SEORANG laki-laki mengeluh kelaminnya menyusut. Panik bukan kepalang, dia buru-buru ke dokter diantar rekan-rekannya. Menurut dokter, kondisinya baik-baik saja, dia tak menderita apa pun sehingga dia disuruh pulang oleh dokter itu. Tapi beberapa waktu kemudian, lelaki itu meninggal. Teman-temannya yang penasaran lantas menengok jenazah lelaki itu.
“Karena saking penasarannya, mereka memeriksa alat kelamin temannya yang sudah meninggal. Mereka pikir kelaminnya benar-benar menyusut karena tidak sebesar harapan mereka,” kata David Mitchell, dokter ahli jiwa sekaligus peneliti antropologi medis, pada Historia sambil terkekeh. Mitchell mendapatkan cerita itu kala berkunjung ke Sulawesi Selatan.
Mitchell tertarik meneliti koro sejak tahun 2000-an. Koro merupakan penyakit psiko-sosio-kultural yang tersebar di Malaysia, Singapura, Tiongkok Selatan, India, dan Indonesia. Pasien yang menderita koro akan menerima serangan panik karena takut terhadap penyusutan penis. Mereka percaya bila penis sudah menyusut sampai masuk ke dalam perut, mereka bisa mati mendadak.
Dari penelusuran Mitchell dalam artikelnya “Curing Koro, The Shrinking Penis Disease”, koro pertama tercatat di pedesaan dekat Pelabuhan Makasar pada 1859. Dalam catatan JC Blonk, Geneeskundige Tijdschifte voor Nederlandsch Indie, koro adalah kondisi akut yang menyerang pasien dengan tiga ciri khas sindrom: serangan panik, keyakinan bahwa penis menyusut, dan takut penisnya akan hilang di dalam perut lalu menyebabkan kematian.
Kata koro sendiri berasal dari Bugis dan Makasar meski ada beragam versi tentang asalnya. Fisikawan Belanda PM van Wulfften Palthe, seperti dikutip Ronald C Simons dalam The Culture-Bound Syndromes, menulis koro berasal dari kuro atau kura-kura. Orang Malaysia dan Tiongkok menyebut kura-kura sebagai padanan penis menyusut karena kepala kura-kura yang bersembunyi ke dalam cangkangnya mirip dengan penis mengerut yang seolah masuk ke perut.
Namun pada dasarnya, koro dalam bahasa Bugis berarti menyusut atau mengecil. Orang-orang menyebut laso koro yang berarti “penis mengecil” supaya maksudnya jelas. Sementara, di Tiongkok Selatan penyakit ini dikenal dengan suo-yang, di Thailand disebut rook-joo, di Mindanao lannuk e laso, dan di India sebagai jhinjhini.
Keributan tentang penyakit koro segera menarik perhatian orang Eropa. Pada 1935, JA Slot meneliti penyakit ini dengan mewawancara pasien dan dukun bernama Daeng Rahing. Para mantan pasien mengaku kalau penis mereka mengecil secara mendadak dan Daeng Rahing berhasil menyembuhkannya. Dari Daeng Rahing, Slot mendapat ciri penderita koro: ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Namun, Slot tidak yakin penyusutan penis benar-benar terjadi mengingat ciri penyakit lebih mirip gejala gangguan mental, pun obat yang diberikan dukun sebatas ramuan dari tanaman obat biasa.
Hina Panjarra, dukun di Sumba yang ditemui Mitchell, mengatakan dirinya menyaksikan penis mengecil dan mengembalikannya ke ukuran normal. Selain itu, penduduk desa juga percaya penis laki-laki yang pingsan dan mati mendadak memang tampak menyusut. “Jelas lebih kecil dari biasanya,” kata Mitchell menirukan ucapan penduduk desa.
Mitchell melanjutkan, di Sumba penyakit ini dianggap keadaan alamiah, kondisi tubuh saja. Namun, di Flores, yang menyebut koro dengan ru’u pota, orang percaya bahwa koro adalah tulah sebagai akibat dari ilmu magis yang sengaja dipasang untuk melindungi tanaman atau kebun. Orang yang terkena koro bisa jadi habis mencuri tanaman. “Tapi biasanya mereka mengaku hanya lewat saja,” kata Mitchell.
Di Sulawesi Selatan, koro merupakan cara istri menghukum suami yang selingkuh. Bila seorang istri menganggap suaminya selingkuh, dia akan menambah beberapa ramuan penyusut penis, semisal kencur yang ditakuti lelaki Sulawesi Selatan, ke dalam makanannya. “Si istri akan menaruh sedikit kencur di makanan suaminya untuk mencegah suaminya melakukan kegiatan ‘itu’ dengan selingkuhanya. Karena penisnya menyusut, si lelaki jadi batal untuk selingkuh, ha-ha-ha,” sambung Mitchell.
Para suami yang takut kalau istri mereka mengetahui perselingkuhan itu biasanya pergi ke dukun untuk mencegah penyakit koro. Sementara para dukun menerima semua keluhan koro pada pasien mereka, para dokter di layanan medis kolonial tidak memercayai adanya penyusutan penis. Para dokter memasukkan koro ke dalam ganggguan kejiwaan. Mereka mendiagnosis pasien terkena serangan panik ditambah delusi bahwa penis mereka menyusut padahal sebenarnya penis mereka tidak menyusut samasekali.
Ketakutan itu didasari oleh pandangan masyarakat yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tak ada simbol maskulinitas yang lebih kuat dari phallus atau penis. Jadi menurut para dokter, koro disebabkan oleh ketakutan mendalam akan lunturnya maskulinitas dalam diri seorang lelaki. Pengagungan maskulinitas dalam diri lelaki dipahami betul oleh para pasien. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah delusi akan penyusutan penis.
Karena itu lah orang-orang di Sulawesi menjadikan koro sebagai ejekan kepada lelaki. “Tapi mereka tidak peduli mau itu penyakit mental atau santet, sebab mereka sudah ketakutan kalau penisnya mengecil dan terus mengomel soal itu. Ha-ha-ha,” kata Mitchell tertawa jahil.
Mitchell sendiri tidak yakin penis benar-benar mengecil karena belum menelitinya lebih dalam. Penelitian sebelumnya yang dilakukan sarjana Eropa menduga para pasien merasa sembuh setelah berobat ke dukun karena kecemasannya berkurang. Dukun tidak benar-benar mengembalikan penis ke ukuran semula, melainkan hanya mengatasi kecemasan pasien.
“Saya belum pernah lihat dan punya bukti. Tapi mungkin saja benar-benar mengecil atau bisa jadi hanya imajinasi. Sejauh ini, koro masih dikategorikan sebagai gangguan mental,” kata Mitchell.
Baca juga:
Akar Historis Penyakit Sifilis
Jempol Dijepit Telunjuk dan Jari Tengah
Dokter Pertama Mendiagnosis Penyakit Kelamin