Masuk Daftar
My Getplus

Hutan Selamatkan Majuli dari Kepunahan

Terdorong oleh keinginan menyelamatkan tempat tinggalnya, pria India ini berhasil membuat hutan dengan kerja kerasnya selama 40 tahun.

Oleh: M.F. Mukthi | 29 Jun 2019
Hutan di lahan basah Pulau Majuli. (Foto karya Peter Andersen, wikipedia.org)

JADAV Payeng Molai terhenyak ketika sedang berjalan menyusuri bukit-pantai dekat rumahnya. Ular-ular tergeletak mati. Banjir besar di musim panas 1979 yang baru melanda tempat tinggalnya, Pulau Majuli, ternyata tak hanya menyapu rumah penduduk berikut para penghuninya tapi juga hewan-hewan.

Payeng, pria lokal berusia 16 tahun, termangu menangisi ular-ular itu. Sambil duduk di dekat tumpukan bangkai ular itu, otaknya terus berputar mencari tahu penyebab kematian ular-ular itu.

Pulau Majuli tempat tinggal Payeng sebenarnya telah akrab dengan banjir. Eksistensi pulau sungai terbesar di India yang terletak di Provinsi Assam itu sendiri bermula dari banjir aliran Sungai Brahmaputra di utara dan Sungai Burhiding di selatan.

Advertising
Advertising

Bukti keakraban penduduk Majuli dengan banjir adalah posisi Majuli sebagai pusat peradaban Assam pada abad ke-16. “Setelah kejatuhan Kerajaan Pragjyotisha-Kamarupa, di pertengahan abad ke-13, yang mencakup bagian barat Kerajaan Asam, kawasan tersebut menjadi saksi bertumbuhnya negeri-negeri yang dibentuk para pemimpin lokal. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Ahom, yang kala itu dikenal dengan Asam Desh atau Asam Rajya, menjadi negeri tunggal terbesar yang menetapkan kekuasaannya atas seluruh wilayah. Ini dilakukan para penguasa Assam tidak hanya melalui kekuatan militer dan kecerdasan politik tetapu juga dengan cara produksi yang maju disertai dengan model hubungan (penguasaan) tanah yang baru,” tulis Jahnabi Gogoi dalam Agrarian System of Medieval Assam.

Namun, perjalanan waktu mengubah banjir dari hal yang biasa menjadi hal yang mengerikan. “Majuli, salah satu pulau sungai terbesar di dunia, memiliki luas 35.300 hektar dan mengalami banjir musiman dan erosi garis pantai yang menyebabkan hilangnya 50 km2 daratan selama 1969-1994. Seringnya banjir besar mungkin disebabkan oleh gempa besar tahun 1897 dan 1950 yang mempengaruhi lembah Brahmaputra bagian atas, termasuk Majuli, dengan erosi pesisir yang parah pada kecepatan 5,63 km2 setelah periode 57 tahun dan reduksi selanjutnya mencapai 645 km2 pada 1995, dengan demikian mempertahankan tingkat erosi rata-rata 7,4 km2 per tahun,” tulis BP Bhaskar dan Utpal Baruah dalam “Development of Framwork for the Assessment of Riverine Floodplain Wetland Inventory in Majuli Island, Assam, India”, dimuat di Harnessing Wetlands for Sustainable Livelihood.

Kelindan gempa besar dan banjir rutin Sungai Brahmaputra mengakibatkan banyak pohon tumbang dan erosi kian tinggi. Majuli pun berubah menjadi padang pasir yang panas. Ketika banjir besar melanda pada 1979, ia menyapu semua yang ada di pulau tersebut. Payeng pun mendapat jawaban dari penyebab kematian ular-ular yang ditemuinya. “Karena tidak ada pohon yang melindungi, ular-ular mati karena dehidrasi dan terpapar panas matahari yang membakar,” tulis James Howe dalam “A Personal Essay Inspired by James Howe’s and Mark Davis’ Planting Trees:, dimuat dalam Behind the Song.

Gambaran neraka di tempat tinggalnya itu mendorong Payeng berbuat sesuatu. “Tumpukan hewan mati karena tidak dapat menemukan tempat berlindung di gundukan pasir membuatnya sadar bahwa tanpa pohon, manusia yang berada di dalam ekosistem berisiko mengalami nasib serupa,” tulis Gina Dimuro dalam artikelnya di allthatsinteresting.com, “Meet Jadav Payeng: The ‘Forest Man of India’ Who Created an Entire Forest Himself Over 40 Years”.

Payeng lalu memulai tindakannya dengan melubangi tanah di bukit pasir tandus tak jauh dari rumahnya menggunakan tongkat. Sekira 20 bibit pohon bambu lalu dimasukkan ke dalam lubang-lubang itu dan ditimbun tanah kembali.

“Payeng beralasan bahwa akar pohon akan mengikat tanah dan menyerap kelebihan air yang akan membantu mencegah banjir di masa depan dan menenggelamkan daratan,” sambung Gina.

Cemoohan para tetua dan orang-orang sekitar tak menyurutkan apalagi menghentikan langkah Payeng. Setelah bambu, beberapa bibit pohon jenis lain juga ditanam Jadav. Saban hari, bibit-bibit pohon itu disirami, dipotongi daunnya, dan dirawat Payeng dengan tekun.

Kerja keras Payeng akhirnya membuahkan hasil. Bibit-bibit yang ditanamnya tak hanya tumbuh tinggi dan berdaun rindang, tapi juga menstimulasi pohon-pohon lain untuk ikut tumbuh. Bukit pasir gersang yang dulu telah berganti menjadi hutan yang menjadi rumah bagi burung, kera, rusa, harimau benggala, dan gajah-gajah yang tiap tahun bermigrasi.

Namun, dunia luar baru mengetahui Molai Sanctuary –nama hutan yang diambil dari nama belakang Payeng– setelah beberapa petugas Departemen Kehutanan tak sengaja masuk ke kawasan itu ketika mengejar kawanan gajah yang dianggap merusak pada 2008. Mereka kaget melihat ada hutan luas dan lebat di daerah yang tandus. Pada 2015, pemerintah India menganugerahinya Padma Shri, penghargaan sipil tertinggi di negeri itu.

Kini, 40 tahun dari ketika pertamakali Payeng menanam bibit pohon-pohonnya, Molai Sanctuary telah menjadi ekosistem hutan yang menghidupi mahluk-mahluk di dalamnya. Kendati sudah tak muda lagi dan namanya kini sudah dikenal banyak orang, sehingga dijuluki “Forest Man of India”, Payeng tetap rutin merawat pohon-pohon di hutannya yang kini memiliki luas lebih dari 500 hektar.

“Anda tanam satu atau dua pohon, mereka (alam, red.) pasti menabur benih. Dan begitu mereka (alam) menanamnya, burung-burung tahu bagaimana menabur mereka (bibit-bibit), sapi tahu, gajah tahu, bahkan Sungai Brahmaputra tahu,” kata Payeng, dikutip Gina.

 

TAG

hutan Lingkungan

ARTIKEL TERKAIT

Bumi Pertiwi Hampir Mati Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan Pemujaan di Bukit Tandus Setetes Air di Tanah Gersang Yang Terkubur Amukan Merapi Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi Mempercantik Candi-candi di Yogyakarta dengan Semak Berbunga Riwayat Pertapaan di Lereng Gunung Ungaran Singgah di Rumah Dewa Siwa