Masuk Daftar
My Getplus

Sejarah dan Spion

Rupanya perlu juga kita berani jatuhkan talak tiga pada zaman yang sudah usai.

Oleh: Bonnie Triyana | 27 Agt 2012
Ilustrasi Adhitya Maheswara. (Historia.id).

Situasi politik terkini di tanah air diwarnai hiruk-pikuk. Membuat kita terbingung-bingung sembari menyodorkan tanya: lakon apakah yang sedang dimainkan para politisi itu? Simak saja televisi yang saben hari menghadirkan segala macam jurus silat dari para aktor politik. Macam-macam jurusnya, mulai berkelit sampai saling tuduh. Namun persoalannya, tak seperti lakon silat sungguhan, pada panggung politik sekarang ini sulit bagi kita membedakan mana pendekar berwatak jahat dengan mereka yang baik. Semua lakonnya sama: berjuang demi rakyat.

Walhasil, Republik kita memang benar-benar ramai oleh aksi para pendekar yang bermain silat. Bagi sebagian orang, tontonan itu mungkin memusingkan, menyebalkan tapi barangkali bagi yang hal itu justru mengasyikkan. Simak saja bagaimana anggota parlemen bersidang menyoal harga BBM. Berteriak saling bersahutan; bersikeras dengan pendapatnya sendiri.

Tapi itulah keniscayaan dalam berdemokrasi. Hal itu bukan barang baru dalam sejarah di Indonesia. Republik ini, dalam beberapa hal, pernah pula mengalamai situasi politik seperti sekarang. Dulu, pada era 1950-an, politisi di parlemen sibuk berdebat. Kabinet jatuh-bangun silih berganti. Walaupun pertarungan antar politisi parlemen belum disiarkan televisi, ada juga yang gemas. Tentara, pada 17 Oktober 1952, mengarahkan moncong meriamnya ke Istana Merdeka. Memaksa Presiden Sukarno membubarkan parlemen. Sukarno menolak memenuhi tuntutan serdadu yang dibakar amarah.

Advertising
Advertising

Baca juga: Untuk Apa Mempelajari Sejarah?

Tapi toh pada akhirnya Sukarno pun mengubah pikirannya. Pada 5 Juli 1959 dia mengumumkan Dekrit Presiden. Demokrasi parlementer dianggap tak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. UUD 1950 yang mengamanatkan sistem parlementer diganti oleh UUD 1945 yang menganut sistem presidensial. Sukarno memang tak membubarkan Parlemen, dia hanya membubarkan Konstituante yang dianggap gagal memenuhi tugasnya menyusun UU baru pengganti UUDS 1950. Tapi pemberlakuan UUD 1945 plus penetapan Sukarno sebagai Presiden seumur hidup membuat Parlemen tak lagi bertaring.

Lantas Sukarno pergi. Soeharto datang mengganti. Di masa Orde Baru, DPR cuma jadi tukang stempel dan teriak “setuju”. Partai disederhanakan dengan alasan trauma keributan politik macam zaman demokrasi liberal. Demokrasi macet. Saluran komunikasi rakyat tersumbat. Politik relatif stabil, tapi mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan. Entah berapa nyawa yang melayang demi menciptakan stabilitas politik demi “pembangunan” itu.

Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno

Kini, setelah Soeharto tak lagi memimpin, otoritarianisme telah dikubur. Kita memasuki alam demokrasi dengan segala trauma yang ada pada masa Orde Baru. Dulu, zaman Orde Baru bebas berpendapat adalah kemewahan. Sekarang jadi barang yang murah. Revolusi teknologi informasi di dunia internet membuat arus komunikasi berlangsung cepat. Kekecewaan terhadap apapun bisa langsung diteriakkan lewat jejaring sosial media seperti twitter dan facebook.

“Esensi sejarah,” demikian Michael Stanford yang ahli filsafat sejarah itu adalah “perubahan”. Bila kita lihat sejarah Indonesia pascakemerdekaan, banyak yang berubah. Zaman terus melaju dengan segala macam penemuan di berbagai bidang. Namun masih saja ada penyakit romantisme zaman. Kini orang merindukan kembali zaman Soeharto. Katanya lebih tenteram, lebih aman. Politik tak berisik seperti sekarang.

Baca juga: Benarkah Orde Baru Zaman Enak?

Mungkin orang lupa, kalau dulu, di zaman revolusi kemerdekaan, banyak orang yang merindukan kembali ke zaman kolonial yang mereka sebut sebagai “zaman normal”. Sebuah zaman ketika kehidupan berlangsung lurus-lurus saja, normal-normal saja. Bahkan menurut catatan Romo Mangunwijaya, di  beberapa pedesaan di Jawa Tengah, orang mulai bertanya-tanya kapan gerangan “zaman kemerdekaan” yang penuh dengan huru-hara itu akan berakhir. Mereka tak sanggup lagi hidup di zaman kemerdekaan.

Rupanya perlu juga kita berani jatuhkan talak tiga pada zaman yang sudah usai. Apalagi zaman itu dipenuhi dengan hal-hal yang merendahkan martabat manusia, menggelincirkan kemanusian ke tepian jurang kehancuran. Ada yang baik pada sebuah masa: ambil. Yang buruk: buang jauh. Semestinya sejarah diperlakukan laiknya kaca spion. Sesekali ketika akan bermanuver, perlulah melihat ke belakang lewat spion. Selebihnya, tetaplah melihat jauh ke depan, menyongsong masa yang akan datang.

TAG

pendidikan pelajaran sejarah

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan