Masuk Daftar
My Getplus

Multatuli dalam Bingkai Kritik Pascakolonial

Saling-silang tafsir pascakolonial ihwal Multatuli di Belanda. Tak hanya melekatkan pada konteks kolonial tapi juga atas situasi kekinian yang belum banyak beranjak.

Oleh: Artien Utrecht | 02 Mar 2023
Pengunjung Museum Multatuli di Lebak, Banten. (Dok. Museum Multatuli).

Perspektif pascakolonial sekarang bermunculan dalam kajian kesusastraan Belanda. Belakangan terbit De postkoloniale spiegel. De Indische letteren herlezen (cermin pasca kolonial: membaca kembali sastra Indisch), di bawah redaksi Rick Honings, Coen van ’t Veer dan Jacqueline Bel (2021), De nieuwe koloniale leeslijst, (Daftar baru bacaan kolonial), 2021 redaksi Rasit Elibol dan Het andere postkoloniale oog (Mata pascakolonial lain), 2020 redaksi Michiel van Kempen. Tapi juga ada kritik. Alfred Birney berpendapat bahwa banyak penulis dalam De postkoloniale spiegel terlalu meniti jejak-jejak Edward Said –bukunya Orientalism (1978) dianggap sebagai peletak dasar pendekatan pascakolonial. Sedangkan Tom Phijffer, dalam artikelnya yang terbit di majalah Parelduiker nomer 2/2022, antara lain berpendapat bahwa orang-orang terlalu kritis terhadap Rob Nieuwenhuys, tokoh paling berpengaruh dalam kajian sastra Hindia Belanda. Dalam nomor terdahulu, Jacqueline Bel bereaksi terhadap pendapat Phijffer. Dalam buku De postkkoloniale spiegel, Bel menulis tentang Multatuli.

Tidak sampai setahun sebelum wabah Covid-19 berkecamuk, di Lebak berlangsung acara tahunan Festival Seni Multatuli. Dalam acara festival ini tertera lomba film dokumenter dan lomba menulis esai. Lomba terakhir ini menghasilkan kumpulan 15 esai pemenang ditulis oleh ilmuwan, mahasiswa dan cendekiawan lain dari pelbagai universitas dan instansi. Begitu diterbitkan, kumpulan esai ini disebar ke pelbagai perpustakaan di seantero Indonesia.

Baca juga: Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi

Advertising
Advertising

Lomba menulis esai yang mengambil tema “Membaca ulang Max Havelaar” itu diikuti oleh paling sedikit 131 orang. “Di antaranya terdapat tulisan mengenai citra kalangan bumiputra dalam Max Havelaar, masalah gender, perbandingan Max Havelaar dengan karya sastra Indonesia dan renungan tentang film Max Havelaar garapan sutradara Belanda Fons Rademakers,” demikian tulis Arjan Onderdenwijngaard dalam buku Multatuli leeft in Lebak (Multatuli hidup di Lebak). Di antara esai yang masuk juga terdapat tinjauan pascakolonial tentang Multatuli yang di Indonesia juga dianggap sebagai penulis terpenting dari sejarah kolonialisme Belanda.

Tom Phijffer yang tak menyukai pendekatan pascakolonial, menganggapnya cuma gejala mode yang bahkan berbahaya. Menurutnya pendekatan pascakolonial melakukan penulisan kembali sejarah berdasarkan wawasan masa kini, dan dengan begitu mengabaikan pengalaman sejarah. Dia mencermati perkembangan pascakolonial dengan memusatkan perhatian pada Multatuli.

Sikap anti pascakolonialisme yang begitu mendadak sontak membuat saya tergelitik dan juga ingin tahu, saya mencari-cari logika dalam pemikirannya. Dari penafsiran pascakolonial yang mana penolakan Phijffer itu berasal? Menurut saya “penulisan kembali sejarah” dan “mengabaikan pengalaman sejarah” bukan merupakan cakupan pendekatan pascakolonial. Istilah-istilah ini lebih mengingatkan saya pada pembelokan sejarah seperti yang dilakukan oleh pelbagai rezim otoriter. Di bawah rezim seperti ini penulisan sejarah selalu “disesuaikan” dengan kepentingan politik mereka, sehingga peristiwa bersejarah secara drastis dicabut dari konteksnya, episode-episode atau aktor-aktor tertentu dihapus atau fakta-fakta tertentu diputarbalik.

Menurut saya intisari pendekatan pascakolonial adalah meninjau sejarah dari pelbagai sudut pandang, khususnya sudut pandang mereka yang sampai sekarang tidak pernah didengar dalam sejarah kolonialisme. Karenanya, pendekatan ini menyangkut soal pelibatan dalam narasi sejarah suara kalangan lain yang selalu tersingkirkan. Kalangan lain itu pertama-tama meliputi kelompok luas orang yang pernah mengalami penjajahan. Dalam istilah pendekatan pascakolonial disebut soal menantang wacana dominan barat yang imperialistis dan yang ditandai oleh pemikiran supremasi kulit putih rasistis untuk diganti menjadi wacana baru yang lebih sesuai dengan kenyataan yang majemuk dan kompleks. Pendekatan seperti itu menurut saya tidak bisa disamakan dengan penulisan kembali sejarah atau pengabaian pengetahuan sejarah.

Baca juga: 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia

Menurut Phijffer mereka yang menerapkan pendekatan pascakolonial tidak peduli pada konteks sejarah yang mereka teliti. Dia menulis begini: “Penelitian sejarah harus taat pada kenyataan dan peristiwa harus dilihat dan dipahami dalam konteksnya, tidak menyederhanakannya”. Dan dengan menunjuk pada kalimat dalam memoar sejarawan mendiang Cees Fasseur, bahwa “sejarawan seharusnya tidak menilai masa lampau menggunakan ukuran masa kini sebagai benar atau salah”.

Anggapan semacam ini cukup mengejutkan saya. Sebab, menurut saya, seorang peneliti pascakolonial tidak akan dapat menguraikan gagasannya tanpa menempatkannya ke dalam konteks sejarah kolonial itu sendiri. Tapi yang bagi Phijffer merupakan racun tampaknya adalah cara penyebarluasan posisi “ideologis” pasca-kolonialisme. Ternyata dia mendapati bahwa dalam kritik pasca-kolonial (Belanda) sudut pandang paling dasar terlalu banyak dikaitkan dengan kaidah benar atau salah zaman sekarang: benar atau salah dalam debat tentang rasisme, benar atau salah dalam soal gender, benar atau salah dalam debat tentang masa lampau kolonial.

Dalam hal penempatan, pendekatan pascakolonial sudah jelas-jelas: melihat permasalahan menggunakan lensa yang anti-kolonial dan anti-rasistis, dan selalu ingin memerangi penindasan dan ketimpangan yang dibawa oleh kolonialisme. Kemajemukan yang ingin dicapai menjadi bukan hanya sekedar menyandingkan pelbagai sudut pandang, tetapi juga membawa pelbagai sudut pandang yang cocok dalam lensa pasca-kolonial.[1] Pada saat yang sama tidaklah adil untuk, bersamaan dengan pendekatan pascakolonial, melakukan tudingan terhadap mereka yang tidak setuju dengan analisa ini, sesuatu yang sayangnya secara umum (saya tidak hanya berbicara tentang sumber-sumber yang dirujuk oleh Phijffer) terlalu sering terjadi sehingga meniadakan kesempatan untuk melakukan tukar pikiran yang bermanfaat. Hasrat untuk menghakimi juga bisa memperkeruh suasana yang seharusnya lebih mendorong saling pengertian tentang pendekatan pascakolonial.

Kembali ke Multatuli. Walau Phijffer memusatkan perhatian pada tokoh ini, dia tidak secara khusus dan semata-mata hanya bereaksi terhadap uraian tentang Multatuli seperti dikemukakan oleh Jacqueline Bel dalam buku De postkoloniale spiegel (cermin pascakolonial), walaupun dia sering merujuk buku yang berisi kumpulan tulisan ini. Bel menyampaikan uraian yang baik dan berimbang tentang Multatuli dalam konteks zamannya, menyampaikan beberapa catatan yang bersifat pascakolonial untuk kemudian berkesimpulan bahwa Max Havelaar “tetap tegar, sebagai lontaran kritik terhadap sistem kolonial, tetapi juga sebagai roman yang menggemakan seruan keadilan dan kritik terhadap rasisme, bahkan pada zaman sekarang tatkala proyek kolonialisme itu sudah berlalu 75 tahun silam”.[2] Penolakan Phijffer antara lain terarah pada catatan Bel tentang sejarah Saïdjah dan Adinda, yang menurut Bel bernada orientalistis, artinya cerita ini meromantiskan dan mengidealkan “sisi lain dunia”.[3]

Baca juga: Multatuli di Antara Dua Kutub

Sekarang tentang bagaimana Multatuli dan Max Havelaar dihayati di Indonesia. Secara umum orang tahu bahwa Max Havelaar bermakna besar bagi perlawanan anti-kolonialisme Indonesia: buku ini ternyata merupakan cipratan api dan yang pertama-tama kena adalah penguasa kolonial, untuk selanjutnya menyulut gerakan anti-kolonial melalui kesempatan pendidikan kepada kalangan elite warga terjajah seperti ditawarkan oleh beleid kolonial baru yang disebut politik etis. Multatuli menjadi sumber inspirasi penting bagi para tokoh gerakan kemerdekaan yang kemudian muncul. Berkat tokoh-tokoh terkenal seperti Kartini dan Tirto Adhi Soerjo, Multatuli banyak mendapat pujian dan dianggap sebagai tokoh yang sangat progresif untuk zamannya.          

Menyusul masa relatif tenang setelah proklamasi kemerdekaan, perhatian terhadap Multatuli mulai dirangsang dengan terbitnya, pada 1972, terjemahan Max Havelaar oleh H.B. Jassin. Kemudian muncul berbagai macam peristiwa budaya seputar Multatuli, tinjauan di media dan terbit pula pelbagai karya sastra, antara lain tulisan Pramoedya Ananta Toer dan puisi-puisi W.S. Rendra, yang menginspirasi para penulis dan akademisi sastra kontemporer Indonesia untuk melakukan kilas balik kritis terhadap sejarah kolonial dan pascakolonial. Sejak itu Multatuli terus mendapat perhatian publik Indonesia, juga setelah peralihan abad 20 ke abad 21, dan kembali mencapai puncaknya lima tahun belakangan.

Kembali bangkitnya perhatian pada Multatuli ini dimulai dengan inisiatif luar biasa seorang guru SMP di kampung Ciseel, desa Sobang, kabupaten Lebak. Guru itu, Ubaidilah Muchtar, membentuk taman bacaan untuk murid-muridnya, bernama Taman Baca Multatuli. Peristiwa penting dalam perkembangan ini terjadi lima tahun kemudian dengan dibukanya, pada tahun 2018, Museum Multatuli di Rangkasbitung, ibukota Lebak. Siapakah kepala museum? Siapa lagi kalau bukan Ubaidillah Muchtar, semula guru SMA penggagas Taman Baca Multatuli. Lebih kuat dari 40 tahun sebelumnya, tatkala Soeharto masih berkuasa, berkat inisiatif ini muncul gelombang membaca dan diskusi, tidak hanya di sekelompok kecil sejarawan atau pemerhati sastra, tetapi di kalangan khalayak pembaca Indonesia. Menurut Arjan Onderdenwijngaard, museum Multatuli tampil sebagai “museum anti-kolonial pertama” di Indonesia, yang ramai dikunjungi anak-anak sekolah, pejabat tinggi, wisatawan luar negeri, bahkan satuan-satuan tentara, sedangkan pada pendopo disediakan ruangan bagi aktivitas lokal seperti ceramah dan seminar.[4]

Baca juga: 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli

Kritik pascakolonial adalah keperluan mendesak karena kritik ini mempermasalahkan hubungan kolonialisme dan pemikirannya yang didasarkan pada rasisme dan ketimpangan. Bonnie Triyana, pemimpin redaksi majalah online Historia.id, pengambil inisiatif Museum Multatuli, menekankan bahwa dengan dua aktivitas itu dia ingin memberi sumbangan bagi upaya mendobrak gambaran hitam putih dalam sejarah kolonial resmi Indonesia. Dalam narasi yang disederhanakan menjadi hanya pihak baik dan buruk ini yang  dipentingkan cuma kepahlawanan para pejuang kemerdekaan dalam menghadapi Belanda yang selalu digambarkan kejam.[5] Dalam narasi sejarah seperti ini tidak ada lagi ruang bagi peran orang-orang Eropa tertentu dalam perjuangan anti kolonial dan penindasan kaum bangsawan lokal juga menjadi tidak kentara.

Pendekatan pascakolonial juga mencurahkan perhatian pada hubungan-hubungan yang tetap timpang di negara-negara bekas jajahan. Dalam bukunya Cultuur en imperialisme, cendekiawan Palestina Edward Said menulis tentang apa yang disebutnya cacat yang disandang oleh (apa yang disebut) tradisi: yang “tidak hanya berurusan dengan manipulator bumi putra, yang berbuat apa pun untuk menyembunyikan kesalahan, korupsi dan tirani masa kini, tetapi juga harus berurusan dengan konteks imperial agresif yang melahirkan mereka dan yang bagi mereka juga penting”. Dan: “Walaupun sebagian besar wilayah jajahan sudah berhasil memperoleh kemerdekaan kembali, masih banyak pendapat imperialistis yang tetap bercokol, padahal mereka itu lahir dari penguasaan kolonial”. Dengan demikian Said menggarisbawahi kemampuan bertahan hidup yang kuat praktek-praktek pengisapan dan penindasan terhadap rakyat negara-negara yang pernah mengalami penjajahan.[6] Praktik-praktik seperti ini menunjuk pada begitu mendalamnya pemikiran kolonial (imperial).

Baca juga: Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi

Di Lebak juga tetap berlangsung ketimpangan kekuasaan, dengan akibat kemiskinan yang tidak juga berakhir. Di sini pemerasan rakyat oleh politik setempat dan keluarga kaya, antara lain keturunan bangsawan lama, masih merupakan kebiasaan sehari-hari; pada saat yang sama, karena keluarga ini saling bersaing mereka tetap bisa menghimpun harta kekayaan pada pelbagai proyek infrastruktur atau lainnya.[7] Di sinilah manfaat besar kajian pascakolonial untuk masa kini: jikalau kita menghendaki perubahan menuju perbaikan, maka harus bisa diungkap asal-usul dan wujud pemikiran kolonial yang begitu mengakar, tidak hanya di Belanda melainkan juga di Indonesia zaman sekarang.

Dibandingkan dengan benua-benua lain, dan juga dengan negara-negara lain seperti India, wilayah Asia Tenggara relatif tenang dalam soal kritik pascakolonial. Jarang terdengarnya suara-suara pascakolonial dari Asia Tenggara ini dijelaskan oleh Chua Beng Huat, pakar sosiologi Singapura, sebagian dari kenyataan bahwa dekolonisasi resmi di wilayah ini diikuti oleh konflik berdarah sebagai akibat geopolitik perang dingin. Berkurangnya intelektual kritis berorientasi kiri juga merupakan akibatnya, demikian pula bangkitnya penguasa otoriter, melalui pemilu atau tidak, dengan mengandalkan kalangan teknokrat yang sampai batas-batas tertentu bergantung pada kekuasaan militer. Menurut Hilmar Farid, Indonesia, dengan perkecualian segelintir penulis pascakolonial, cocok dalam analisa seperti ini.[8] Tapi untungnya sekarang muncul perubahan. Dengan susah payah tapi berani mulai tampil sejarawan, penulis dan seniman muda –sebagian besar di luar lembaga resmi– merayap keluar dari kungkungan penindasan intelektual penguasa yang menyesakkan. 

Seruan Phijffers kepada ilmuwan Indonesia supaya meneliti sejarah kolonialisme dari perspektif sendiri saya sambut hangat. Sebaiknya dia sendiri juga mencari tahu apa yang sudah terjadi di bidang ini, dan dari sini, sejauh dikehendaki oleh para peneliti, menghasilkan sumbangan yang penuh arti.

Naskah ini dimuat pertama kali di majalah De Parelduiker No. 4 tahun 2022. Alih bahasa oleh Joss Wibisono.

Sumber:

  1. “Het enige verhaal” (satu-satunya cerita) oleh Sinan Çankaya adalah esai yang memperjelas masalah kompleksitas kemajemukan, De Groene Amsterdammer, 11 Agustus 2022.
  2. Jacqueline Bel, “Klewangwettende gezangen en knevelarij, Multatuli”, De postkoloniale spiegel, halaman 48.
  3. Idem, hlm. 39.
  4. Multatuli leeft in Lebak, hlm. 157-159, 175 dan 198-199.
  5. Artien Utrecht, “Witte maskers” dalam De Groene Amsterdammer, 13 Agustus 2020.
  6. Edward W. Said, Cultuur en imperialisme (Atlas Contact, 1994), halaman 45. Said menunjuk pada kekuatan tradisi dalam melakukan mobilisasi, contoh-contoh yang disebutnya antara lain négritude dan Islam. Menurut pendapat saya, hubungan-hubungan feodal dan patronasi serta (hiper)nasionalisme juga masuk dalam struktur dan kondisi seperti ini.
  7. Multatuli leeft in Lebak, hl. 212-216.
  8. Chua Beng Huat dan Hilmar Farid dalam konferensi internasional, "Post Colonial Perspectives from the Global South, Session Southeast Asian Perspectives", Goethe Institut, 24-25 Januari 2019. Hilmar Farid adalah sejarawan dan sejak 2015 menjabat Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.

TAG

multatuli

ARTIKEL TERKAIT

Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi Multatuli dan Freemason Multatuli di Antara Dua Kutub Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda Melahirkan Max Havelaar di Korea 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli