Jagat media sosial tanah air kembali geger. Sebuah rekaman video memperlihatkan kapal ikan Tiongkok sedang melarung jenazah ABK Indonesia ke tengah laut. Sontak hal itu mengundang marah masyarakat Indonesia. Banyak yang mempersoalkan sikap para awak kapal Long Xin 629 itu dan menganggapnya tidak manusiawi. Masayrakat menuntut kejelasan dalam kasus tersebut.
Peristiwa ABK Indonesia dilarung pertama kali diberitakan oleh MBC (sebuah media terkemuka di Korea Selatan) dan sempat menjadi pembicaraan di negara itu. Pemerintah Indonesia pun segera bergerak mengusut tuntas persoalan tersebut. Dikutip Kompas, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memberikan keterangan terkait kasus tersebut.
“Dari informasi yang diperoleh KBRI, pihak kapal telah memberi tahu pihak keluarga dan mendapat surat persetujuan pelarungan di laut dari keluarga tertanggal 30 Maret 2020. Pihak keluarga juga sepakat menerima kompensasi kematian dari kapal Tian Yu 8,” kata Retno, Kamis (7/5/2020).
Dalam sejarah, banyak orang Indonesia (saat itu masih disebut sebagai Hindia Belanda atau Nusantara) pernah hidup (sementara) di kapal milik pemerintah Hindia Belanda. Selain karena statusnya sebagai budak, ada sejumlah orang yang tinggal karena memang tengah mengadakan perjalanan ke Belanda. Mereka yang mendapat undangan resmi dari pemerintah Belanda itu sempat merasakan hidup di atas kapal selama berbulan-bulan.
Tamu Resmi
Sejumlah orang yang pernah secara resmi diberi kesempatan berpetualang di atas kapal Belanda adalah para utusan dari Aceh. Mereka diundang oleh Pangeran Maurits untuk berkunjung dan melihat negerinya. Selama berbulan-bulan para utusan ini mengarungi lautan, bergaul dengan para awak kapal Kerajaan Belanda.
Sejak pertama kali menaruh minat terhadap Kepulauan Nusantara, pandangan Belanda langsung tertuju kepada Aceh. Wilayah di Sumatra itu menjadi pilihan utama bagi hubungan perdagangan yang ingin dibangun Belanda. Mereka tahu bahwa Aceh telah menjalin hubungan diplomatik yang sangat luas dengan Persia, India, dan Timur Tengah. Bahkan musuh bebuyutannya, Portugis, telah merangsak masuk ke sana.
Baca juga: Hubungan Aneh Belanda-Aceh
Belanda pun memutuskan segera menjalin hubungan baik dengan penguasa Aceh. Pada 1599, Belanda mengirim dua kapal, Leeuw dan Leeuwin, ke daratan Aceh. Kapal-kapal itu mengangkut bala tentara dan sejumlah pejabat Belanda di bawah pimpinan dua bersaudara Cornelis dan Frederick de Houtman. Namun usaha itu mengalami kegagalan karena kurangnya kepercayaan penguasa Aceh terhadap Belanda yang tersohor memiliki sifat buruk.
Pada 1601 usaha lain dilakukan Belanda. Diceritakan Cees van Dijk dalam “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, empat buah kapal, Zeelandia, Middelborgh, Sonne, dan Langhe Barcke, lengkap dengan sepucuk surat dari Maurits beserta hadiah diberangkatkan dari Kerajaan Belanda.
Usaha kali ini membuahkan hasil. Penguasa Aceh bersedia mengirim tiga utusan –duta besar Aceh Tuanku Abdul Zamat (Abdul Hamid), Laksamana Raja Seri Mohmat (Sri Muhammad), dan seorang kemenakan sultan Meras San (Mir Hasan)– untuk melihat sendiri keadaan Negeri Belanda sebelum memutuskan untuk menjalin suatu hubungan bilateral. Para utusan itu juga didampingi beberapa orang pembantu, pedagang Arab, dan penerjemah.
“Sejarah tidak mencatat bagaimana kesan-kesan mereka dan apakah menurut mereka orang Belanda itu beradab. Namun kita mengetahui bagaimana perjalanan mereka berlangsung, dan bagaimana mereka disambut di Negeri Belanda,” tulis Cees.
Pada Agustus 1601, kapal Zeelandia dan Langhe Barcke memulai pelayarannya. Hampir setahun kemudian, dua kapal pengangkut perutusan itu tiba di Zeeland. Selama berada di perjalanan, kata Cees, para perutusan sudah menyaksikan model peradaban Barat dari para awak kapal. Bahkan tentang pergaulan ala Eropa zaman itu yang tidak mereka kenal pun tersaksikan dengan jelas.
Baca juga: Kisah Tiga Kapal Pesiar: Olympic, Titanic, dan Britannic
Pada 1602, setelah melewati Tanjung Harapan petaka menimpa dua kapal perutusan itu. Di dekat Pulau Sint Helena, mereka mendapat hadangan dari kapal Portugis (sumber lain menyebut Spanyol). Pertempuran pun tidak terhindarkan. Setelah kejar-kejaran selama beberapa hari, kapal itu pun berhasil ditahan. Kondisi perutusan terjaga baik. Meski kondisi Abdul Zamat, yang sebelumnya sakit, semakin memburuk.
“Dalam perjalanannya orang-orang Aceh itu mencicipi pengalaman berada di tengah peperangan orang Eropa dan di tengah pemberontakan daerah-daerah Belanda terhadap penjajahan Spanyol,” tulis Cees.
Para perutusan Aceh berhasil tiba dengan selamat di Belanda. Namun belum lama menginjakkan kaki di sana, pada 9 Agustus 1602 dalam usia 71 tahun, Abdul Zamat menghembuskan nafas terakhirnya. Para pejabat, atas persetujuan Perserikatan Dagang Hindia, sepakat memakamkannya di Gereja Sint Piters dengan mengikuti syariat Islam. Sementara perutusan lain berhasil menemui Pangerang Maurits, dan setelah beberapa saat tinggal mereka akhirnya kembali ke Aceh.
Baca juga: Anak Ambon dan Misi Politik VOC
Selain para perutusan Aceh, bangsawan dari Ambon, Maluku, dan beberapa penguasa Jawa juga pernah mendapat undangan serupa. Dari Ambon, tiga orang pangeran muda yang berusia antara 10 dan 12 tahun diajak berkeliling Belanda pada 1607. Mereka berangkat menumpang beberapa kapal Kerajaan Belanda. Perjalanan panjang mengarungi lautan itu menjadi pengalaman berharga mereka dalam mengenal kebudayaan Barat. Keselamatan mereka tentu menjadi jaminan juga.
Derita Terjajah
Nasib berbeda dirasakan para budak dan rakyat terjajah. Jika para bangsawan mendapat berbagai kemewahan di dalam percobaannya tinggal di kapal pemerintah Belanda, para budak mendapat perlakuan lain. Statusnya sebagai budak membuat kehidupan mereka di kapal tidak kalah menyengsarakan dengan kehidupan perbudakan di daratan.
Keadaan itu dirasakan rakyat di beberapa daerah, terutama tempat-tempat pemasok budak seperti Bali dan Maluku. Menurut I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura, di Maluku banyak laki-laki dewasa yang dikirim ke Batavia sebagai budak. Perjalanan laut yang mereka lalui untuk sampai ke pusat pemerintah Hindia Belanda itu begitu menyengsarakan. Bahkan banyak berita yang menyebut tidak semua rakyat Maluku bisa selamat sampai tujuan.
“Dengan kekerasan pemerintah itu hendak memisah semua laki-laki dari anak isterinya,” tulis Nanulaitta.
Cerita tentang kondisi para budak juga digambarkan Harry A. Poeze dalam bukunya Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda. Pada permulaan abad ke-18 banyak berita tentang budak Hindia yang dibawa ke Negeri Belanda oleh para pedagang sebagai bukti status sosial. Di antara banyak kasus, ada satu laporan yang cukup mengejutkan tentang seorang budak perempuan yang menerima perlakuan tidak wajar dari majikannya selama di kapal. Usia budak itu antara 4-5 tahun.
Baca juga: Budak Hindia di Negeri Belanda
“Cerita lain adalah tentang budak perempuan milik Aaltje Barnards. Aaltje Barnards melakukan pelayaran dengan kapal Waarden, dengan nakhoda Adriaan Geleijnsz. Sampai di Negeri Belanda, Aaltje dan nakhoda itu dituduh berzinah; tapi tudahan itu tak penting di sini; yang lebih penting adalah bahwa Aatje telah mengajarkan kepada gadis budak kecil berusia empat-lima tahun itu “semua lagu bordil yang jorok-jorok”, sehingga nakhoda dan Aaltje tertawa terbahak-bahak,” tulis Poeze.