Masuk Daftar
My Getplus

Moerad, Sjahrir, Hatta dan Persahabatan yang Terlupakan (1)

Kisah tiga sahabat yang memilih jalan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial. Sayangnya salah satu dari mereka seolah raib dari sejarah Republik ini.

Oleh: Irman Firmansyah | 17 Feb 2021
T.A. Moerad dan Sutan Sjahrir saat mengunjungi Istana Merdeka pada 1950-an (Dok. keluarga T.A. Moerad)

Suatu hari di kota Sukabumi. Jalan kecil bernama Cikiray begitu sepi. Di salah satu bagian jalan, suatu umpakan tangga yang curam nampak mengarah ke sebuah rumah tua unik dengan bentuk limas di bagian depannya. Tak banyak yang tahu jika rumah itu merupakan bekas markas para perintis kemerdekaan di kota moci tersebut. Mereka menamakan diri sebagai Pejuang Cikiray 10B.

Menurut Ida Mufrida, rumah itu memang sangat bersejarah. Di sanalah sang ayah, Tauchied Abdul Moerad menikah dengan ibunya yang bernama Siti Saudah. Moerad merupakan kawan akrab Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Dia juga tercatat sebagai seorang digulis  (pejuang yang dibuang oleh pemerintah HIndia Belanda ke Boven Digoel, Papua) dan sempat menduduki posisi wakil Menteri Keamanan Rakyat Republik Indonesia yang pertama.

“Papi dijodohkan dengan Mami oleh Uwak saya yaitu Edeng Abdullah, yang kebetulan sama-sama sedang berjuang melakukan perebutan kekuasaan (kolonial) di Sukabumi,” ungkap perempuan berusia 71 tahun itu.

Advertising
Advertising

Baca juga: Menjadi Gila Akibat Isolasi di Digul

Saat dijodohkan dengan Moerad, status Siti Saudah adalah sebagai janda. Perjodohan putri seorang menak Sukabumi bernama Nyimas Siti Juariyah itu bukan tanpa alasan. Edeng yang merasa kasihan kepada Siti Saudah yang saat itu masih mengalami trauma (suaminya yang bernama Demang Natapermana dibunuh tentara Jepang di Tangerang) melihat perempuan tersebut memerlukan seorang pelindung. Terlebih dia pun sebenarnya masih menjadi buronan tentara Jepang kala itu.

“Berhari-hari Mami lari dari kejaran Jepang hingga tiba di Sukabumi,” tutur Ida.

Moerad sendiri bukanlah orang asing di dunia pergerakan. Bisa dikatakan dia termasuk satu angkatan dengan  Sjahrir dan Hatta. Namun entah bagaimana namanya tenggelam dalam sejarah. Riwayatnya nyaris tak tercatat, sekalipun di buku Susunan Kabinet-Kabinet RI dan Riwajat Singkat Para Menteri 1945-1953.

Menurut data yang dimiliki keluarganya saat ini, Moerad lahir di Medan. Itu berbeda dengan keterangan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia yang menyebut bahwa Moerad adalah orang Minangkabau. Bahkan dalam tulisannya di Prisma Vol.29 No.1 Tahun 2010 berjudul “PSI Ada karena Hubungan Keluarga?”, Imam Yudotomo sama sekali tak menyebut Moerad berasal dari Sumatra.

Secara historis, kedekatan Moerad dengan Sjahrir berawal sejak mereka bersekolah di AMS (Algemeene Middlebaar School) Bandung. Dalam Seri Buku Tempo, Sjahrir: Peran Besar Bung Kecil, disebutkan bahwa sepulangnya dari Belanda pada Desember 1931, Sjahrir langsung menghubungi Moerad dan rekan-rekan AMS lainnya seperti Soewarni, Soewarsih, Sastra, Bondan, Hamdani dan Inoe Perbatasari.

Baca juga: Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi

Konsolidasi yang dilakukan Sjahrir dilakukan terkait pembubaran PNI secara resmi pada 25 April 1931 pasca ditangkapnya Ir. Sukarno. Sekelompok aktivis pergerakan (termasuk Moerad) tidak menyetujui pendirian Partai Indonesia pimpinan Mr. Sartono sebagai ganti PNI. Kelompok itulah yang kemudian menyebut diri sebagai Golongan Merdeka dan menerbitkan media pada September 1931. Media itu bernama Daulat Ra’jat.

Sementara kedekatannya dengan Hatta, secara langsung dinyatakan sendiri oleh Moerad dalam buku Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa  yang terbit pada 1972:

“Saudara Mohammad Hatta saja kenal sedjak beliau kembali dari Nederland, Setelah bersatunja Saudara Hatta dan Sjahrir dengan Golongan Merdeka, maka kami dirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)”

Dengan dukungan rekan-rekannya, Sjahrir kemudian mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau disebut sebagai PNI Baru melalui konferensi di Yogyakarta pada 25-27 Desember 1931. Saat itu yang mengetuai organisasi tersebut adalah Soekemi.  Pada Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung, Sjahrir terpilih menjadi pimpinan umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi. Sementara Moerad menjadi ketua partai Pendidikan Nasional Indonesia cabang Batavia.

Hubungan mereka bahkan secara intens terus berlanjut. Hal itu terjadi karena mereka sama-sama terlibat aktif dengan berbagai pekerjaan di Daulat Ra’jat yang berkantor di Gang Lontar. Disitulah mereka berdiskusi satu sama lain secara mendalam. Itu diungkapkan Hatta dalam otobiografinya, Memoir.

“Di Gang Lontar biasanya aku tinggal sampai jam 12 atau jam 1 tengah hari. Apabila aku datang ke sana, Moerad dan Teguh yang tinggal dekat di situ ikut pula datang. Maka kami persoalkanlah masalah - masalah yang dihadapi di masa itu” .

Baca juga: Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi

Sementara pemerintah Hindia Belanda saat itu sedang giat-giatnya menangkapi para pemimpin dan kader-kader politik radikal. Seolah tidak cukup dengan itu, mereka juga melakukan pembreidelan terhadap media-media yang dinilai dapat membahayakan kekuasaannya. Ketika kantor Daulat Ra’jat yang juga sekaligus menjadi sekretariat PNI Baru ikut digeledah, Moerad termasuk orang yang ikut melindungi Sjahrir dari kejaran PID (Politieke Inlichtingen Dienst).

“Murad yang berada di tempat ini menjawab bahwa selama sekretariat PNI berkantor di gang Lontar IX ini, belum pernah mereka kedatangan Soetan Sjahrir”,” tulis Mohamad Noor Angkat Soetan dalam Generasi Soekarno-Hatta.

Hatta dan Sjahrir pada akhirnya memang berhasil ditangkap PID. Menurut koran Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 26 Februari 1934, Moerad pun sempat ditangkap pada 25 Februari 1934 karena tulisannya dalam media Daulat Ra’jat dianggap mengandung hasutan. Namun karena kurang bukti, dia kemudian dibebaskan dan bisa melanjutkan pekerjaannya di Daulat Ra’jat.

Baca juga: Om Kacamata di Banda Neira

Yang menarik, Moerad sempat pula menerbitkan “curhatan” Hatta sewaktu mendekam di Penjara Glodok. Itu bersumber dari surat Hatta bertanggal 20 April 1934  yang ditujukan kepada Moerad. Dalam curhatan itulah muncul kalimat legendaris: “Aku bisa hidup di manapun, asal dengan buku.” Moerad memuat surat Hatta itu dalam Daulat Ra’jat, edisi 10 Mei 1934.

Karena simpatinya yang begitu jelas kepada orang-orang pergerakan, Moerad menjadi incaran PID. Pada akhirnya dia pun ditangkap atas tuduhan penghasutan melalui artikelnya tertanggal 30 Agustus 1934 yang dianggap mendorong masyarakat untuk mengulingkan pemerintah. De Indische courant, edisi 12-11-1934 menyebutkan bahwa Mohammad Hatta, Bondan, Abdul Moerad dan Sajoeti akan dikirim ke Digul. Namun ternyata pembuangan itu ditunda. Moerad  sendiri kemudian dijatuhi hukuman 9 bulan menghuni Penjara Glodok, sementara Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul.

Sekeluarnya dari penjara, Moerad tetap konsisten di jalan pembakangannya terhadap kolonial.  Dia terus menjalankan perannya di PNI baru dan Daulat Ra’jat. Sepakterjangnya sebagai pembangkang politik akhirnya berakhir pada 1939 ketika pemerintah Hindia Belanda mengasingkannya ke Boven Digul. Pemerintah Hindia Belanda berkilah pembuangan itu harus dilakukan untuk kepentingan perdamaian publik sesuai pasal 8 konsistusi Hindia Belanda (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-09-1939). Ketika pergi ke Digul, dua sahabatnya: Hatta dan Sjahrir, sudah dipindahkan ke Banda Neira. (Bersambung).

TAG

moerad hatta sjahrir sukabumi boven digoel

ARTIKEL TERKAIT

Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Pesan Bung Hatta untuk Pemilih dalam Pemilu Membidik Wapres Usia Muda Bung Hatta dan Koperasi Mengungsikan Bung Hatta Jelang Pemilu Perdana Orba Ketika Sukarno Marah Kepada Sjahrir Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua KH Ahmad Sanusi, Ajengan dalam Arus Kemerdekaan Candaan Bung Hatta dan Kawan-kawan di Bangka Bung Hatta Sebagai Idola