Masuk Daftar
My Getplus

Olga Melawan Nazi

Emak-emak muda pemberani. Dipancung karena terlibat dalam gerakan bawah tanah.

Oleh: Jafar Suryomenggolo | 30 Sep 2019
Olga Bancic. (maitron-fusilles-40-44.univ-paris1.fr).

MUSIM dingin datang lebih awal di Eropa. Pada 6 November 1943, seorang ibu muda ditahan Brigades spéciales (BS2), kempeitai ala Nazi, di Paris, Prancis. Namanya adalah Olga Bancic. Ia dipisahkan dari suami dan putri sulungnya yang baru berumur 4 tahun. Apa yang telah dilakukan Olga hingga ditahan BS2 yang terkenal keji menyiksa tahanan?

Olga Bancic lahir tahun 1912 di kota Chișinău/Kichinev (saat ini ibukota Moldova), yang saat itu merupakan bagian dari Rusia, sebelum jadi bagian dari Rumania. Sejak muda, ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania, yang saat itu terlarang dan ditekan Rusia. Ia juga kerap ikut pemogokan di pabrik kasur tempatnya bekerja dan dibui.

Saat berusia 17 tahun, ia menikahi Solomon A. Jacob (di kemudian hari jadi penulis ternama dengan nama pena Alexandru Jar) yang berusia 18 tahun. Keduanya kemudian pindah ke Paris. Olga masuk sekolah jurusan Sastra. Keduanya membantu gerakan Brigade Internasional dalam Perang Sipil (1936-1939) di Spanyol melawan tentara pimpinan Francisco Franco.

Advertising
Advertising

Setahun di Paris, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Dolorès. Nama ini dipilihnya sebagai penghormatan atas Dolores Ibárruri, seorang pejuang perempuan dalam Perang Sipil di Spanyol.

Baca juga: Perempuan Melawan Nazi Jerman

Ketika Prancis jatuh ke tangan Jerman pada 1940, Olga tak mau berdiam diri. Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah di Paris dan punya nama samaran: Pierrette (dalam bahasa Prancis berarti: badut perempuan). Ia aktif di dalam Francs-tireurs et partisans – main-d'œuvre immigrée (FTP-MOI), kelompok perlawanan yang terdiri dari orang-orang asing non-Prancis. Kelompok ini terkenal garang karena tak ragu angkat senjata melawan tentara Nazi.

Olga ditangkap karena menyimpan persediaan senjata untuk gerakan bawah tanah. Ia ditahan bersama 22 anggota perlawanan di Paris yang dipimpin Missak Manouchian –sehingga dikenal sebagai “groupe Manouchian” (regu Manouchian). Mereka terdiri dari delapan orang Polandia, lima orang Italia, tiga orang Hungaria, tiga orang Prancis, dua orang Armenia, seorang Spanyol, dan seorang Rumania (yakni Olga!). Olga adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok ini.

Olga dan 22 orang lainnya diadili pengadilan militer bikinan Nazi Jerman. Pengadilan dimulai tanggal 15 Februari 1944 dan, seperti diduga, hakim menjatuhkan hukuman mati. Pada 21 Februari, mereka ditembak mati; kecuali Olga.

Hukum Prancis masa itu melarang hukuman mati atas perempuan, sehingga Olga tak ditembak mati. Ia dideportasi ke Stuttgart (Jerman) lalu dipancung pada 10 Mei 1944.

Batu peringatan bagi warga sipil yang gugur selama perang 1939-1945 di kota Sèvres, Prancis. Ada nama sejumlah perempuan yang ikut gerakan perlawanan dan dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi untuk dieksekusi.

Perempuan Melawan Nazi

Sejarah perlawanan menghadapi Nazi bukan melulu kisah heroik ala tentara. Ada banyak warga sipil yang bergerak dan memimpin perlawanan terhadap tentara Nazi. Baik di Prancis maupun negara-negara Eropa lain yang diduduki Nazi.

Berbagai kisah perlawanan itu tersimpan di museum di banyak kota seperti: Verzetsmuseum di Amsterdam, Belanda; Norges Hjemmefrontmuseum di Oslo, Norwegia; Musée de la Résistance nationale di Champigny-sur-Marne, Prancis; dan Musée de Libération di Paris, Prancis.

Peran perempuan juga tak diabaikan. Memang tidak banyak. 15-20 persen anggota gerakan perlawanan di Prancis adalah perempuan. Sayangnya, kisah mereka kerap luput dari perhatian umum.

Baca juga: Perempuan Biasa Melawan Nazi-Jerman

Ada berbagai sebab. Pertama, sejarah perlawanan umumnya menonjolkan peran laki-laki (terlebih, tentara). Hal ini karena sejarah masih dominan ditulis laki-laki. Mereka kerap mengecilkan atau mengabaikan peran perempuan dalam sejarah perlawanan.

Kedua, memang jarang perempuan memanggul senjata dan ikut bertempur di dalam perang. Seringkali para perempuan merasa apa yang mereka lakukan adalah hal “kecil” atau “remeh-temeh” karena tak membahayakan jiwa ketimbang panggul senjata. Sehingga mereka tidak merasa perlu mencatat atau merekam andil mereka di dalamnya.

Ketiga, pemahaman kritis atas sejarah nasional baru berkembang selama 20-30 tahun terakhir. Peran perempuan dalam gerakan perlawanan yang sebelumnya dianggap sebagai “kisah pinggiran” baru akhir-akhir ini saja mendapat perhatian yang layak dan semestinya.

Pengakuan atas peran perempuan ini butuh waktu panjang. Misalnya di Prancis, dari sekitar seribu orang yang diakui negara sebagai “Compagnons de la Libération” (Sahabat Pembebasan) setelah perang usai pada 1946, hanya ada enam perempuan.

Germaine Tillion (paling kanan) mangkat tahun 2008, diakui masuk Panthéon tahun 2015.

Baru pada abad ke-21 ini, ada pengakuan yang luas nan layak. Prancis mengakui jasa dua perempuan anggota gerakan bawah tanah, yakni Geneviève de Gaulle-Anthonioz (mangkat 2002) dan Germaine Tillion (mangkat 2008). Beberapa tahun setelah mereka mangkat, keduanya diakui layak untuk dikuburkan dalam Panthéon, makam para pahlawan nasional di kota Paris. 

Selain itu, ada beberapa kisah yang menonjol dan diangkat ke layar lebar. Misalnya, kisah Sophie Scholl, seorang siswi anti-Nazi di München, yang diangkat menjadi film Sophie Scholl: Die letzten Tage (2005). Kisah Rosa Valland, seorang kurator museum di Paris, dalam film The Monuments Men (2014). Juga kisah Marie Kovárníková, seorang perempuan muda Cekoslowakia, dalam film Anthropoid (2016).

Mengenang Olga

Olga Bancic hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang melawan Nazi. Lantas, apa yang membedakan Olga dari pejuang perempuan lainnya?

Dari catatan sejarah, ada Nancy Wake, kelahiran Selandia Baru dengan suami Prancis, yang menjadi mata-mata gerakan perlawanan. Ada juga Noor-un-Nisa Inayat Khan, seorang prajurit Inggris yang diterjunkan untuk membantu gerakan perlawanan di Paris.

Berbeda dari kedua pejuang perempuan ini, Olga bergabung dalam gerakan perlawanan karena kesadarannya sendiri, bukan karena ada perintah atasan, komando militer, ataupun sekadar ikut-ikutan.

Baca juga: Jalan Sunyi Melawan Nazi

Apa yang dilakukan Olga Bancic bagi gerakan perlawanan tak dilupakan penduduk kota Paris. Di bekas flat kediamannya (114 rue du Château), terdapat plakat kenangan atas namanya. Isi plakat tersebut:

“Di sini pernah hidup Olga Bancic, anggota perlawanan F.T.P-M.O.I, anggota regu Manouchian, yang dieksekusi oleh Nazi di Stuttgart pada tanggal 10 Mei 1944, saat berusia 32 tahun, yang mangkat untuk Prancis dan untuk Kebebasan.”

Plakat kenangan di bekas flat kediaman Olga Bancic di Paris.

Selain itu, sejak 2013, sebuah taman kecil di kota Paris diberi nama “Square Olga Bancic” (Pojok Olga Bancic). Pula, di dalam Museum Pembebasan di Paris (Musée de Libération), ada satu panel khusus tentang perannya dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi.

Nama Olga Bancic dikenang di kota Paris tapi ironisnya hampir terlupakan di kota kelahirannya maupun di Rumania. Ini mungkin sama seperti Irawan Soejono yang diabadikan sebagai nama jalan di kota Amsterdam tapi tiada dikenal di Indonesia.

TAG

nazi perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Kurt Waldheim Mantan Nazi jadi Sekjen PBB Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Asal-Usul Jeriken Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II) Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine