Masuk Daftar
My Getplus

Upaya Negara Memperkuat Pancasila

Tiap pemerintahan punya cara sendiri untuk melindungi Pancasila dari ideologi yang ingin menggantikannya.

Oleh: Martin Sitompul | 20 Des 2020
Sukarno menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI di Jakarta, 1 Juni 1945. (ANRI).

Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara ketika usia Republik Indonesia baru satu hari. Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mensahkannya pada 18 Agustus 1945. Dalam perjalanan bernegara, Pancasila kerap mendapat tantangan dari kelompok pengusung ideologi tandingan yang ingin menggantikanya.

“Sejak perumusan Pancasila terjadi perbedaan pendapat yang dikompromikan antara golongan kebangsaan dengan golongan keagamaan,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada Historia.id.

Sepanjang dekade 1950-an, kata Asvi, debat kembali mengemuka antara dua golongan itu. Kelompok Islam dan nasionalis bertarung gagasan dalam Konstituante, lembaga perancang Undang-Undang Dasar yang baru di masa Demokrasi Liberal. Elite Islam terkesan menafsirkan Pancasila dari perspektif mereka. Di luar itu, kelompok Darul Islam yang dipimpin oleh S.M. Kartosoewirjo secara terang-terangan menentang Pancasila lewat pemberontakan bersenjata.

Advertising
Advertising

“Yang jelas, pada saat Konstituante dibuka, terjadi perdebatan mau pilih Pancasila atau Islam atau satu lagi yang ditawarkan (Partai) Murba, yaitu sosial ekonomi. Perdebatan sangat tajam,” kata Asvi.

Sukarnoisme: Manipol USDEK

Alih-alih menghasilkan UUD yang baru, Konstituante lebih menyerupai ajang beradu ideologi. Presiden Sukarno bukannya tidak menyadari potensi perpecahan dalam pertarungan gagasan para politisi itu. Begitu pula dengan keberadaan kubu-kubu yang menyoal Pancasila sebagai dasar negara.

“Kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini, Saudara-saudara, membuktikan sejelas-jelasnya bahwa jikalau tidak di atas dasar Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa hanya Pancasila-lah yang dapat tetap mengutuhkan negara kita,” kata Sukarno dalam pidatonya di Istana Negara pada 26 Mei 1958.

Pidato itu menjadi pembuka kursus Pancasila yang secara berkala diadakan di Istana Negara. Sukarno sendiri yang jadi pembicara utama. Demikianlah dimulai ikhtiar memperkokoh Pancasila ke tengah publik walaupun masih terbatas pada lingkup kader-kader Pancasila. Risalah kursus Pancasila itu dibukukan dalam Pancasila Sebagai Dasar Negara.

Baca juga: Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila

Pada 17 Agustus 1959, Sukarno memperkenalkan konsep Manipol USDEK dalam pidato kenegaraannya. Manipol singkatan dari Manifestasi Politik sedangkan USDEK adalah huruf-huruf pertama dari lima dasar strategi Sukarno. USDEK terdiri dari lima elemen: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

“Itulah lima dasar dari Manifesto Politik Sukarno, sebagai bentuk penerapan Pancasila ke dalam satu ideologi nasional yang progresif dan revolusioner, yang terkenal dengan sebutan Sukarnoisme,” tulis Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno.

Manipol USDEK kemudian ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Melalui Panitia Pembina Jiwa Revolusi yang diketuai Roeslan Abdulgani, Manipol USDEK diperkenalkan ke segala lini kehidupan. Manipol USDEK menjadi materi yang disisipkan dalam kurikulum sekolah tingkat dasar hingga universitas. Indoktrinasi juga meliputi pegawai negeri dan karyawan perusahaan negara, termasuk media massa.

Dalam praktiknya, indoktrinasi ini tidak cukup sebagai pembina ideologi. Ia juga menjadi alat politik yang beririsan dengan hegemoni kekuasaan. Seperti diungkapkan oleh sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, beberapa redaktur yang pro-Masyumi dan pro-PSI menolak melakukannya, maka surat kabar mereka pun dilarang terbit.

Baca juga: Pancasila dan Gerakan yang Bersimpang Jalan

Tantangan kemudian datang dari kubu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada permulaan Mei 1964, D.N. Aidit, ketua CC PKI mengejutkan kalangan politisi di Jakarta dengan mempertanyakan kesahihan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan nada meremehkan, Aidit berkata bahwa Pancasila hanya berperan sebagai alat pemersatu untuk mencapai Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis). Begitu Nasakom menjadi kenyataan, maka Pancasila tidak diperlukan lagi.  

Menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri pada era Sukarno, Aidit semakin berani kepada Sukarno karena tidak sabar dan tidak puas terhadap peranan dan posisi PKI yang tidak menentukan dalam alam Sukarnoisme. Sukarno menjawabnya dengan memprakarsai peringatan hari lahir Pancasila pada 1 Juni 1964. Slogan yang digunakan untuk peringatan itu adalah “Pancasila Sepanjang Masa”.

Namun, peringatan hari kelahiran Pancasila di era Sukarno tidak berlangsung lama. Seremonial itu dilarang sejak 1 Juni 1970, seiring dengan berakhirnya pemerintahan Sukarno. Pemerintahan Orde Baru menggantinya dengan peringatan Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober.

Orde Baru: Asas Tunggal Pancasila

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintahan Orde Baru mengusung slogan pemerintahan berdasarkan Pancasila secara murni, konsisten, dan konsekuen. Dalam mengawal ideologi Pancasila, Soeharto melihat ancaman dari dua kutub yang berbeda. Mulailah dikenal istilah “ekstrem kiri” dan “ekstem kanan”.

Kubu ekstem kanan diasosikan dengan kelompok Islam fanatik. Adapun ekstrim kiri merupakan residu sisa-sisa komunis yang tiada lagi punya pengaruh. Di antara kedua kutub tersebut, kelompok Islam fanatik lebih berpotensi menjadi oposan pemerintah. Mereka yang menghendaki syariat Islam sebagai dasar negara. Untuk mengantisipasi itu, pemerintahan memandang perlu kebijakan penyeragaman ideologi.

“Kekuatan yang lebih berbahaya menurut Soeharto yaitu ekstrem kanan. Ekstrem kiri walaupun masih ada cuma fenomena gunung es di masa itu. Makanya Soeharto mencoba menggulirkan jangan ada asas agama dalam organisasi sosial-politik. Pancasila-lah satu-satunya asas agar segala sesuatu seragam,” kata Galih Hutomo Putra yang meneliti kebijakan Orde Baru periode 1978–1985 kepada Historia.id.

Baca juga: Sudharnoto, Seniman Lekra Pencipta Lagu Garuda Pancasila

Pada 1975, Soeharto mencanangkan Eka Prasetya Panca Karsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Gagasan ini disahkan MPR dalam Sidang Istimewa dengan TAP MPR No. II/MPR/1978. Untuk mengawal jalannya program indoktrinasi ideologi Pancasila ini, Soeharto membentuk lembaga khusus: Tim Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P-4 (BP-7). Dalam P-4, wujud pengamalan Pancasila dirinci dalam butir-butir nilai yang berjumlah 36.

Penataran dimulai dari penyelenggara negara seperti pegawai negeri dan angkatan bersenjata. Lambat laun, program penataran diperuntukan bagi seluruh warga negara. Pada setiap permulaan tahun ajaran baru SMP, SMA, dan universitas baik negeri ataupun swasta turut  menyelenggarakan P-4.

Dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengatakan kegiatan penataran ini bertujuan meningkatkan pendidikan politik bagi rakyat. Sehingga dengan demikian, makin tinggi kesadaran warga negara akan hak dan kewajibannya. Hingga pada periode pemerintahannya yang keempat (1983–1988), Soeharto menetapkan Pancasila sebagai Asas Tunggal. Penetapan asas tunggal diikuti dengan pembentukan Undang-Undang Ormas agar setiap organisasi sosial-politik tunduk pada Pancasila.   

Baca juga: Atas Nama Ideologi Negara

Selain memperkokoh Pancasila, kebijakan P-4 dan Asas Tunggal seiring pula dengan upaya Soeharto melanggengkan kekuasaan. Dengan itu, pemerintahan Orde Baru dapat meredam lawan-lawan politiknya yang dianggap menentang atau anti-Pancasila. Oposisi yang menonjol kala itu seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mewakili kelompok agama dan Petisi 50 dari kalangan elite politik.

“Secara ide, ini brilian, menjadikan Pancasila produk pemerintahan,” ujar Galih yang mengkaji “P-4 dan Asas Tunggal: Kebijakan Soeharto tahun 1978–1985” sebagai skripsinya di Universitas Indonesia yang rencananya akan dibukukan itu.

“Di mana-mana jadi serba Pancasila, orang kenal Pancasila, harus hafal Pancasila, butir-butir harus tahu,” lanjut Galih, “Tapi implementasinya (oleh pemerintah) ada yang benar ada juga yang tidak.”

Meski demikian, penerapan P-4 hanya berlangsung sepanjang Orde Baru berkuasa. Dalam Sidang Istimewa November 1998, MPR mencabut TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang P-4. Pertimbangannya, materi muatan dan pelaksanaan P-4 tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan negara. 

Reformasi: Penemuan Kembali

Pemerintahan Orde Baru tumbang. Lembaga BP-7 dibubarkan dan penataran P-4 dihapuskan. Memasuki era Reformasi, ide untuk memasyarakatkan Pancasila diwacanakan kembali oleh pemerintah.

MPR memulainya dengan sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan. Dalam 4 Pilar Kebangsaan, Pancasila menjadi salah satu pilar bersama dengan UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bineka Tunggal Ika. Taufik Kiemas, ketua MPR periode 2009–2014, disebut sebagai pelopor gagasan 4 Pilar Kebangsaan.

Agenda sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan termaktub dalam UU No. 17 tahun 2014 tentang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pada tahun yang sama undang-undang tersebut diubah dengan UU No. 42.

Pada 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) No. 24 yang menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila dan sejak 1 Juni 2017 diperingati sebagai hari libur nasional. Namun sekadar peringatan masih belum cukup. Pemerintah merasa perlu adanya lembaga pembinaan ideologi Pancasila.

Baca juga: DN Aidit: PKI Menentang Pemretelan terhadap Pancasila

Pada 19 Mei 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 tentang pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). UKP-PIP kemudian disempurnakan menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres No. 7 tahun 2018. Sejumlah tokoh masyarakat dan intelektual tergabung di dalamnya.

Dalam situs resminya, bpip.go.id, BPIP bekerja membantu presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. BPIP bertugas melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan. Dengan demikian, BPIP tetap menjadi badan pembina ideologi sekalipun pemerintahan berganti.

Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Reformasi menjadi tonggak penemuan kembali Pancasila. Dalam tulisannya “Merawat Indonesia, Merawat Pancasila” termuat dalam kumpulan tulisan Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno & Kemeja Arrow, Asvi menyebutkan walaupun pada mulanya ada rasa bosan dan jenuh terhadap slogan Pancasila yang selalu dikumandangkan Orde Baru, namun kemudian muncul kerinduan kembali kepada ideologi ini. Suasana kesulitan ekonomi yang dibayangi ancaman perpecahan menyebabkan masyarakat menengok kembali pada sesuatu yang bisa menjadi perekat bangsa.

“Yang tepat untuk itu adalah Pancasila sebagaimana terbukti dalam sejarah,” kata Asvi.

TAG

pancasila

ARTIKEL TERKAIT

Di Balik Pidato Bung Karno di PBB Ende dan Perenungan Bung Karno Dari Pemuda Patriotik Menjadi Pemuda Pancasila Manipulasi Hari Lahir Pancasila Pancasila dan Gerakan yang Bersimpang Jalan Tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan Basuki Tjahaja Purnama dan Pidato Sukarno Atas Nama Ideologi Negara Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila Wawancara DN Aidit: PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila