Masuk Daftar
My Getplus

Pancasila dan Gerakan yang Bersimpang Jalan

Sepanjang sejarah, Pancasila mengalami beragam tantangan. Ada upaya untuk menggantinya dengan ideologi lain.

Oleh: Andri Setiawan | 19 Des 2020
Sukarno menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI di Jakarta, 1 Juni 1945. (ANRI).

Setelah diusulkan oleh Sukarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Pancasila kemudian dibawa ke sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam sidang ini, muncul perdebatan terutama pada sila pertama Piagam Jakarta. Lobi-lobi politik terjadi dan akhirnya Pancasila diresmikan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945.

Pasca perdebatan dalam PPKI, bukan berarti Pancasila tak pernah lagi mengalami penolakan. Ragam ideologi memang awalnya boleh tumbuh dan hidup di Indonesia. Mereka yang memiliki cita-cita sebuah negara dengan ideologi berbeda pun kemudian juga muncul.

Ada yang hendak mendirikan negara berazas komunisme, ada pula yang berpegang pada Islamisme. Mereka yang dianggap melawan atau memberontak kepada pemerintahan yang sah kemudian diberantas. Tragedi berdarah mewarnai tiap peristiwa.

Advertising
Advertising

Revolusinya Partai Komunis

Ketika Indonesia tengah bersitegang dengan Belanda, sebuah pemberontakan terjadi. Musso dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Amir Sjarifuddin dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR), hendak mendirikan Republik Soviet di Indonesia. Kota Madiun menjadi medan laga yang membuat orang menyebut rangkaian tragedi pada 1948 ini sebagai Peristiwa Madiun.

Peristiwa ini diawali dengan kedatangan Musso dari Moskow, Uni Soviet, ada 11 Agustus 1948. Dalam sidang Politbiro PKI pada 13-14 Agustus 1948, ia menyerukan apa yang disebutnya sebagai Jalan Baru untuk Republik Indonesia. Isinya menjelasakan mengenai kesalahan partai dan mendorong fusi tiga partai yakni PKI Ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis untuk memimpin revolusi. Musso juga menghendaki adanya pemerintahan front nasional yang bekerja sama dengan Uni Soviet untuk menghadapi Belanda.

“Menurut kodratnya dan dipandang dari sudut sejarah maka hanya kelas buruhlah, sebagai klas yang paling revolusioner dan konsekuen anti-imperialisme, yang semestinya memimpin revolusi ini, dan bukan kelas lain,” kata Musso.

Baca juga: Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun

Hal ini tak sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Berbagai kejadian, dari pembunuhan tokoh-tokoh PKI hingga aksi culik-menculik terjadi di Solo. Konfrontasi di Solo kemudian menjalar hingga ke Madiun.

Pada 19 September 1948, Sukarno berbicara melalui radio. Ia menyatakan bahwa Musso telah memberontak dan hendak menumbangkan pemerintahan yang sah.

“Sekarang kami perlu lagi memberitahukan suatu peristiwa yang lebih genting lagi kepada saudara-saudara: Kemarin pagi P.K.I. Musso mengadakan coup, mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso,” kata Sukarno seperti dikutip Harry A. Poeze dalam Madiun 1948 PKI Bergerak.

Baca juga: Soeharto Pernah Ditangkap di Madiun

Sehari setelahnya, Hatta mengundang Badan Pekerja (BP) KNIP bersidang. Dalam kesempatan ini seorang anggota, Maroeto Nitimihardjo menekankan untuk melarang organisasinya, bukan ideologinya.

“… bahwa di sebuah negara yang merdeka tidak boleh ada aliran satu pun yang dilarang, juga komunisme tidak. Tindakan yang diambil tidak boleh pembasmian terhadap isi komunisme,” tulis Poeze.

Para anggota sidang ini setuju dengan pendapat Maroeto bahwa semua aliran politik boleh berkembang sesuai dengan aturan di dalam Republik. Namun, PKI yang tengah memberontak di Madiun sudah semestinya dilarang dan akhirnya, giliran senjata yang bicara.

Dengan mudah, Madiun ditaklukan dan dibersihkan dari PKI dan FDR pada 30 September 1948. Musso kemudian tertembak dalam pelariannya pada 31 Oktober 1948. Sementara itu, sebelas pemimpin PKI dihukum mati. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban berjatuhan dari pihak komunis maupun Republik.

Mimpi Negara Islam

Jika Musso berdiri dengan komunismenya, S.M. Kartosoewirjo berada di sudut yang lain: Islam. Musso, Kartosoewirjo, dan Sukarno merupakan kawan indekos di rumah H.O.S. Tjokroaminoto di Gang Peneleh, Surabaya. Namun ketiganya berdiri pada ideologi masing-masing ketika revolusi.

Banyak tokoh sejak zaman kolonial memiliki cita-cita menjadikan Islam sebagai dasar negara. Namun, baru Kartosoewirjo yang kemudian merealisasikan gagasannya tentang sebuah negara Islam. Pada Mei 1948, ia telah membentuk Dewan Imamah (Kabinet) yang dipimpinnya sendiri sebagai Imam. Namun, baru pada 7 Agustus 1949, Negara Islam Indonesia diproklamasikan di Desa Cisampah, Kabupaten Tasikmalaya.

Baca juga: Upaya Mencegah Kartosoewirjo Memproklamasikan Negara Islam

Menurut Holk Harald Dengel dalam Darul Islam dan KartosuwiryoAngan-angan yang gagal”, Undang-Undang Dasar Negara Islam disebut sebagai Kanun Azasi. Konsep Kanun Azasi ini juga telah selesai disusun pada Agustus 1948.

“Kanun Azasi ini diawali oleh sebuah penjelasan singkat yang terdiri atas 10 pokok. Antara lain di situ disebut, bahwa Negara Islam Indonesia tumbuh di masa perang, di tengah-tengah revolusi Nasional dan selama perang suci berjalan terus, Negara Islam Indonesia merupakan Negara Islam di masa perang atau Darul Islam fi Waqtil-Harbi,” tulis Dengel.

Sedangkan hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia ini adalah Hukum Islam di masa perang dengan hukum yang tertinggi adalah Al-Qur’an dan Hadis.

Sementara itu, perjuangan melawan Belanda yang tengah berlangsung dianggap telah gagal. Kartosoewirjo tak setuju dengan sikap Republik yang memilih jalan diplomasi. Ia juga kecewa dengan hasil sidang PPKI yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, di mana ia menginginkan Islam yang dipakai.

Baca juga: Detik-detik Terakhir Kartosoewirjo

Banyak peristiwa sepanjang 1948 hingga 1962 terkait Negara Islam Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) ini. Dari penyerbuan, teror, hingga pembantaian yang sebagian besar terjadi di Jawa Barat. Gerakan-gerakan yang merupakan bagian dari DI/TII juga berkembang di Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

Jika Musso tak bertahan lama, Kartosoewirjo selama 13 tahun memperjuangkan impiannya, Negara Islam. Upaya-upaya damai telah dilakukan pihak Republik, namun Kartosoewirjo tetap pada pendiriannya. Riwayatnya berakhir ketika ia ditangkap dan dieksekusi mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, pada 12 September 1962 –sumber lain tanggal 5 September 1962. Bersamaan dengan itu, DI/TII pun runtuh.

Peristiwa 1965

Di ujung kekuasaan Sukarno, sebuah peristiwa berdarah meletus. Sukarno menyebutnya Gestok atau Gerakan 1 Oktober. Sementara pihak militer dan kemudian Orde Baru menyebutnya Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

Dalam peristiwa ini, tujuh perwira tinggi militer dibunuh. Mereka adalah Ahmad Yani, Raden Suprapto, M.T. Haryono, S. Parman, D.I. Panjaitan, dan Sutoyo Siswomiharjo. Mayatnya kemudian dibuang di Lubang Buaya.

Peristiwa ini merupakan tragedi paling kontroversial. Banyak versi pelaku maupun isu seputar malam berdarah itu. Namun narasi-narasi kemudian mengerucut pada dalang utama G30S, yakni PKI, yang berujung pada penetapan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme dan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Baca juga: DN Aidit: PKI Menentang Pemretelan terhadap Pancasila

Sementara itu, sejak awal Oktober 1965 para pemimpin PKI telah diburu, simpatisannya ditangkapi dan dibunuh. Seperti dikatakan John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, G30S telah menjadi dalih pada peristiwa yang lebih mengerikan, pembantaian dan kekerasan massal sepanjang 1965–1966.

 

“Kekerasan yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai awal 1966 harus dilihat lebih sebagai saat awal pembangunan sebuah rezim baru, ketimbang sebuah reaksi wajar terhadap G30S. Soeharto dan para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G30S sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini,” tulis John Rossa.

Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S

Sukarno sendiri dalam Pelengkap Pidato Nawaksara Presiden Republik Indonesia pada 10 Januari 1967 menyebut peristiwa ini ditimbulkan oleh tiga sebab.

“Penyelidikanku yang saksama menunjukkan, bahwa peritiwa G30S itu ditimbulkan oleh ‘pertemuannya’ tiga sebab, yaitu: a. keblingeran pimpinan PKI, b. kelihaian subversi Nekolim, c. memang ada adanya oknum-oknum yang ‘tidak bener’,” sebutnya.

Namun, hingga Sukarno lengser, narasi militerlah yang menang. PKI dianggap pengkhianat dan harus dihancurkan. Sementara komunisme dianggap sebagai ideologi terlarang yang hendak menggantikan Pancasila.

Masa Orde Baru dan Reformasi

Ketika kekuasaan Sukarno tamat dan Soeharto menduduki tampuk kekuasaan, baik komunisme maupun gerakan-gerakan Islam semakin tak punya tempat. Bahasa politik Orde Baru menempatkan mereka pada istilah “ekstrem kiri” untuk komunisme, Marxisme, Leninisme, dan istilah “ekstrem kanan” untuk mereka yang dianggap berideologi Islam radikal.

Sementara itu, komunisme tak bisa bernapas lagi di bawah pemerintahan Soeharto, gerakan-gerakan Islam mulai terlihat lagi di awal dekade 1970-an hingga awal 1980-an. Gerakan-gerakan ini berhubungan dengan Islam transnasional yang berasal dari Timur Tengah, terutama Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir.

Baca juga: Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila

Menurut Abdurrahman Wahid (ed.) dalam Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, sejak dekade 1970-an itu, gerakan Islam transnasional masuk melalui pendanaan besar untuk mahasiswa kuliah ke negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Agen-agen Salafi (Wahabi) dan Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin) kemudian juga memulai dakwah di kampus-kampus di Indonesia.

Gerakan-gerakan ini lalu tumbuh subur menjelang dan setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Dengan menumpang Reformasi dan demokrasi, organisasi-organisasi Islam transnasional ini mulai terbuka dan eksis di Indonesia.

“Tujuan mereka adalah mengatur semua aspek kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kata lain, mereka menganut ideologi totalitarian-sentralistik yang menjadikan agama sebagai justifikasi teologis bagi ambisi politiknya,” tulis Abdurrahman Wahid.

Baca juga: Kiai-kiai Melawan DI/TII

Lebih lanjut, jika pada masa Orde Lama dan Orde Baru gerakan Islam “garis keras” berada di luar pemerintahan sebagai oposisi. Pasca Reformasi, selain membentuk berbagai ormas, gerakan ini juga masuk dalam pemerintahan.

“Hal ini membuat mereka semakin berani dan berbahaya, karena usaha-usaha mengganti Pancasila dan mengubah NKRI bisa dilakukan melalui jalur parlementer di tingkat nasional maupun regional,” tulis Abdurrahman Wahid.

Kekhawatiran terhadap ajaran yang dianggap anti-Pancasila ini berujung pada pembubaran salah satu organisasi Islam, yakni Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017. Status badan hukumnya dicabut oleh Kementerian Hukum dan HAM karena HTI dianggap berseberangan dengan ideologi dan hukum negara, Pancasila.

TAG

pancasila

ARTIKEL TERKAIT

Di Balik Pidato Bung Karno di PBB Ende dan Perenungan Bung Karno Dari Pemuda Patriotik Menjadi Pemuda Pancasila Manipulasi Hari Lahir Pancasila Upaya Negara Memperkuat Pancasila Tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan Basuki Tjahaja Purnama dan Pidato Sukarno Atas Nama Ideologi Negara Sejarah Peringatan Hari Lahir Pancasila Wawancara DN Aidit: PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila