Aksi Sepihak Sang Menteri Amirmachmud
Karena merasa seorang pejuang, Amir Machmud menafikan pendapat ahli hukum internasional mengenai hak rakyat Papua.
PEPERA. Kata itu pernah bikin Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amirmachmud bingung dan gelagapan. Pada 1969, pemerintah Indonesia harus memenuhi komitmennya menyelenggarakan Pepera. Pepera adalah hak menentukan pendapat bagi rakyat Irian Barat untuk merdeka atau integrasi kepada Indonesia. Namun Amir tampaknya enggan melaksanakan Pepera yang demokratis sebagaimana diatur dalam Perjanjian New York.
“Dalam hati kecil, sebenarnya saya tidak menyetujui pelaksanaan Act of Free Choice tersebut. Namun kini sudah menjadi keputusan pemerintah yang harus saya laksanakan. Masalah yang kita hadapi memang tidak mudah,” kata Amirmachmud dalam H. Amirmachmud: Prajurit Pejuang.
Sang menteri sempat terlibat silang pendapat dengan Sudjarwo Tjondronegoro. Sudjarwo waktu itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk PBB. Dia kurang berkenan dengan cara Amir yang tidak melibatkan dirinya maupun utusan istimewa PBB Fernando Ortiz Sanz dalam persiapan Pepera. Menurut Soedjarwo kebijakan Amir bertentangan dengan hukum internasional.
Baca juga: Pepera: Bersama Indonesia atau Mati
“Saya bisa memahami pendiriannya sebagai ahli hukum. Tetapi wewenang terakhir ada di tangan saya,” ujar Amir Machmud. “Kalau Pak Djarwo melihat bahwa masalah ini sebagai ahli hukum, maka saya melihatnya sebagai pejuang.”
Namun belakangan, di kalangan rakyat Papua, malah Soedjarwo yang terlihat menonjol dalam Pepera. “Soedjarwo Tjondronegoro paling aktif dalam mempropagandakan Pepera sampai kepada pelaksanaannya”. Hal tersebut diakui Dirk Bernardus Urus, Kepala Pemerintah Setempat (KPS) di distrik Bentuni dalam “Anak Kembar Harus Dibunuh” termuat dikumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey.
Menggandeng Sekutu
Sebelum dilaksanakan, Amir Machmud meninjau langsung persiapan Pepera. Saat di Jakarta, Presiden Soeharto telah bersabda agar Pepera jangan sampai gagal. Namun setiba di Irian Barat, Amir tercengang. Rakyat Irian Barat ternyata kurang begitu simpati kepada pemerintah. Pulang ke Jakarta, Amir tetap melaporkan kepada Soeharto bahwa pelaksanaan Pepera berjalan sesuai rencana.
Amir Machmud tentu mesti putar akal. Memenangkan Pepera adalah harga mati namun kemungkinan kalah terlihat di depan mata. Sebagai eks komandan tentara, Amir merancang taktik antisipasi andai rakyat Irian Barat memilih merdeka. Dia merancang indoktrinasi sederhana terhadap calon peserta Pepera. Caranya cukup jitu.
Baca juga: Amirmachmud Larang PKI Ikut Pemilu
Kata Amir Machmud, kalau waktu pelaksanaan Pepera itu tiba, mereka cukup mengatakan “Soeharto”, “Merah-Putih”, “Pancasila”, “Undang-Undang Dasar 1945”, atau “Republik Indonesia”, tidak usah panjang-panjang. Amir menganjurkan cara ini kepada para pejabat pemerintah di Irian Barat dan kepada para anggota dewan Pepera.
Supaya para anggota dewan tersebut ingat akan pilihannya, Amir memerintahkan agar mereka masing-masing dilengkapi tas hitam bertuliskan Republik Indonesia yang memampang peta Sabang—Merauke. Kalau mereka lupa apa yang harus dikatakan, mereka cukup melihat gambar dan tulisan tersebut.
Untuk mengendalikan jalannya Pepera seperti skema yang diharapkan, Amir Machmud membentuk satu tim khusus pemerintah di Jakarta. Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, tim itu telah dipersiapkan jauh hari sebelum pelaksanaan kegiatan pilihan bebas rakyat Papua. Namun dalam buku Api Pembebasan Irian Barat yang disusun Suyatno Hadinoto, Amir Machmud membentuk tim pemerintahan yang dipimpinnya pada 11 Juli 1969 lewat SK Menteri Dalam Negeri No. 90.
Baca juga: Kemenangan yang Ternoda di Papua
Dalam timnya, Amir menggandeng Brigjen Ali Moertopo, perwira intelijen spesialis operasi khusus yang juga orang kepercayaan Soeharto. Tak hanya Ali Moertopo, Amir juga melibatkan tokoh penting lainnya. Mereka antara lain, Gubernur Irian Barat Frans Kaisiepo, Panglima Kodam Cenderawasih Brigjen Sarwo Edhie, Ketua DPRD Irian Barat D. Ayamiseba, dan Kepala Dinas Penerangan Irian Barat S. Ohey. Termasuk pula Soedjarwo Tjondronegoro yang sempat selisih paham dengan Amir yang diplot sebagai wakil ketua.
“Kiranya perlu dicatat, bahwa kerjasama yang diberikan Pak Ali Moertopo dengan OPSUS-nya (Operasi Khusus) dan pengerahan mahasiswa untuk bertugas di Irian Barat sangat penting,” kenang Amir dalam otobiografinya.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar