang, itu milik dia,” ujar Uji Nugroho Winardi, sejarawan Universitas Gajah Mada yang khusus mendalami sejarah kartografi.

Advertising
Advertising

Teknik pembuatan peta terus berkembang. Hal itu berujung dengan munculnya kartografi, ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang peta, mulai dari sejarah, perkembangan, pembuatan, pengetahuan, penyimpanan, hingga pengawetan serta cara-cara penggunaan peta.“Kartografi itu kata yang genuine muncul di abad ke-19,” ujar Uji dalam Seminar Sejarah Nasional di Universitas Gajah Mada, 14-16 Desember 2017.

Sejak menguatnya dunia pelayaran orang Eropa ke Asia, peta memiliki posisi penting. Ia dipandang sebagai pemantik munculnya kapitalisme. “Peta laut bikinan Petrus Pancius, diberi judul Insulae Moluccae Celeberrimae, dibuat tahun 1594. Ini digunakan kongsi dagang Belanda untuk iklan. Jadi berdasarkan peta ini, mereka mencari siapa yang mau tanam saham untuk mendanai pelayaran. Peta ini kemudian memacu munculnya kapitalisme. Peta ini diproduksi secara massal dan untuk pewarnaan, menggunakan tenaga perempuan dan anak-anak untuk mewarnai di rumah. Ini memutar roda ekonomi,” ujar Uji.

Dalam penulisan sejarah, tidak banyak orang menggunakan peta sebagai sumber sejarah atau sumber kajian. Uji membagi dua penulisan sejarah yang memfokuskan pada peta, yaitu karya sejarah yang menelaah mengenai peta dan karya sejarah yang menggunakan peta sebagai kekuatan pada kajiannya.

Karya paling awal adalah Boegineesche Zeekarten van den Indische Archipel dari Le Roux yang, terbit pada 1935. Le Roux menelaah peta laut orang Bugis. “Dia melakukan overview beberapa peta indigenous yang diproduksi orang Bugis. Peta ini disimpan di Utrecht, yang kemudian disebut peta bajak laut. Kemudian ada nama Jan O Broek, dia melakukan penamaan geografis, yang sekarang berkembang pesat menjadi toponimi. Toponimi adalah anak asli dari produk kartografi yang kawin-mawin dengan pengetahuan lain,” ujar Uji.

Selain kedua nama tersebut, ada Ferjan Ommeling. Dia menyusun buku Colonial Cartography of the Netherland Indies 1816-1942. Ferjan adalah anak Ferjan Ommeling Senior, orang yang berjasa bagi Indonesia karena mentransformasikan Indische Topografische Dienst menjadi Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional).

Mengkaji peta atau menggunakan peta sebagai sumber sejarah menjadi nilai khusus bagi seorang sejarawan. Dengan mempelajari atau menguasai pembacaan peta, ia akan dapat “memanfaatkan peta untuk menulis berbagai jenis karya sejarah seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya; memahami sejarah keruangan suatu tempat; dan tema mengenai state formation, baik kolonial maupun nasional dan empire creation menjadi salah satu isu penting. Dalam hal ini, periode kolonial –terutama untuk kasus Indonesia– menjadi sangat penting dalam pembentukan teritori negara,” ujar sejarawan muda berkumis tebal itu.

Pemahaman mengenai peta atau penggunaannya sebagai sumber kajian, dalam konteks Indonesia menjadi penting sebab hingga hari ini penghitungan pulau-pulau di seluruh Indonesia pun belum selesai.*

TAG

ARTIKEL TERKAIT

AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi