Masuk Daftar
My Getplus

Multatuli di Antara Dua Kutub

Menggemparkan sejak pertama kali terbit. Melibatkan banyak perdebatan yang berpusar pada soal fakta atau fiksi.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 09 Mar 2020
Eduard Douwes Dekker, penulis Max Havelaar, memantik perdebatan panjang di Belanda dan Hindia Belanda. (Ilustrasi: Betaria Sarulina)

Douwes Dekker menulis Max Havelaar dalam kamar kecil di kota Brussel, Belgia, selama hampir dua bulan, September-November 1859. Dia menggunakan catatan dan pengalamannya sebagai bahan penulisan. Dia memperoleh keduanya setelah bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak selama tiga bulan pada 1856.

Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi penduduk yang rudin, dan hayat tokoh utama bernama Max Havelaar yang menjadi personifikasi Dekker.

Max Havelaar terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860. Dekker menggunakan Multatuli sebagai nama penulisnya. Multatuli berarti aku sudah banyak menderita.

Advertising
Advertising

Orang-orang Belanda membaca Max Havelaar. Mulai anak-anak sekolah hingga pejabat tinggi. Negeri Belanda gempar. Kemudian orang-orang bertanya tentang kebenaran isi Max Havelaar dan tokoh-tokoh di dalamnya. Mereka memperdebatkan isi Max Havelaar di sekolah, rumah, dan universitas.

“Pembaca Max Havelaar terbelah menjadi Multatulian dan Anti-Multatuli,” kata Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Rangkasbitung kepada Historia.

Multatulian meyakini Dekker alias Multatuli telah bekerja secara benar dan tepat membela rakyat Hindia Belanda. Sedangkan anti-Multatuli memandang Dekker hanya menulis sebagai wujud ambisi pribadinya demi naik ke jenjang birokrasi selanjutnya.

Nyaris Dijegal

Perdebatan tentang Max Havelaar sebenarnya telah dimulai sebelum buku ini terbit. Saat itu Dekker baru saja usai menyerahkan urusan penerbitan kepada dua rekannya :Van Hasselt dan Jacob van Lennep.

Baca juga: 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia

Van Hasselt adalah ahli hukum sekaligus bekas anggota parlemen, sedangkan Van Lennep bekerja sebagai pengacara di Belanda Utara dan pengarang amatiran. Dua orang ini memang membantu Dekker menerbitkan Max Havelaar. Tapi di belakang Dekker, mereka bersuratan. Isinya menjelek-jelekkan diri Dekker berikut karyanya.

Orang bermuka dua. Demikian sebutan Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak sekaligus pengkritik Multatuli, untuk dua nama tadi.

Van Hasselt sempat kepikiran untuk memanipulasi Max Havelaar agar tak jadi terbit. Dia ingin melakukan itu setelah membacanya sampai tuntas. Dia tahu buku ini nanti akan merepotkan Pemerintah Belanda. Dia tak bisa membantah kualitas sastrawi buku ini atau kebenaran faktual di dalamnya. Dia takut sekali pada isinya.

“Saya berpendapat bahwa buku itu harus segera dicegah penerbitannya,” tulis Van Hasselt dalam suratnya kepada Rochussen, Menteri Daerah Jajahan, 11 November 1859, seperti dikutip oleh Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka Teki

Van Hasselt bahkan bisa-bisanya menghakimi niat Dekker menerbitkan Max Havelaar sebatas cari makan saja. Dia mengipasi Rochussen agar turut memberikan nilai jelek untuk Dekker dan karyanya.

Baca juga: Lahirnya Karya Besar

Rochussen secara pribadi mengenal dan menghormati Dekker. Tapi dia setuju Max Havelaar tak seharusnya terbit. Dia menawarkan posisi enak di pemerintahan kepada Dekker asalkan bersedia mengurungkan penerbitan itu. Tapi Dekker menolaknya.

Cara penolakan Dekker unik. Dekker sengaja melempar syarat tinggi-tinggi supaya tak bisa diraih oleh Rochussen. Tekad Dekker telah bulat : mau menjadi pengarang saja. Dia tak bersedia duduk di pemerintahan lagi.

Setelah tahu Rochussen tak sanggup penuhi syarat Dekker, Van Lennep bergerak. Dia punya keinginan serupa dengan Van Hasselt : menghambat Max Havelaar terbit. Tapi rasa takutnya pada Max Havelaar tak sebesar Van Hasselt. Dia merasa pengetahuannya tentang Hindia Belanda lebih banyak daripada Dekker.

“Jika pengarang ini mengira bahwa ia lebih banyak tahu dari kita, maka ia keliru,” kata Van Lennep.

Van Lennep melakukan berbagai cara untuk melucuti kekuatan Max Havelaar. Antara lain dengan menghapus beberapa data dan kata dalam tulisan asli Dekker. Van Hasselt kurang setuju dengan cara van Lennep. Menurutnya, cara itu tak bisa menahan kekuatan Max Havelaar.

Van Lennep enggan menyerah. Dia membatasi sirkulasi Max Havelaar dengan menaikkan harga agar orang tak mampu beli. Tapi harapannya mampus. Max Havelaar tetap beredar dan dibaca banyak orang.

Buku yang Menggetarkan

Getaran Max Havelaar menjalar ke antero Belanda. Istilah ‘getaran’ berasal dari Baron van Hoevell, anggota Majelis Rendah (Parlemen Belanda) dari Partai Liberal.

Hoevell telah melihat adanya kesewenang-wenangan di daerah koloni sepuluh tahun sebelum Dekker menulis Max Havelaar. Dia menyerang sistem tanam paksa dan kebijakan turunan Partai Konservatif Belanda untuk melestarikan sistem itu. Termasuk pula pidato-pidato semu dari anggota Partai Konservatif  tentang keadaan negeri koloni.

Baca juga: Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi

Kata Partai Konservatif, “Negeri Koloni baik-baik saja.” Tapi Hoevell tak percaya itu. Dia mencoba mendiskusikan isi Max Havelaar dalam Sidang Parlemen 25 September 1860.

Hoevell bertanya, “Apakah pidato kerajaan yang nadanya menenangkan dapat menghilangkan pengaruh buku itu?”

Dalam sidang itu Duymaer van Twist, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa Dekker menjabat Asisten Residen Lebak, hadir. Dialah orangnya yang berupaya menjinakkan Dekker agar tak terlalu nafsu menyerang Raden Adipati Karta Natanegara, Bupati Lebak.

Menanggapi pertanyaan Hoevell, van Twist mengatakan tak mau membahas Max Havelaar. Baginya, masalah Dekker sudah kelar. Dia enggan menyebut nama itu lagi, bahkan mengucapkan judul bukunya pun tidak.

Sikap van Twist diikuti oleh anggota parlemen lain. Mereka meminta Hoevell jangan coba-coba memancing perdebatan soal Max Havelaar dalam sidang.

Kebenaran Multatuli

Di luar sidang parlemen, orang menyikapi Max Havelaar secara lebih terbuka. Profesor Veth, guru besar bahasa-bahasa Timur di Amsterdam dan kemudian di Leiden, membenarkan cerita Multatuli dengan penuh wibawa pada 1860.

“Orang-orang Jawa, bangsa pribumi pada umumnya, diperlakukan dengan tidak adil. Ini berlaku bagi Lebak, ini berlaku pula bagi daerah-daerah lainnya,” kata Veth seperti dikutip Gerard Termorshuizen dalam “Max Havelaar di Lebak” termuat di Kian Kemari : Indonesia dan Belanda dalam Sastra.

Profesor P.J. Veth, Guru Besar Bahasa Timur di Universitas Leiden, membenarkan cerita Multatuli dalam Max Havelaar.

Baca juga: Multatuli, Pembongkar Kejahatan atau Seorang yang Nyinyir?

Keyakinan Veth bersambungan dengan keyakinan Multatulian setelahnya, baik dari kalangan Anak Negeri maupun Eropa. Dekker dan Max Havelaar-nya beroleh tempat cukup kuat di kalangan kaum pergerakan nasional. Keduanya menjadi inspirasi perjuangan.

Sesudah Indonesia merdeka, Max Havelaar diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Yang paling terkenal adalah terjemahan H.B. Jassin, Paus Sastra Indonesia. Terjemahan itu terbit pada 1972.

"Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gugatan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat," kata Jassin menjawab pertanyaan mengapa dia bersusah-payah menerjemahkan buku berbahasa Belanda itu. Keterangannya termuat dalam Horison, November 1973.

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama lainnya, searus dengan Jassin. Dia menyatakan gagasan Dekker dalam Max Havelaar­ mempunyai pengaruh tidak langsung dalam dekolonisasi Indonesia dan negara-negara di Afrika.

“Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” kata Pram kepada Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali.

Pembendung Multatuli

Tapi arus puja-puji terhadap Dekker dan Max Havelaar bertemu bendungan kuat. Pembangun bendungan adalah Rob Nieuwenhuys. Dia menulis De Mythe van Lebak pada 1956. Tujuannya mengkaji ulang tindakan Dekker melaporkan Bupati Lebak atas sangkaan menyeleweng dan mengkritik sikap cuek-bebek atasannya terhadap perilaku Bupati.

Nieuwenhuys mengumpulkan sejumlah pandangan dari kaum anti-Multatuli. Beralas itulah dia mendirikan pandangan bahwa Dekker tak mengenal dunia dimana dia tinggal. Dunia yang terbangun atas struktur sosial khas masyarakat Banten sekaligus juga hierarki birokrasi kolonial.

Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak, mengkritik Multatuli dan Max Havelaar.

Dalam pemahaman Nieuwenhuys, orang-orang di Banten melakukan pekerjaan untuk Bupati sebagai bentuk pengabdian sukarela dan penghormatan. Sebaliknya, bagi Bupati, mengerahkan orang untuk bekerja bukanlah pemerasan.

Baca juga: 150 Tahun Max Havelaar

Kalaupun ada penyelewengan dari Bupati, Nieuwenhuys berpendapat seharusnya Dekker memberantas penyelewengan itu dengan mempertimbangkan struktur sosial dan kebudayaan di Banten.

Dekker tak bisa seenaknya meminta atasannya agar menyingkirkan Bupati ke luar Lebak untuk diadili. Cara itu justru merusak struktur sosial dan kebudayaan setempat. Bahkan juga melangkahi hierarki birokrasi kolonial.

Nieuwenhuys juga menyerang Max Havelaar. Bukan gagasan dan kualitas sastrawinya, melainkan kebenaran faktualnya. Menurut Nieuwenhuys, buku itu fiksi.

“Multatuli tidak menulis sebuah laporan mengenai kejadian di Lebak itu, bukan pula sebuah brosur ataupun pamflet, melainkan benar-benar sebuah roman, yaitu dalam arti kata suatu produk yang didasarkan pada angan-angan,” tulis Nieuwenhuys dalam Mitos dari Lebak, terjemahan Indonesia De Mythe van Lebak.

JJ Rizal, direktur penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan ulang buku Nieuwenhuys, mengatakan sosok Dekker tampil dengan corak hiperbola tersebab pertempuran pemaknaan. Ini terjadi pada 1970-an ketika gerakan sosial penentang arus modal asing dan wacana hegemonik Orde Baru membutuhkan sosok perlawanan.

“Salah seorang tokoh yang dipilih untuk dilibatkan dalam pertempuran ini adalah Multatuli,” kata Rizal.

Max Havelaar pun tak luput sebagai alat pertempuran pemaknaan. Gagasan dalam Max Havelaar dianggap memenuhi semua persyaratan untuk melawan wacana hegemonik Orde Baru.

Tetap Relevan

Menanggapi serangan Nieuwenhuys dan penerbitan ulang buku Mitos dari Lebak, Ubaidillah Mucthar menganggapnya sebagai kewajaran. Yang terpenting ide Multatuli dalam Max Havelaar tetap abadi. Biarpun Dekker sudah berjarak 200 tahun lamanya dan karyanya telah lewat 160 tahun lalu.

“Sebab apa yang dimaksudkan oleh Dekker dalam Max Havelaar tidak dapat dibantah, ‘orang Jawa dieksploitasi!’ Multatuli menuntut ketidakadilan di tanah Hindia Belanda dihentikan. Multatuli menuntut kemanusiaan,” kata Ubaidillah. 

Baca juga: Setelah Multatuli Mudik

Ubaidillah menambahkan, perdebatan soal Dekker dan Max Havelaar justru memperkaya cara pandang. Ini penting untuk mengaktualisasikan terus ide-ide Dekker pada masa sekarang. Misalnya untuk mengupayakan pemerintahan bersih dan melawan penyalahgunaan kekuasaan.

“Publik menjadi mengerti bahwa Perkara Lebak yang terjadi jauh di belakang kita masih tetap dapat dilihat di kehidupan hari ini,” ujar Ubai.

Dekker dan Max Havelaarnya akan terus dibaca.

TAG

multatuli max havelaar

ARTIKEL TERKAIT

Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Multatuli dalam Bingkai Kritik Pascakolonial Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi Multatuli dan Freemason Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda Melahirkan Max Havelaar di Korea 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli