Soal gaya berbusana, Presiden Sukarno termasuk salah satu pemimpin negara yang paling necis di abad ke-20. Apakah itu dalam balutan seragam militer maupun pakaian sipil, ketika menghadiri hajatan formal Sukarno selalu terlihat dendi. Barangkali yang mampu menandingi Sukarno perkara fesyen ialah Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Penyandingan ini diakui sendiri oleh putra Bung Karno, Guntur Sukarnoputra.
“Aku rasa nggak ada yang bisa ngalahin rapihnya dan menterengnya cara berpakaian Presiden; Pemimpin Revolusi Yugoslavia Josip Broz Tito, baik kalau ia sedang berpakaian secara sipil ataupun militer. Benar-benar bukan main ‘kemepyarnya’ cara dandanan pakaian ‘Banteng Neretva ini’,” kata Guntur dalam Bung Karno dan Kesayangannya.
Guntur dalam beberapa kesempatan ikut serta dalam kunjungan kenegaraan Bung Karno ke Yugoslavia. Salah satunya ketika Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok dihelat di Beograd, Yugoslavia pada September 1961. Itulah sebabnya Guntur bisa melihat penampilan Tito dari jarak dekat. Dia juga menyaksikan betapa erat keakraban yang terjalin antara Sukarno dengan Tito. Mulai dari satu mobil ke mana-mana hingga nonton kabaret bersama.
Baca juga: Cerita Sukarno Nonton Kabaret di Beograd
Meski sama-sama “pesolek”, Sukarno dan Tito punya pandangan berbeda mengenai kekuatan negara masing-masing. Dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno, Sigit Aris Prasetyo mengutip cerita populer di kalangan sejarawan Serbia tentang percakapan antara Sukarno dan Tito. Sekali waktu Sukarno menanyakan Tito, bagaimana nasib bangsa Yugoslavia setelah Tito tiada.
“Aku memiliki tentara-tentara yang berani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami,” kata Tito jemawa. Pertanyaan yang sama diajukan Tito. Sukarno menukas sahabatnya itu dengan jawaban, “Aku tidak khawatir, karena aku telah meninggalkan bangsaku dengan sebuah ‘way of life’ yaitu Pancasila.”
Keberanian dan ketangguhan tentara Yugoslavia memang telah terbukti saat Perang Dunia II. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill bahkan pernah menyatakan keberanian adalah sifat dan watak pembawaan bangsa Yugoslavia. Selama perang melawan pendudukan NAZI Jerman, tentara Yugoslavia bertempur habis-habisan secara gerilya mempertahankan tiap jengkal tanah negeri Balkan itu. Menurut P.K Ojong dalam Perang Eropa Jilid 2, penderitaan rakyat Yugoslavia jauh lebih besar daripada rakyat Belanda, Perancis, dan Beligia yang merasakan kekejaman peperangan hanya di babak awal dan terakhir dari Perang Dunia II.
Baca juga: Saat Jenderal Gatot Subroto Beraksi di Yugoslavia
Namun, pada 1980, Tito wafat. Sepuluh tahun kemudian, Yugoslavia mulai terpecah-pecah ke beberapa negara yang memerdekakan diri. Dimulai dari Slovenia, Kroasia, Makedonia, Bosnia, Montenegro, Serbia, dan Kosovo. Pertikaian dan perang saudara berlatar etnis maupun agama melanda negara-negara pecahan Yugoslavia seperti yang terjadi pada Serbia dan Bosnia. Sementara itu, Indonesia tetap eksis meskipun Sukarno telah wafat sejak 1970.
“Tidak heran bila kita lihat rangkaian peristiwa di Bosnia, Serbia, Kroasia, Kosovo, dan sebagainya di wilayah eks-Yugoslavia dalam tahun-tahun kemudian. Semuanya diwarnai kekerasan, keuletan, kekejaman, dan keberanian semua pihak yang terlibat,” tulis Ojong.