Masuk Daftar
My Getplus

Otak vs Otot

Ilmu pengetahuan tentu tidak akan pernah berkembang dalam suasana penuh penindasan terhadap kebebasan berpikir.

Oleh: Bonnie Triyana | 03 Sep 2012
Ilustrasi: Adhitya Maheswara/Historia.id.

Bagi anak muda, bisa jadi sejarah memang membosankan. Apalagi jika diajarkan dalam bentuk hafalan: soal angka tahun dan nama-nama. Jadi neraka ketika ujian. Hasilnya tak sesuai tujuan. Padahal esensi belajar sejarah adalah pemahaman yang mendalam dan menyeluruh atas sebuah peristiwa: tentang latar belakang peristiwa, aktor di baliknya, sebab-musabab dan akhir peristiwa, serta apa pengaruhnya bagi hidup kita di masa kini.

Pelajaran sejarah, khususnya tentang peristiwa-peristiwa kontroversial yang masih sensitif, diajarkan secara sepihak. Didesain sebisa mungkin supaya siswa menerima satu versi resmi yang telah disusun oleh para pembuat kebijakan kurikulum pelajaran sekolah. “Versi resmi” jauh lebih punya muatan politis ketimbang akademis.

Berbeda di negeri-negeri maju, sebut saja misalnyaAustralia, sejarah diajarkan sebagai ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi asas rasionalitas. Peristiwa sejarah diajarkan dengan landasan hukum kausalitas: hukum sebab-akibat. Tak ada peristiwa sejarah yang muncul begitu saja dari langit; tak ada tragedi meletup tanpa asal-muasal; dan begitu pula tak mungkin kekinian kita terlepas total dari masa lalu. In het heden ligt verleden in het nu wat komen zal, dalam masa kini terletak masa lalu dan (apa yang dilakukan) pada masa kini kelak akan ditemui di masa depan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno

Itulah yang dipraktikkan pada anak-anak sekolah dasar di Melbourne. Guru sejarah mengajak mereka berkunjung ke National Gallery of Victoria, di mana mereka dibawa ke ruang pameran lukisan karya pelukis-pelukis Eropa abad pertengahan. Seorang kurator menjelaskan kepada anak-anak SD itu proses kreatif dan konteks peristiwa yang terjadi di balik proses penciptaan lukisan tersebut.

“Kalian tahu kenapa Bunda Maria dilukis menggunakan warna biru dan ukurannya lebih besar dari yang lain?” tanya kurator sembari berjalan berkeliling ruang pameran dan menunjuk semua gambar Bunda Maria yang berwarna biru. Ketika tak satu pun siswa menjawab, sang kurator pun menjelaskan dengan sangat logis. “Karena warna biru adalah warna yang sangat mahal. Ia dibuat dari mineral alami dan berlian yang ditumbuk halus,” kata kurator ditingkahi anggukan dari siswa.

Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966

Penjelasan itu tak mengada-ada. Masuk akal dan menggambarkan keadaan zaman yang berlaku pada abad pertengahan. Dan memang begitulah seharusnya memahami sejarah: rasional dan faktual. Bukan mistik apalagi klenik, seperti yang dicemaskan oleh Tan Malaka. Karena kata dia, kalau sebuah masyarakat diliputi kepercayaan mistika maka pengetahuan yang bertumpu pada akal sehat dan rasionalitas takkan pernah bisa berkembang.

Pengajaran sejarah yang berbasiskan rasionalitas, bukan karena semata kepentingan politik penguasa, apalagi seperti yang terjadi di masa Orde Baru, mutlak diperlukan saat ini. Karena inti dari tujuan belajar sejarah bukan untuk mendapatkan kebenaran final dari sebuah peristiwa melainkan bagaimana cara mencari atau proses pencarian terhadap kebenaran itu sendiri. Kata kuncinya pada proses bukan hasil. Toh itulah hakikat berilmu pengetahuan.

Baca juga: Tere Liye dan Asal Usul Pengingkaran Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia

Ilmu pengetahuan akan terus berkembang melalui serangkaian proses diskusi, membaca, meneliti, dan bertukar pikiran. Bukan melalui cara-cara kekerasan, barbarianisme. Ilmu pengetahuan tentu tidak akan pernah berkembang dalam suasana penuh penindasan terhadap kebebasan berpikir. Benturan ide-ide dibutuhkan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Benturan-benturan otot hanya akan menghasilkan pertumpahan darah. Dan cilakanya itu sedang terjadi di negeri kita.

Jadi kalau logika tak lagi digunakan, ilmu pengetahuan tak bisa berkembang, maka sebaiknya kita sebagai bangsa kembali kepada tradisi bakar menyan untuk menciptakan pesawat ulang-alik dan mendidik manusia Indonesia jadi astronot. Apakah bisa? Cuma dukun yang tahu.

TAG

pendidikan pelajaran sejarah

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan