Tanggal 2 Maret adalah hari lahir Multatuli. Hari ini, 2 Maret 2020, Multatuli genap 200 tahun. Peringatan hari lahirnya Multatuli sebaiknya dijadikan tradisi yang akan terus diulang pada setiap tahunnya. Ada orang bertanya: mengapa?
Multatuli penting sebagai pengarang, pengarang besar yang secara kebetulan berkebangsaan Belanda. Negeri kecil tempat ia lahir. Mengapa Multatuli harus diperingati. Mengapa tidak memperingati Liebig, Moliere, Schiller, Goethe, Heine, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Smith, Shakespeare, Byron, Vondel…
Jawabannya, karena di samping kebesarannya sebagai pengarang, Multatuli besar pula sebagai seorang humanis. Multatuli yang menuntut keadilan bagi rakyat Indonesia. Dialah orang pertama yang mengatakan, bahwa orang Indonesia pun sama manusianya dengan orang kulit putih, manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensi-konsekuensinya.
Multatuli yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”, “Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!” Multatuli menuntut hak dan keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia mengorbankan kedudukan dan kariernya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan.
Baca juga: Gugatan Eduard Douwes Dekker
Multatuli jelas menentang pengisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang, perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan. Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk merdeka.
Kepada Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang Belanda yang paling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini dan Sukarno mendapat pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya.
Lalu, apakah sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli?
Multatuli menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah. Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat rodi, menggugat permintaan paksa, dan korupsi dengan menggunakan jabatan.
Baca juga: 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli
Multatuli memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara pemerintahan di Indonesia. Meskipun seberapa besar dan jauh pengaruhnya masih dapat diperdebatkan. Tapi di antara kita, bukankah masih ingat kepada pidato Havelaar di hadapan para pemimpin Lebak, juga petikan-petikan kisah Saidjah dan Adinda. Itulah sedikit di antara yang memengaruhi hati dan pikiran kita. Bukankah kesadaran di hati dan pikiran kita timbul dari Multatuli?
Masihkah ada pertanyaan mengapa kita memperingati Multatuli? Kita tidak perlu lagi bertanya: mengapa?
Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820, dan meninggal di Ingelheim, Jerman, 19 Februari 1887. Multatuli telah memberikan landasan bagi sosialisme di Belanda sebagaimana yang ditempuh oleh Pieter Jelles Troelstra, pendiri Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda. Dia juga telah menjadi dasar bagi pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, yang membuka kesempatan pendidikan bagi warga bumiputera.
Setelah menempuh berbagai penugasan di Manado dan Natal, Sumatera Utara, Eduard Douwes Dekker mulai bertugas sebagai asisten residen di Rangkasbitung, Lebak, Januari 1856. Tiga bulan bertugas di Lebak, dia mendapat laporan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh Bupati Lebak Adipati Karta Natanagara. Laporan Dekker kepada Residen Banten Brest van Kempen tidak ditanggapi malah menyebabkan pemecatannya sebagai asisten residen Lebak.
Baca juga: Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda
Ketika kembali ke Eropa, pada 1859 Dekker mengurung dirinya dalam sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, menuliskan riwayat pengalamannya semasa bertugas di Hindia Belanda. Di bawah nama pena Multatuli (berarti “aku yang banyak menderita”), dia mengungkapkan bagaimana pemerintah kolonial menjalankan sistem penidasan bagi rakyat Jawa. Novel Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi di Hindia Belanda terbit perdana pada 1860, dianggap sebagai pembuka aib penjajahan Belanda di Indonesia, sekaligus tonggak kesusasteraan modern di Belanda.
Ronald van Raak, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis (SP), menghargai jasa Multatuli dalam membongkar praktik-praktik menyimpang yang terjadi di Hindia Belanda. Menurutnya, Multatuli adalah raja diraja dari semua pembongkar kejahatan.
“Apa yang telah dia lakukan telah membawa dampak yang berharga: sebuah undang-undang kerajaan yang telah disahkan untuk melindungi para pembongkar kejahatan. Tidaklah sia-sia baginya mempersembahkan karyanya, Max Havelaar, kepada Raja Willem III dengan harapan agar raja bisa menyelesaikan masalah penyelewengan yang terjadi di Hindia Belanda,” ujar Ronald seperti dikutip dari historia.id.
Pada kenyataannya memang tak ada yang dilakukan oleh Raja Willem III untuk menyelesaikan persoalan di negeri jajahannya. Dampak politis dari penerbitan roman Max Havelaar baru terasa menjelang akhir abad ke-19, di saat kaum liberal seperti Van Deventer, mempertanyakan apa yang telah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas warga jajahannya.
Baca juga: Multatuli, Pembongkar Kejahatan atau Seorang Nyinyir?
Muncul pula kesan kalau roman Max Havelaar lebih menyerupai sebuah gugatan atas ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda ketimbang novel biasa. “Ini bukan sekadar roman biasa, melainkan sebuah gugatan,” kata Winnie Sordrager, ketua Perhimpunan Multatuli yang juga pernah menjabat menteri kehakiman Belanda periode 1994-1998. Winnie adalah cicit kemenakan dari Eduard Douwes Dekker.
Mengutip kalimat pengarang novel Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer (dalam Andre Vltchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian, KPG, 2006, hlm. 15) yang menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia dengan alasan: “Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”
Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan –terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda.