September, 1961. Presiden Sukarno berkunjung ke Yugoslavia dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok. Selain didampingi Letjen Gatot Subroto, Deputi Kepala Staf Angkatan Darat, Bung Karno juga mengajak putra sulungnya, Guntur. Rombongan Bung Karno menumpang pesawat carter Pan Am DC-707.
Selain untuk menghadiri KTT Non-Blok, tujuan muhibah Sukarno adalah meninjau kapal perang pesanan Indonesia yang sedang dibuat di Yugoslavia. Sehubungan dengan kepentingan tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution telah tiba duluan di Yugoslavia. Adapun kapal perang yang tengah dipesan itu adalah jenis Submarin chaser buatan Yugoslavia, kapal anti kapal selam yang mampu bergerak cepat sebagai kapal pemuburu.
Dalam penerbangan, Sukarno menuturkan betapa canggihnya kapal tempur pesanan TNI itu. Guntur antusias mendengarnya dan menanyakan berbagai hal, mulai dari meriam, radar, hingga daya tempuh tembakan. Sayangnya, Sukarno kurang begitu paham soal seluk-beluk alustista. Dia menyarankan Guntur untuk bertanya lebih lanjut kepada Jenderal Gatot.
Baca juga: Belanda Kirim Kapal Perang, Sukarno Meradang
“Ternyata saat itu Pak Gatot Subroto sedang lelap tidur mendengkur di pesawat sehingga niat bertanya aku urungkan. Sambil berjalan lunglai karena masygul aku kembali ke tempat dudukku semula,” kenang Guntur dalam memoir Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.
Ketika pesawat mendarat di Beograd, ibu kota Yogoslavia, sambutan luar biasa telah menanti. Tembakan kehormatan dilepaskan sebanyak 21 kali. Para penyambut dan pejabat-pejabat teras setempat yang terdiri dari pejabat sipil maupun militer berjejer di depan terminal bandara. Tentu saja, Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito ikut menyambut langsung kedatangan Bung Karno.
Guntur menuturkan, rombongan Indonesia yang statusnya VIP, seperti kepala negara, menteri-menteri, pejabat tinggi militer ditempatkan di depan dekat kepala inspektur upacara. Mereka disebut golongan “Honorobel” (dari kata honorouble atau kehormatan). Sementara itu, rombongan yang bukan kategori VIP, seperti petugas sandi, pengawal pribadi, wartawan, termasuk Guntur sendiri ditempatkan di belakang. Secara kelakar, kelompok ini menyebut diri mereka sebagai golongan “Honorucuk” (istilah “Rucuk” diambil dari bahasa Jawa “Kerucuk” yang berarti bawahan).
Baca juga: Sukarno Marah Ajudan Salah Cerita Sejarah
Ketika inspeksi, Guntur beringsut mendekati Jenderal Gatot yang ada di barisan kehormatan. Dia masih penasaran soal kapal perang yang hendak dipesan TNI. Setelah mendapat penjelasan singkat dari Gatot, Guntur mulai gelisah. Upacara penyambutan yang memakan waktu lama menyebakan Guntur kebelet pipis. Guntur mengeluhkan hal itu kepada Gatot Subroto.
“Oom, upacara kok lama sekali ya?” kata Guntur.
“Caranya di sini begitu barangkali,” jawab Gatot.
Guntur remaja tanggung berusia 17 itupun menjadi rewel. “Mana kebelet buar air kecil lagi,”katanya.
“Wis, tha (ya, sudah)! Ikut saja sama oom,” ajak Pak Gatot.
Baca juga: Jika Pak Gatot Bilang Monyet
Ternyata Jenderal Gatot juga merasakan hal yang sama. Sang jenderal kemudian memisahkan diri dari barisan kehormatan. Dia malah berjalan kembali ke arah pesawat DC-707. Guntur menguntit dari belakang.
“Oom, mana WC-nya?” tanya Guntur
“Lha ini apa?!,” ujar Gatot sambil menunjuk bagian roda pesawat yang tingginya sekira 1,5 meter dan terdiri dari dua roda.
“Nanti dilihat orang, Oom,” kata Guntur malu-malu.
“Mana bisa! Punyaku ketutup ban yang satu! Punyamu ketutup yang satunya… Beres toh. Ayo nguyuh (kecing)!” seru Gatot.
Baca juga: Guntur Sukarnoputra Menikah Tanpa Ayah
Guntur hanya bisa manut-manut. Maka buang hajatlah putra sulung presiden dan orang nomor dua di jajaran Angkatan Bersenjata RI itu di roda pesawat buatan Amerika Serikat tersebut. Dan uniknya, aksi itu terjadi di Yugoslavia, negeri yang jauhnya ribuan kilometer dari Indonesia.
Sambil melepas hajatnya, Guntur bergumam dalam hati, “Peduli setan sama orang-orang daripada ngompol mendingan gue kencing di sini. Terimakasih Oom Gatot.”