PAPUA, 8 Oktober 1968. Tiga orang tentara menjemput Joel Boray di kediamannya. Salah satu dari mereka mengetuk pintu rumah. Yang lain berkata: “Pak Joel Boray, ikut kami sebentar, diperiksa sebentar nanti pulang.” Tidak kuasa melawan, Joel dan kawan-kawannya terpaksa ikut.
Joel Boray kena tipu. Sesampainya di markas tentara setempat, dia ditahan. Tentara mengunci mereka dalam satu ruangan dilanjutkan dengan pemukulan hingga berdarah-darah. Penganiayaan itu terjadi karena Joel nekad mengadakan demonstrasi. Dalam aksinya, Joel bersama guru-guru di Biak menolak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan diseleggarakan pemerintah Indonesia.
“Oh tidak bisa, kami harus memilih one man one vote karena itu yang paling bagus dengan New York Agreement (Perjanjian New York)” ujar Joel dalam “Koteka Lebih Baik dari Celana” termuat di kumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey.
Joel adalah seorang pamong praja. Dia bekerja di kantor Kabupaten Biak sebagai anggota staf. Karena menentang Pepera, dia dikurung selama empat bulan di kompleks Angkatan Laut. “Kalau diadakan pemilihan satu orang satu suara, sudah jelas rakyat Papua senang memilih merdeka sendiri. Ah, itulah rahasianya,” kenang Joel.
Satu Pilihan
Polemik soal Pepera berkaitan erat dengan Perjanjian New York yang ditandatangani pada 1962. Pasal 18 yang mengatur tentang "pemerintah Indonesia dan penentuan nasib sendiri manyatakan rakyat Papua diberi kesempatan kebebasan memilih bergabung dengan Indonesia atau merdeka". Sementara mekanisme pemungutan suara dilakukan seturut dengan ketentuan internasional.
Dalam butir (d) disebutkan, “Hak pilih semua orang dewasa, pria dan wanita yang merupakan penduduk pada waktu pendatanganan persetujuan dan pada waktu perwujudan penentuan nasib sendiri untuk ikut serta…” Dengan kata lain, jajak pendapat rakyat Papua seyogianya diperoleh lewat mekanisme satu orang satu suara.
Baca juga:
Kemenangan yang Ternoda di Papua
Namun dalam praktik, pemerintah Indonesia menerapkan metode delegasi. Cara ini dianggap tepat dengan kebudayaan Indonesia, disamping kesulitan biaya untuk penyelenggaraannya. Para pemilih diwakilkan lewat Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dihimpun dari delapan kabupaten. Sekira 800.000 penduduk Papua saat itu diwakili oleh 1026 DMP.
Siasat pemenangan Pepera yang demikian itu agaknya terjadi atas sepengetahuan dan inisiasi Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Dalam otobiografinya, Amir mengakui kementerian yang dipimpinnya paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pepera. Di sisi lain, Presiden Soeharto telah berpesan agar Pepera jangan sampai gagal.
Ketika berkunjung ke Irian Barat untuk meninjau persiapan Pepera, Amir mendapati kenyataan yang menohok. Sebagian rakyat Papua tidak begitu memperlihatkan simpatinya kepada Republik Indonesia. Kemungkinan kalah dalam Pepera cukup terbuka.
“Bagi saya, dan juga bagi pemerintah Orde Baru, tidak ada pilihan, Irian Barat harus tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Amir dalam H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang.
Baca juga:
Mengenai sikap antipati masyarakat Papua, Amir berdalih. Menurutnya propaganda Belanda yang menjajah mereka sekian lama masih mengakar kuat. Jadi, tidak mengherankan apabila sebagian penduduk enggan bergabung dengan Republik.
“Bagi saya status Irian Barat telah jelas yaitu wilayah Republik Indonesia. Sebab itu tidak perlu diperdebatkan lagi dari segi hukum internasional,” demikian pengakuan sang menteri.
Indikasi Kecurangan
Kesaksian pamong praja Papua dalam buku Bakti Pamong Praja Papua menyibak rupa-rupa penyimpangan yang terjadi. Jelang Pepera, tentara yang didatangkan dari luar Papua untuk operasi “pengamanan” kian masif. Tentara memobilisasi massa untuk berpihak kepada Indonesia. Mereka dikumpulkan dalam penampungan khusus serta harus menjalani masa pembinaan. Sebagian bahkan ada yang diboyong ke Jakarta untuk menerima indoktrinasi.
“Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih oleh orang Indonesia untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera dan ikut dalam Pepera pada tahun 1969.” ungkap Dolf Faidiban yang pada saat Pepera menjabat Kepala Pendidikan Pemerintah Daerah di Jayapura.
Baca juga:
Dirk Bernardus Urus, Kepala Pemerintah Setempat di Bentuni mengatakan hal serupa. Menurutnya pemerintah Indonesia tidak mengenal kompromi ataupun menanyakan pendapat masyarakat. Katanya lagi, jika tidak menggunakan kekerasan barangkali Indonesia tidak akan memenangkan Pepera. “Pemerintah sudah menetapkan satu pilihan saja: Harus berintegrasi dengan Indonesia! Tidak ada jawaban lain.”
Senada dengan kesaksian tadi, sejarawan Belanda Pieter Droogever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menguak pengakuan sejumlah peserta pemilih yang ditunjuk secara asal. Kebanyakan berasal dari Merauke, Wamena, Biak, dan Manokwari. Mereka dipaksa untuk mempelajari jawaban yang berkenan kepada Indonesia lalu membacakannya dengan ancaman mati.
Lebih lanjut, Drooglever mengungkapkan, anggota DMP yang terjaring kemudian dikarantina dalam barak atau gedung sekolah selama berminggu-minggu. Akses mereka untuk terhubung ke dunia luar ditutup. Selanjutnya, mereka diinformasikan secara panjang lebar mengenai apa yang harus dilakukan, memilih bergabung dengan Indonesia.
Baca juga:
“Untuk mengambil hati mereka, tulis Drooglever, “Semua memiliki transistor, sebuah lampu senter, pakaian, dan sedikit uang. Semua itu barang berharga yang sangat tinggi nilainya.”