Masuk Daftar
My Getplus

Refleksi Intelektualitas Daniel Dhakidae

Daniel Dhakidae telah berpulang. Sumbangannya pada dunia intelektual Indonesia masih relevan dibicarakan.

Oleh: Andri Setiawan | 11 Apr 2021
Daniel Dhakidae. (Betaria Sarulina/Historia).

Indonesia baru saja kehilangan salah satu intelektual terkemukanya: Daniel Dhakidae. Daniel meninggal dunia pada Selasa, 6 April 2021 di Jakarta pada usia 76 tahun. Ia merupakan salah satu intelektual penting dalam sejarah Indonesia yang berada dalam satu barisan dengan mereka yang kritis terhadap Orde Baru.

Lahir di Ngada, 22 Agustus 1945, Daniel Dhakidae lulus dari Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1975 sebagai sarjana Ilmu Administrasi. Sejak 1976, ia bergabung dengan Majalah Prisma dan menjadi Ketua Dewan Redaksi Prisma periode 1979-1984. Selain lekat dengan Prisma, Daniel dikenal sebagai Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan, Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1982-1984.

Daniel meneruskan studinya di Cornell University dan mendapat gelar Master of Arts bidang Ilmu Politik pada 1987 dan gelar PhD di bidang pemerintahan dari universitas yang sama pada 1991. Disertasinya yang bertajuk The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism, Political Economy of Indonesian News Industry mendapat penghargaan Lauriston Sharp Prize dari Southeast Asian Program Cornell University.

Advertising
Advertising

Sumbangan intelektual Daniel besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan Indonesia. Bukunya yang menjadi masterpiece berjudul Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) membongkar relasi kekuasaan dan intelektual Indonesia yang notabene teman-temannya sendiri.

Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri

Dalam Dialog Sejarah “Cendekiawan & Kekuasaan: Mengenang Kepergian Daniel Dhakidae” di saluran Youtube dan Facebook Historia, Jumat, 9 April 2021, Evi Mariani, wartawan senior dan mantan Managing Editor JakartaPost, menyebut bahwa Daniel adalah seorang intelektual yang jujur. Daniel bisa memuji seseorang dengan sangat tulus di satu sisi dan mengatakan dengan jujur jika memang ada yang tidak benar di sisi lain. Ia juga tak segan-segan mengkritik sesama cendekiawan yang juga temannya sendiri.

“Bagaimana juga kekuasaan oleh dia dibongkar pada tempatnya. Pada tempatnya yang tidak jelek, tidak baik, tetapi dengan semua konsekuensinya, dikasih lihat,” sebut Evi.

Terkait posisi Daniel Dhakidae dalam relasi cendekiawan dan kekuasaan, Profesor Kajian Asia di Universitas Melbourne, Vedi R. Hadiz, menyebut bahwa Daniel tidak berada pada golongan intelektual yang dekat dengan kekuasaan maupun intelektual yang mengklaim berada di tengah-tengah rakyat.

“Saya kira dia tidak terlalu menghargai intelektual yang (berada di) menara gading dan dia juga tidak serta merta akan mendukung keintelektualan orang yang berdasarkan klaimnya bahwa dia bisa mewakili kepentingan orang banyak lewat retorika intelektualnya,” sebut Vedi.

Menurut Vedi, Daniel adalah orang yang sangat mementingan pengembangan ilmu pengetahuan. Meski demikian, ia tidak menganggap ilmu penngetahuan adalah sesuatu yang netral dan berdiri sendiri. Karya-karya Daniel, jelas Vedi, menunjukan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang syarat dengan kekuasaan.

Baca juga: Jalan Intelektual Seorang Sosialis Kanan

Selain itu, Daniel juga merupakan intelektual yang memiliki ketertarikan pada biografi. Pada 2015, Daniel meluncurkan buku Menerjang Badai Kekuasaan. Buku ini berisi tulisan tentang 15 tokoh dan kaitannya dengan kekuasaan, dari Soe Hok Gie, Kusni Kasdut, hingga Mohammad Hatta. Daniel juga berkontribusi dalam Prisma edisi “Manusia dalam Kemelut Sejarah” (1977) serta menjadi co-editor dari Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie.

“Jadi dia itu sangat perhatian pada bagaimana orang, termasuk intelektual, termasuk teman-temannya itu, diombang-ambingkan oleh gelora sejarah. Dibawa ke mana begitu. Nah dalam sejarah itu ada kekuasaan. Yang dia kritik adalah mungkin secara langsung atau tidak langsung, teman-temannya itu yang di dalam dinamika sejarah itu memilih untuk mempraktekkan keintelektualannya demi kepentingan kekuasaan yang dominan,” terang Vedi.

Sementara itu, aktivis dan wartawan senior Hamid Basyaib mengenang Daniel Dhakidae sebagai seorang yang jujur, berintegritas tinggi serta tak gampang terpukau pada intelektual yang sangat kritis terhadap kekuasaan.

“Kalau ada rekannya sesama cendikiawan, walaupun dia kritis terhadap negara, terhadap kekuasaan, tetapi kalau mutu karya dia jelek atau dia mungkin cheating, curang, dalam memproduksi karya-karya so called ilmiah, itu dia kecam keras juga,” kata Hamid.

Salah satu intelektual yang dikritik Daniel ialah Arief Budiman. Profesor lulusan Harvard University itu dianggap tidak memiliki integritas akademis yang tinggi. Hal ini dilihat dari disertasi Arief, “The Mobilization & the State Strategies in the Democratic Transition to Socialism: the case of Allende's Chile”. Daniel mengkritik bahwa Arief tidak pernah pergi ke Chile dan tak menguasai bahasa Spanyol yang menjadi bahasa subyek penelitiannya.

“Daniel mengungkapkan itu dengan gablang di situ. Tanpa mengurangi hormat pada Arief Budiman, dia juga menampilkan sisi-sisinya yang lengkap,” jelas Hamid.

Baca juga: Sikap Sukarno Terhadap Kaum Intelektual

Daniel juga pernah mengkritik disertasi Yahya Muhaimin di MIT Cambridge, “The Politics of Client Businessmen”, dengan menyebutnya sebagai memplagiat “Capitalism and The Bureaucratic State in Indonesia: 1965-1975” karya Richard Robinson dari University of Sydney.

Arief Budiman dan Yahya Muhaimin adalah orang-orang yang juga melawan Orde Baru. Begitu pula dengan Daniel Dhakidae. Namun, Daniel tak mau memalingkan wajah pada tindakan-tindakan intelektual yang menurutnya tak berintegritas.

Meski demikian, Daniel juga tak luput dari citra minor. Ia menjadi kepala Penelitian Pengembangan (Litbang) Kompas pada 1994 hingga 2006. Padahal, Kompas merupakan media yang sebelumnya juga dia kritik karena bagian dari visi pembangunan Orde Baru.

Menanggapi hal ini, Evi Mariani menyebut, “Buat orang seperti Bang Daniel yang tentu saja dia butuh langganan Der Spiegel, butuh beli banyak buku, kalau dia tidak merapat pada kekuasaan, dia tidak membela korporat di Indonesia, dia tidak terafiliasi dengan universitas-universitas besar, mau hidup itu, survive, bagaimana caranya?”

Kini Daniel Dhakidae telah berpulang. Namun, sumbangan karya-karyanya masih relevan untuk melihat kembali bagaimana dunia intelektual Indonesia dan relasinya dengan kekuasaan bekerja.

TAG

intelektual

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Intelektual Seorang Sosialis Kanan Buku dan Perjalanan Intelektual Sukarno Bos Sawit Tewas di Siantar Bung Karno di Meksiko Susahnya Bisnis Karet di Zaman Gerombolan Rochjani Soe'oed, Putra Betawi dalam Sumpah Pemuda Memburu Njoto Presiden yang Memilih Hidup Melajang Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri