Masuk Daftar
My Getplus

Nasib Tragis Sang Environmentalist

Perjuangan seorang penduduk pedalaman hutan Amazon dalam mempertahankan hutannya. Berhasil walau berakhir tragis.

Oleh: M.F. Mukthi | 31 Jul 2019
Chico Mendes (Foto: Miranda Smith/wikimedia commons)

DEMI merayakan natal bersama keluarganya, Francisco Alves Mendes Filho atau biasa disapa Chico Mendes pulang ke rumahnya di Xapuri, Acre, Brazil pada Oktober 1988. Aktivitasnya keliling Brazil mengkampanyekan kelestarian hutan untuk sesaat dia hentikan dulu.

Namun, ada yang berbeda dari perayaan natal tahun 1988 itu. Saat pesta ulangtahunnya yang ke-44, 10 hari sebelum natal, Mendes melontarkan kalimat aneh. “Saya menganggap saya tak akan hidup sampai natal,” ujarnya sebagaimana dikutip Andrew Revkin dalam The Burning Season: The Murder of Chico Mendes and the Fight for the Amazon Rain Forest.

Mendes, pria kelahiran Xapuri pada 15 Desember 1944, merupakan penduduk pedalaman belantara Amazon yang getol mengkampanyekan pelestarian hutannya. Hutan hujan terluas di dunia itu merupakan rumah bagi ribuan jenis tanaman dan hewan. “Dan di antara pohon paling ajaib dari semua adalah seringueiras –pohon karet. Kemampuan mereka menghasilkan lateks secara teratur menjadikannya setara dengan pabrik kecil secara biologis” kata Alon Tal dalam tulisannya di buku Speaking of Earth: Environmental of Speeches that Moved the World.

Advertising
Advertising

Sebagaimana masyarakat di tempat tinggalnya, leluhur Mendes hidup dari menyadap karet alam. “Selama hampir dua abad mereka telah mengekstraksi karet dari pohon-pohon yang tumbuh di sana, untuk memasok nafsu konsumsi karet dunia yang berkembang. Hutan bagi mereka adalah tambang bahan mentah amat berharga,” sambung Tal.

Sejak usia sembilan tahun, Mendes sudah diajak menyadap karet oleh ayahnya. Aktivitas itu membuatnya belajar banyak hal tentang karet, mulai dari memilih pohon hingga proses pengasapan sebelum lateks bisa dijual. Pada usia 11 tahun, Mendes bekerja penuh waktu sebagai menyadap karet. Kesehariannya di hutan membuatnya mengenal seluk-beluk hutan di sekitarnya pada usia 18 tahun.

Namun, saat itu Mendes belum pernah mengenal dunia di luar hutan apalagi membaca koran. Maka sama seperti masyarakatnya, keluarganya tetap tak tahu bagaimana cara mengatasi utang yang terus menumpuk kepada baron-baron setempat akibat jatuhnya harga karet.

Karet merupakan sandaran hidup tiap keluarga dan tumpuan utama perekenomian masyarakat. Begitu pentingnya arti karet bagi membuat mereka pantang merusak hutan.

Keharmonisan hubungan manusia-alam itu akhirnya terusik oleh kedatangan perusahaan peternakan (ranch). Banyak pengusaha peternakan membabat hutan untuk dijadikan padang penggembalaan hewan ternak mereka setelah pemerintah berkeinginan menyediakan daging terjangkau bagi rakyatnya. Di tempat tinggal Mendes, peternakan Fazenda Parana milik Darly Alves da Silva menjadi pemain kunci yang merusak keharmonisan masyarakat dan hutan mereka.

“Tahun 1974 mereka membeli sebidang tanah pertama di Xapuri. Darli menjual tanah pertaniannya seluas 250 hektar di Umuarana dan membeli tanah seluas 2.100 hektar di sepanjang kiri-kanan jalan menurun yang membelok ke Xapuri. Di sinilah keluarga itu menciptakan peternakan Fazenda Parana. Padahal daerah itu tadinya adalah sebuah hutan perawan di dalam wilayah suatu seingalistas. Dengan membangun jalan, Lembah Acre, di antara pertengahan 1970-an dan akhir 1980-an telah berubah dari hutan menjadi padang rumput. Dalam proses itu semua, keluarga ini dikenal dengan reputasi pemakai cara kekerasan yang luar biasa,” kata Chico Mendes dalam tulisannya di buku Berjuang Menyelamatkan Hutan: Sebuah Kata Hati.

Konflik antara masyarakat dan peternakan terus bermunculan. Dalam suasana itulah Mendes tumbuh tanpa tahu apapun cara untuk menyelesaikannya. Namun, pertemuannya dengan Euclides Fernando Tavora, perwira AD Brazil yang melarikan diri setelah terlibat dalam pemborontakan gagal pimpinan Luis Carlos Prestes pada 1934, mengubah semuanya.

Tavora menjadikan Mendes anak didik, mengajarkan membaca, memperkenalkan koran, dan mengajaknya mendengarkan siaran radio. “Dia tak membuang waktu untuk memperkenalkannya pada dasar-dasar sosialis, prinsip-prinsip populis,” kata Alon Tal.

Dunia di luar bukan hal asing lagi bagi Mendes sejak itu. Penyelesaian konflik dengan peternakan pun menjadi obsesi Mendes. Untuk itu, Mendes mengajarkan para pemuda di sekitarnya membaca dan menulis. “Pada 1975, Chico mendengar bahwa serikat buruh telah masuk wilayah Acre. Dengan kesadaran kelas yang baru didapat dan hasrat mudanya, ia secara alami cenderung untuk bergabung dengan mereka.”

Seiring menguatnya kesadaran teman-temannya akan perlakuan tak adil yang diterima, Mendes mendirikan Rural Workers’ Union dan Rubber Tappers’ Union. Pada 1976, Serikat membuat aksi “standoff”. Sekira 70 orang, lelaki dan perempuan, berjalan menuju hutan untuk menggagalkan penebangan pohon oleh ratusan pekerja yang didukung beberapa pria bersenjata. Aksi itu mendapat dukungan para penyadap karet. Mereka bergandengan tangan membentuk dinding manusia yang menghalangi para penebang pohon (dinamakan empate).

“Itu adalah latihan spontan dalam perlawanan sipil, tetapi itu mengatur nada untuk aksi Mendes berikutnya: tanpa kekerasan, jauh lebih agresif dibanding protes sopan. Para demonstran hanya bertekad untuk menghentikan penebangan,” tulis Alon.

Mendes kian aktif mengorganisir dukungan lokal Partai Buruh dalam menyuarakan National Campaign for the Defence and Development of the Amazon. Mereka lalu menuntut pemerintah membuat hutan “extractive reserve” untuk mendukung pelestarian alam sekaligus sumber mata pencarian penduduk.

Untuk meluaskan dukungan, Mendes menginisiasi pertemuan nasional penyadap karet di Brasilia pada Oktober 1985. Para penyadap karet dari berbagai pelosok negeri menghadiri pertemuan perdana itu, yang mendiskusikan ancaman lingkungan tempat tinggal mereka dari pembangunan jalan dan perluasan peternakan, serta deforestasi. 

Pertemuan itu berhasil menarik perhatian gerakan pecinta lingkungan internasional. Stephan Schwartzman, pecinta lingkungan asal AS, hadir dalam pertemuan itu bersama antropolog Mary Allegretti dan Tony Gross (perwakilan Oxfam). Menurut Margaret E Keck dalam “Social Equity and Environmental Politics in Brazil: Lssons from the Rubber Tappers of Acre”, “pertemuan ini juga menghasilkan pembentukan Dewan Penyadap Karet Nasional dan mulai merumuskan proposal extractive reserves di Amazon. Hutan cadangan ini, yang dibuat di wilayah publik, akan menjamin penggunaan tanah penyadap karet.”

Proposal extractive reserves itu lalu dibawa Serikat ke Sekretaris Lingkungan Hidup Brazil Paulo Nogueira Neto dan dibawa Schwartzman ke Washington. Mendes diundang Environemental Defense Fund and the National Wildlife Federation ke Washington untuk berbicara di depan Kongres AS, World Bank (WB), dan pertemuan tahunan Inter-American Development Bank (IDB) pada Maret 1987. WB dan IDB menyetujui pendanaan extractive reserves. Pemerintah Brazil pun membentuk instrumen hukum bagi pembentukan hutan cadangan itu.

“Pada 30 Juni 1988, utusan lokal dari Ministry for Land Reform and Development (MIRAD) menjejakkan kakinya sambil berkata bahwa perkebunan karet Cachoeira tidak akan pernah diambil alih. Hanya 30 hari sesudah itu, suatu perintah untuk pembelian Cachoeira dikeluarkan. Sejak itu, hutan cadangan baru dinyatakan berdiri. Kemudian hutan cadangan lainnya di Sao Luis do Remanso dinyatakan berdiri. Kesemuanya berjumlah 40.000 hektar (150 mil persegi),” kata Mendes.

Pada Juli 1987, PBB menganugerahi Mendes Global 500 Award, penghargaan bidang lingkungan yang diberikan kepada aktivis akar-rumput, organisasi lingkungan, dan tokoh masyarakat atas kontribusi mereka terhadap perlindungan lingkungan.

Keberhasilan itu membuat Mendes dan rekan penyadap karet masuk dalam bidikan para tuan tanah pengusaha peternakan. Untuk menghancurkan gerakan yang menghalangi kepentingan bisnis mereka, para pengusaha memanfaatkan aparat keamanan dan aparat hukum Brazil yang korup. Perlawanan mereka makin gencar setelah berdirinya União Democrática Rural (UDR).

“Di sini di Xapuri, kehadiran UDR mulai terasa. Sejak April 1988, ketika organisasi itu secara formal didirikan, jumlah penembak bayaran di Xapuri bertambah. Sejak itu pula jumlah pembunuhan dan usaha untuk itu meningkat. Orang-orang bersenjata itu dalam kenyataannya adalah sayap militer dari UDR, dan kami adalah target mereka. Tantangan besar lainnya ialah memobilisasi pendapat umum. Dengan begitu kami dapat semakin kuat mendorong pemerintah untuk mengambil alih lebih banyak hutan,” sambung Mendes.

Mendes makin sering mendapat ancaman pembunuhan. Pada 29 November 1988, dia mengirim telegram berisi informasi adanya rapat perencanaan pembunuhan dirinya di Peternakan Fazenda Parana ke sejumlah pemangku kebijakan. Namun, pengaduan itu tak ditindaklanjuti.

Desa tempat tinggal Mendes juga terus diawasi para pria bersenjata kaki-tangan Darly sejak beberapa bulan sebelum ulangtahun Mendes ke-44. Mereka menghilang begitu pesta itu berjalan lancar dengan banyak tamu. Masyarakat menganggap ketiadaan kaki-tangan Darly di sekitar desa adalah pertanda buruk.

Ketika Mendes pulang untuk merayakan natal 1988, para pria bersenjata sudah tak tampak kendati sebetulnya tetap mengawasinya. Kamis 22 Desember malam, Mendes menghabiskan waktu dengan bermain domino bersama beberapa pengawalnya di dapur. Saat hendak menyiram teras belakang, tulis Alon Tal, “Mendes tidak pernah mencapai teras itu. Serentetan tembakan meletus yang membuatnya kembali ke dalam rumah dengan darah berkucuran.” Mendes tewas.

Kematiannya menimbulkan kemarahan, terutama di kalangan para penyadap karet. Sementara, penggundulan hutan Amazon semakin menjadi. “Sembilan bulan setelah pembunuhan Chico Mendes, empate masih berjalan baik,” kata Revkin.

Namun, korupnya aparat keamanan Brazil membuat pembunuhan Mendes tak pernah benar-benar diusut. Penyerahan diri Darci Alves, anak Darly yang mengaku jadi dalang pembunuhan itu, dan bahkan Darly tak banyak membantu pengungkapan kasus itu. “Chico Mendes merupakan aktivis pedesaan ke-90 yang dibunuh di Brazil tahun itu,” kata Anthony L. Hall dalam bukunya Sustaining Amazonia: Grassroots Action for Productive Conservation.

TAG

Lingkungan Hutan

ARTIKEL TERKAIT

Bumi Pertiwi Hampir Mati Surga Burung Langka Terancam Tambang Emas Kebijakan yang Mengabaikan Lingkungan Pemujaan di Bukit Tandus Setetes Air di Tanah Gersang Yang Terkubur Amukan Merapi Tanaman untuk Penghijauan dari Relief Candi Mempercantik Candi-candi di Yogyakarta dengan Semak Berbunga Riwayat Pertapaan di Lereng Gunung Ungaran Singgah di Rumah Dewa Siwa