top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Otak vs Otot

Ilmu pengetahuan tentu tidak akan pernah berkembang dalam suasana penuh penindasan terhadap kebebasan berpikir.

2 Sep 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi: Adhitya Maheswara/Historia.ID.

Diperbarui: 24 Jul

BAGI anak muda, bisa jadi sejarah memang membosankan. Apalagi jika diajarkan dalam bentuk hafalan: soal angka tahun dan nama-nama. Jadi neraka ketika ujian. Hasilnya tak sesuai tujuan. Padahal esensi belajar sejarah adalah pemahaman yang mendalam dan menyeluruh atas sebuah peristiwa: tentang latar belakang peristiwa, aktor di baliknya, sebab-musabab dan akhir peristiwa, serta apa pengaruhnya bagi hidup kita di masa kini.


Pelajaran sejarah, khususnya tentang peristiwa-peristiwa kontroversial yang masih sensitif, diajarkan secara sepihak. Didesain sebisa mungkin supaya siswa menerima satu versi resmi yang telah disusun oleh para pembuat kebijakan kurikulum pelajaran sekolah. “Versi resmi” jauh lebih punya muatan politis ketimbang akademis.


Berbeda di negeri-negeri maju, sebut saja misalnyaAustralia, sejarah diajarkan sebagai ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi asas rasionalitas. Peristiwa sejarah diajarkan dengan landasan hukum kausalitas: hukum sebab-akibat. Tak ada peristiwa sejarah yang muncul begitu saja dari langit; tak ada tragedi meletup tanpa asal-muasal; dan begitu pula tak mungkin kekinian kita terlepas total dari masa lalu. In het heden ligt verleden in het nu wat komen zal, dalam masa kini terletak masa lalu dan (apa yang dilakukan) pada masa kini kelak akan ditemui di masa depan.


Itulah yang dipraktikkan pada anak-anak sekolah dasar di Melbourne. Guru sejarah mengajak mereka berkunjung ke National Gallery of Victoria, di mana mereka dibawa ke ruang pameran lukisan karya pelukis-pelukis Eropa abad pertengahan. Seorang kurator menjelaskan kepada anak-anak SD itu proses kreatif dan konteks peristiwa yang terjadi di balik proses penciptaan lukisan tersebut.


“Kalian tahu kenapa Bunda Maria dilukis menggunakan warna biru dan ukurannya lebih besar dari yang lain?” tanya kurator sembari berjalan berkeliling ruang pameran dan menunjuk semua gambar Bunda Maria yang berwarna biru. Ketika tak satu pun siswa menjawab, sang kurator pun menjelaskan dengan sangat logis. “Karena warna biru adalah warna yang sangat mahal. Ia dibuat dari mineral alami dan berlian yang ditumbuk halus,” kata kurator ditingkahi anggukan dari siswa.


Penjelasan itu tak mengada-ada. Masuk akal dan menggambarkan keadaan zaman yang berlaku pada abad pertengahan. Dan memang begitulah seharusnya memahami sejarah: rasional dan faktual. Bukan mistik apalagi klenik, seperti yang dicemaskan oleh Tan Malaka. Karena kata dia, kalau sebuah masyarakat diliputi kepercayaan mistika maka pengetahuan yang bertumpu pada akal sehat dan rasionalitas takkan pernah bisa berkembang.


Pengajaran sejarah yang berbasiskan rasionalitas, bukan karena semata kepentingan politik penguasa, apalagi seperti yang terjadi di masa Orde Baru, mutlak diperlukan saat ini. Karena inti dari tujuan belajar sejarah bukan untuk mendapatkan kebenaran final dari sebuah peristiwa melainkan bagaimana cara mencari atau proses pencarian terhadap kebenaran itu sendiri. Kata kuncinya pada proses bukan hasil. Toh itulah hakikat berilmu pengetahuan.


Ilmu pengetahuan akan terus berkembang melalui serangkaian proses diskusi, membaca, meneliti, dan bertukar pikiran. Bukan melalui cara-cara kekerasan, barbarianisme. Ilmu pengetahuan tentu tidak akan pernah berkembang dalam suasana penuh penindasan terhadap kebebasan berpikir. Benturan ide-ide dibutuhkan untuk menghasilkan pengetahuan baru. Benturan-benturan otot hanya akan menghasilkan pertumpahan darah. Dan cilakanya itu sedang terjadi di negeri kita.


Jadi kalau logika tak lagi digunakan, ilmu pengetahuan tak bisa berkembang, maka sebaiknya kita sebagai bangsa kembali kepada tradisi bakar menyan untuk menciptakan pesawat ulang-alik dan mendidik manusia Indonesia jadi astronot. Apakah bisa? Cuma dukun yang tahu.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page