Masuk Daftar
My Getplus

Mustafa Kemal Ataturk dan Pergerakan Indonesia

Gambar Mustafa Kemal Ataturk menghiasi dinding-dinding rumah kaum pergerakan Indonesia. Termasuk rumah orang tua A.H. Nasution.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 18 Okt 2021
Mustafa Kemal Ataturk (memegang topi putih) dalam salah satu tur nasional pada 1925. (Dok. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Turki).

Pemerintah Turki memenuhi permintaan Indonesia untuk memberikan nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama Proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia: Ahmet Sukarno, nama yang dikenal di Turki.

Sebagai balasannya, Indonesia juga memberikan nama jalan untuk tokoh Turki. Pemerintah Turki yang menentukan siapakah tokoh yang akan menjadi nama jalan tersebut di Jakarta. Nama yang muncul adalah Mustafa Kemal Ataturk. Namun, sebagian kalangan keberatan Bapak Bangsa Turki itu menjadi nama jalan karena dianggap sebagai tokoh sekuler.

Dalam sejarah Indonesia, Ataturk sangat terkenal di kalangan kaum pergerakan, seperti diungkap Roeslan Abdulgani (1912–2005), mantan menteri luar negeri dan menteri penerangan.

Advertising
Advertising

“Terus terang, bagi generasi saya, nama Turki mempunyai arti tertentu, yaitu salah satu sumber kebangkitan nasionalisme Indonesia,” tulis Roeslan dalam “Hubungan Indonesia-Turki”, termuat dalam kumpulan karangan, Indonesia Menatap Masa Depan.

Baca juga: Kisah Aneh tentang Turki Usmani di Nusantara

Roeslan menyebutkan bahwa kebangkitan nasional Indonesia pada 20 Mei 1908, tidak hanya terpengaruh oleh kejadian-kejadian di Filipina pada 1898 dan Jepang pada 1905, tetapi juga oleh Gerakan Turki Muda, yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan memuncak pada 1908.

“Saya masih ingat, gambar Mustafa Kemal Ataturk ikut menghiasai dinding-dinding rumah orang pergerakan, karena tertarik oleh tokoh tersebut, berkat pendidikan politik yang digerakkan oleh Bung Karno, Bung Hatta, Dr. Soetomo, dan lain-lain. Ini terjadi sekitar tahun 1930-an,” kata Roeslan.

Salah satunya di dinding rumah orang tua Abdul Haris Nasution (1918–2000) yang kelak menjadi tokoh militer Indonesia. Ayahnya adalah pedagang yang bergabung dengan Sarekat Islam. Kotanopan, tempat lahir Nasution, adalah desa pertama di seluruh Tapanuli yang mendirikan ranting partai politik, yaitu Sarekat Islam kemudian Partindo. Pergerakan nasional dengan semangat Islam yang kuat sangat terasa di sana.

Baca juga: Pasukan Turki dalam Serangan Aceh ke Kerajaan Batak dan Aru

“Kehebatan beberapa tokoh internasional juga mempengaruhi jiwa saya. Misalnya Kemal Ataturk, pemimpin Turki,” kata Nasution dalam majalah Tempo, 17 Desember 1988.

Pada 1925, kata Nasution, nama Ataturk sangat beken. Ia memimpin negeri dan bangsanya ke arah kemajuan. “Saya ingat betul, gambarnya, besar-besar, banyak dipasang orang. Sebab, penduduk Kotanopan kan mayoritas Islam, tentu juga tertarik pada perkembangan di negeri-negeri Islam seperti Turki,” kata Nasution.

Ayah Nasution membeli sebuah gambar Ataturk yang banyak dijual di pasar. Gambar itu besar. “Bagi saya yang ketika itu baru berusia tujuh tahun, gambar itu terasa besar sekali. Besar dan bagus. Pengaruh suasana politik seperti itu tentu saja juga berkesan pada pribadi saya. Begitu pula suasana pergerakan nasional, yang juga bergema sampai di kampung saya,” kata Nasution.

Baca juga: Peter Carey: Tak Ada Bantuan Turki untuk Diponegoro

Tidak hanya memasang gambar Ataturk, menurut Roeslan, generasi muda pada waktu itu dianjurkan oleh generasi tua untuk membaca riwayat hidup Mustafa Kemal Ataturk, Gerakan Tanzimat, Gerakan Turki Muda, serta membaca karya-karya Halide Edip Hanum (tokoh perempuan pergerakan Turki), Tekin Alp (tokoh nasionalis Turki), dan lain-lain. Semua itu untuk dijadikan studi perbandingan, contoh, dan inspirasi bagi nasionalisme Indonesia. Suatu cara pendidikan politik yang bermanfaat. Itulah sebabnya nama Turki sebagai salah satu sumber contoh dan inspirasi bagi kebangkitan nasionalisme Indonesia tidak akan hilang dari ingatan generasi pergerakan.

“Tetapi tidak karena itu saja nama Turki mengesankan kita,” kata Roeslan. “Nama Turki, dan khususnya nama Mustafa Kemal Ataturk, terpaku dalam ingatan kita karena usaha modernisasi yang sangat prinsipal dan berani.”

Baca juga: Kesultanan Aceh Pernah Minta Jadi Vasal Turki Usmani

Roeslan menyebut bahwa di samping melawan agresi Barat, Turki Muda dan Turki Baru juga berusaha mengejar keterbelakangannya dari dunia Barat melalui revolusi nasional. Dalam membangun negara Turki Baru melalui revolusi nasional, Ataturk menggunakan enam prinsip, yaitu Republikeinisme (Cumburiyetci), Nasionalisme (Milliyetci), Populisme atau Kerakyatan (Kalkci), Etatisme (Devletci), Sekularisme (Laik), dan Revolusionerisme (Inkilapci). Prinsip-prinsip ini menghendaki adanya negara republik yang nasionalistis dan demokratis kerakyatan, di mana negara mempunyai posisi menentukan dalam kehidupan ekonomi (etatisme) dan gerakan Islam yang kolot di Turki pada waktu itu harus dipisahkan dari kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan harus dipegang oleh kaum ahli dalam bidang politik, sosial, ekonomi, pertahanan, dan sebagainya.

“Inilah prinsip ‘sekularisme’ Mustafa Kemal Ataturk, yang ia beri nama sebagai Laik. Jadi, ‘sekularisme’ di sini bukan dalam arti ‘ateis’ atau ‘antiagama’ seperti yang kita kenal dalam jargon Indonesia, melainkan Laik adalah suatu istilah untuk teori politik pemerintahan, sebagai lawannya teori pemerintahan theocracy, yaitu sistem pemerintahan di tangan kaum padri dan kaum ahli agama saja,” kata Roeslan.

Baca juga: Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani?

Menurut Roeslan, Ataturk dihinggapi oleh kemauan keras jangan sampai ketinggalan dengan Barat. Apalagi jangan sampai kalah dengan Barat. Ia ingin mengejar keterbelakangan Turki dari dunia Barat secara cepat dan dinamis, kalau bisa dalam satu generasi. Dalam tempo tinggi itulah, ia menjebol sisa-sisa feodalisme, mengikis habis kolotisme agama Islam, mengadakan reformasi agama, mengadakan emansipasi kaum wanita, mengubah bahasa dan tulisan Arab menjadi Turki, membangun industri modern, menyebarluaskan ilmu pengetahuan Barat, serta memasukkan cara berpikir dan bertindak efisien dan rasional.

“Pokoknya, Mustafa Kemal Ataturk seakan-akan menggerakkan renaisans nasional, revolusi Prancis, revolusi industri, dan revolusi pemerintahan dan agama dalam satu generasi,” kata Roeslan. “Menurut ahli sejarah, Prof. Toynbee, apa yang digerakkan oleh Mustafa Kemal Ataturk adalah a summing up of many revolutions in one generation.”

Baca juga: Misteri Seorang Turki dalam Perang Saudara di Jawa Abad 18

TAG

turki ah nasution roeslan abdulgani

ARTIKEL TERKAIT

Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Empat Bangunan Bersejarah Turki yang Dihancurkan Gempa Lima Gempa Terdahsyat di Turki Darah Turki Perdana Menteri Inggris Boris Johnson Aceh, Turki, dan Rusia Baklava, Kudapan Pencuci Mulut Khas Turki Harem, antara Fantasi Erotis dan Kenyataan Relasi Nusantara dengan Persia dan Turki Benarkah Kesultanan Demak Bagian dari Turki Usmani? Kesultanan Aceh Pernah Minta Jadi Vasal Turki Usmani