PABRIK kosmetik Derma Skin Care Beauty digerebek Polda Jawa Timur awal Desember 2018. Sebelumnya, produk Derma Skin Care Beauty dipasarkan di sosial media dengan menggandeng beberapa selebriti seperti Via Vallen, Nella Karisma, dan Nia Ramadhani. Namun, produk Derma Skin Care Beauty yang terdiri atas, pembersih wajah, serum, masker, dan bedak rupanya hanya barang oplosan.
Bedak Derma Skin Care Beauty, misalnya, hanya campuran dari bedak Marks dengan beberapa bahan tambahan. Produk ini ditarik karena tidak mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Orang Indonesia kan pintar-pintar-bodoh, kemakan iklan mudah banget. Kalau saya lihat iklan malah geregetan, masak bilang 3 hari bisa putih,” kata Sjarief Wasitaatmadja yang sudah menjadi dokter kulit selama 50 tahun.
Kematian Countess of Coventry
Penggunaan bedak berbahan dasar logam berat begitu populer di Eropa sejak lama. Di Yunani Kuno dan Romawi, orang-orang membedaki muka mereka dengan bubuk yang dibuat dari timah putih, disebut cerusa.
Penggunaan bedak beracun paling terkenal dalam sejarah ditemukan di Inggris era Elizabeth I. Kala itu, kosmetik sangat populer. Ratu Elizabeth I menggunakan cat putih berbahan dasar timbal untuk menutupi bekas cacarnya.
Orang Inggris ramai-ramai memoles wajah mereka dengan cat timbal sebagai bagian dari mode dan penunjukkan status sosial. Makin putih wajah menjadi indikasi seseorang bangsawan. Kulit putih pucat itu dipadu dengan ekstrak bery untuk memerahkan pipi juga bibir, membuat penampilan mereka terlihat sangat kontras antara kulit wajah dan pipi. Gaya berdandan semacam ini terekam dalam lukisan-lukisan wajah orang Inggris abad ke-17.
Baca juga: Lembutnya Sejarah Bedak
Tingginya semangat orang untuk berdandan memunculkan cara-cara alternatif, bahkan seringkali aneh dan meragukan. Ada yang menggunakan cangkang bekicot, campuran kapur barus, cangkang telur, atau madu sebagai bedak. Pilihan lain yang digunakan orang yang enggan membedaki mukanya dengan cat timbal adalah mengoleskan air kencing atau air mawar yang dicampur dengan wine.
Pada pertengahan abad ke-18, penyakit kulit sangat dikenal sebagai akibat penggunaan bedak yang asal-asalan dan beracun. Korban paling terkenal di Inggris adalah Maria (Gunning) Coventry seorang Countess of Coventry. Dia meninggal lantaran keracunan bedak yang terlalu banyak dia gunakan pada usia 25 tahun di 1760. Hannah Greig dalam The Beau Monde: Fashionable Society in Georgian London menyebut, bedak yang Maria gunakan tiap hari mengandung racun merkuri. Keracunan logam berat terjadi lantaran Maria tanpa sadar menghirup bedak yang menempel di wajahnya dan masuk ke saluran pernapasan.
Di Asia, penggunaan bedak berbahan logam berat ditemukan di Jepang. Seniman Kabuki dan Geisha menggunakan cat putih tebal yang disebut Oshiroi untuk mendandani wajah mereka. Penggunaan bedak berbahan dasar non-logam (Neri Oshiroi), menurut Dominique Buisson dalam Japan Unveiled: Understanding Japan Body Culture, baru muncul sekira akhir abad ke-19. Kebanyakan menggantinya dengan bubuk beras yang dinilai lebih aman.
Mencari Jalan Bedak Aman
Di Indonesia, campuran bubuk beras dan bunga melati menjadi bahan dasar bedak dingin. Penggunaan beras sebagai bedak kemudian ditiru oleh orang Eropa, salah satunya brand kenamaan Bourjois yang didirikan aktor Prancis Joseph-Albert Ponsin. Bourjois mengeluarkan produk bedak Java Rice Powder pada 1879.
Pada abad ke-19, bisnis make up berkembang pesat karena kebutuhan berdandan para aktris opera di atas panggung. Para produsen terus berinovasi untuk membuat make up yang tahan menempel di wajah sembari saat sang aktor berakting di panggung sambil terkena sorotan lampu super terang dan panas. Di samping menyediakan produk untuk kebutuhan opera, produsen kosmetik juga memasarkannya untuk khalayak umum.
Selain Posin, Helena Rubinstein juga menjadi salah satu pembuat kosmetik terkemuka sampai-sampai ia dijuluki Ratu Kosmetik Amerika. Sama seperti Posin, Helena mulanya membuat make up untuk kebutuhan artis panggung, namun kemudian produknya dipasarkan untuk umum dengan harga jauh lebih murah.
Hingga abad ke-20, ilmu dan seni tata rias berkembang pesat dan produk baru terus bermunculan. Maraknya produk membuat ahli dermatologi modern (dokter kulit) harus turun tangan mengatasi fenomena ini. Dokter tidak hanya merawat kulit yang sakit tapi juga menjadi konsultan keamanan dan kemanjuran kosmetik.
Baca juga: Kapan Orang Mulai Merias Mata?
“Kalau melihat perkembangan situasi pasar, kami melihat adanya integrasi ‘dermatologi penyakit’ dengan ‘hasrat dermatologi’. Pada tingkat tertentu, dermatologi merupakan campuran dari perawatan penyakit dan hasrat merawat diri,” kata William Philip Werschler, asisten Profesor Dermatologi Klinis di Universitas Washington, sebagaimana diberitakan Medscape.
Pelibatan dokter sebagai konsultan keamanan kosmetik juga terjadi di Indonesia sejak 1970-an. Muasalnya dari meningkatnya kelas menengah Indonesia bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat sehingga produk kosmetik makin ramai peminat. Retno Iswari Tranggono, dokter kulit pendiri jurusan Kosmetik-Dermatologi UI, menginisiasi pemeriksaan kosmetik bersama Departemen Kesehatan.
“Produk bersangkutan akhirnya dianalisis di ITB dan BATAN. Setelah dilakukan analisis selama satu tahun, ternyata beberapa produk yang beredar mengandung merkuri yang sangat berbahaya,” kata Retno seperti ditulis Jean Couteau dalam The Entrepreneur Behind The Science of Beauty.
Baca juga: Kegetiran di Balik Obat Jerawat
Retno bersama rekannya sesama dokter kulit, Sjarief Wasitaatmadja, kala itu diminta menjadi staf ahli dan membantu Departemen Kesehatan memonitor efek samping kosmetik sampai ke pembuatan undang-undang. Penggunaan kosmetik, menurut Sjarief, bisa mempengaruhi kulit dan punya efek samping. Oleh karenanya, perawatan kecantikan membutuhkan pengawasan medis.
“BPOM juga mengikutsertakan kami (Retno dan Sjarief, red.) untuk memberi arahan tentang penggunaan kosmetik dan bahan berbahaya. Zaman dulu jangankan berbahaya, bahan yang bikin mati saja dipakai,” kata Sjarief sambil terkekeh, kepada Historia.