Masuk Daftar
My Getplus

Kala Koro Dipelajari

Sindrom penyusutan penis yang jadi mimpi buruk beberapa orang ini baru dipelajari sejak 1895.

Oleh: Nur Janti | 23 Jul 2018
Ilustrasi penelitian koro.

SEBELUM JC Blonk mempublikasikan hasil risetnya berjudul “Koro” pada 1895, koro atau penyakit penyusutan ukuran penis tak dikenal dalam dunia medis Barat. “Blonk adalah orang pertama yang mengenalkan penyakit koro dan membuat konsep bahwa koro adalah penyakit mental yang terikat budaya,” tulis Arabinda Chowdhury dalam “Hundred Years of Koro”.

Blonk, petugas medis tingkat dua Pemerintah Hindia Belanda, kali pertama mengenal koro saat bertugas di Sulawesi kala mendapati seorang pasien yang mengeluhkan penisnya mengecil. Lantaran mendapati kasus koro hanya di sekitar Bugis dan Makasar, pria lulusan kedokteran militer itu mulai berpikir koro merupakan sindrom terkait budaya. Blonk lalu meneliti koro lewat seorang jaksa penderita koro yang menjadi pasiennya.

Menurut David Mitchell, yang meneliti koro sejak 2002, dalam “Curing Koro”, sebelum riset Blonk muncul, koro baru sebatas lema yang dimuat dalam Kamus Bahasa Bugis karya BF Matthes. Dalam kamus itu Matthes memasukkan lema “koro” dengan makna penyusutan. Di kamus itu Matthes juga memasukkan lema “cakkuruq” dan memberi penjelasan lebih spesifik dibanding “koro”.

Advertising
Advertising

Daeng Cawang, seorang dukun di Sulawesi yang ditemui Mitchell pada 2008, mengatakan nama penyakit penyusutan penis ini dengan cakkuruq. Istilah koro adalah pemendekan dari cakkuruq dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun karena Blonk telanjur salah melafalkan cakkuruq menjadi koro, istilah inilah yang digunakan dalam penelitian medis di berbagai negara.

Masyarakat yang mengenal penyakit koro percaya penisnya mengecil secara tiba-tiba meski kadang kembali ke ukuran asal. Akan tetapi mereka ketakutan kalau penisnya sampai masuk ke perut, mereka bisa mati mendadak. Para penderita umumnya mendatangi dukun untuk mengobatinya. Alih-alih memberi pengobatan secara klinis, para dukun sebetulnya hanya mengobati kepanikan pasien mereka.

Ketika para sarjana Belanda seperti Blonk mempelajari koro, mereka menolak anggapan alat kelamin pasien benar-benar menyusut. Analisis Blonk bahwa koro merupakan gangguan mental, benar. Penelitian Blonk segera menarik perhatian sarjana Eropa meski minim detail etnografis.

Hal itu menjadi sasaran kritik Mitchell. Terlebih, Blonk tidak menyaksikan langsung serangan koro sehingga tidak tahu keadaan fisik pasien ketika serangan terjadi. Mitchell juga mengkritik Blonk menafikan kesaksian para dukun dan pasien selain minim dalam menjelaskan hubungan budaya dan kepercayaan setempat dengan penyakit koro, termasuk peran dukun dalam penyembuhan koro. Menurut Mitchell, kajian Blonk sangat teoritis.

“Penyusutan penis ini datang secara tiba-tiba. Para dukun dan pasien juga megaku melihat penis benar-benar mengecil. Kesaksian mereka tidak bisa ditangguhkan, harus diteliti lagi,” kata Mitchell.

Pada 1935, JA Slot memperbaiki penelitian Blonk lewat sebuah riset “Koro in Zuid-Celebes”. Dia mewawancara beberapa pasien yang sudah sembuh dan dukun tradisional bernama Daeng Rahing. Dari Daeng Rahing dia mendapat ciri serangan koro, antara lain penderita mengalami ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Slot juga meneliti cara Daeng Rahing menyembuhkan pasiennya, yakni dengan mendengarkan keluhan pasiennya yang amat panik sebelum menenangkan dan menyakinkan bahwa mereka tidak akan mati mendadak hanya karna penis menyusut.

Sarjana Eropa lain yang juga meneliti koro di tahun 1930-an adalah Wulfften Palthe. Menurutnya, gangguan psikologis akibat ketakutan penis mengecil bisa berefek pada keluhan fisik. Jadi, ketika seseorang memiliki gangguan psikologis berupa ketakutan penisnya menyusut, itu akan membuat penis mereka menyusut karena pada dasarnya penis akan menyusut ketika pemiliknya merasa takut.

Pada 1961-1980, koro mendapat perhatian lebih dari para ahli medis dengan banyaknya laporan kasus. Pada 1980-an, beberapa kasus epidemi koro bahkan ditemukan di Singapura, Tiongkok, dan India. Setidaknya ada 30 laporan kasus yang diterbitkan selama 1960-1980-an dari berbagai belahan dunia, mencakup beragam latar belakang etnis dan berbagai gangguan psikis dan fisik lain.

Koro juga menyebar dan ditemukan di beberapa wilayah baru seperti Afrika Selatan, Selandia Baru, Tanzania, Italia, Amerika Serikat, Inggris, Singapura, dan Kanada. Sindrom ini juga menyerang kalangan-kalangan yang sebelumnya belum pernah terjangkiti, semisal Yahudi, Eropa-India, Yunani-Siprus, Haiti, Ethiopia, Zulu, Skotlandia, Jamaika, Nigeria, dan Italia.

Chowdhury menyebut kemunculan koro di berbagai wilayah dan etnis baru menandakan masalah psikologis pasien yang lebih condong pada gangguan dismorfik tubuh (gangguan mental yang membuat pasien tidak percaya pada tubuhnya sendiri) daripada sindrom terikat budaya. Namun, riset Chowdury pada 1998 terbantah oleh temuan Mitchell pada 2002 bahwa di semua masyarakat urusan genitalia pria dan perempuan diatur oleh konstruksi budaya. Aturan budaya inilah yang menjadi muasal ketidakpercayaan diri akan bentuk tubuh.

Mitchell menyebut, sejak tahun 2000-an, pandangan terhadap koro jadi makin kompleks. Kondisi sosial, budaya, psikologis, dan fisik pasien menjadi faktor yang harus diperhatikan para ahli psikiatri untuk meneliti koro lebih lanjut.

Baca juga: 

Musabab Koro
Mati Mendadak karena Penis Menyusut
Jempol Dijepit Telunjuk dan Jari Tengah

TAG

Kesehatan Mental Genitalia Koro

ARTIKEL TERKAIT

Warisan Persahabatan Indonesia-Uni Soviet di Rawamangun Ketika Insinyur Jadi Menteri Kesehatan Al-Shifa, dari Barak Inggris hingga Rumah Sakit Terbesar di Gaza Di Balik Peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia Minyak Mujarab Resep Rahasia Keraton Sumbawa RSUD Pertama di Jakarta Enam Hal Terkait Medis Melihat Kehidupan Orang Romawi Lewat Lubang Jamban Vaksin Wabah Penyakit Boentaran Martoatmodjo, Menteri Kesehatan Pertama Republik Indonesia