SOSOK KH Ahmad Sanusi tak sekadar ajengan yang memimpin pondok pesantren. Bukan juga ahli tafsir bidang fikih, kalam, dan tasawuf semata dengan karya-karya yang acap jadi rujukan para ulama hingga kini. Kiai Sanusi juga figur penting di masa pergerakan yang tiada lelah menentang pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga Jepang.
Kiprah pentingnya itulah yang agaknya menjadi bahan pertimbangan Presiden Joko Widodo menetapkan KH Ahmad Sanusi sebagai pahlawan nasional dari Provinsi Jawa Barat. Bersama dengan empat tokoh lain, penganugerahan pahlawan nasional KH Ahmad Sanusi dilakukan presiden di Istana Negara pada Senin, 7 November 2022.
Penganugerahan tersebut jadi kehormatan tersendiri bagi warga Kota Sukabumi. Pasalnya, sudah sejak 2007 namanya diajukan Persatuan Umat Islam (PUI), Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Pemerintah Kota Sukabumi.
“KH Ahmad Sanusi dikenal seorang mufassir atau ahli tafsir Al-Quran. Sebagai seorang mufassir, beliau begitu memahami kandungan makna dari ayat-ayat Al-Quran dengan banyak mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan hak, harga diri, dan kemerdekaan. Dengan demikian tidaklah berlebihan kalau beliau dipandang sebagai sosok religius-nasionalis yang berpengaruh pada masanya,” tulis Miftahul Falah dalam Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi.
Baca juga: Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir
Ahmad Sanusi lahir di Cantayan, Sukabumi, pada 18 September 1888 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan ajengan Cantayan KH Abdurrahim dengan istri pertamanya, Empok. Lingkungan keluarga yang berupa pondok, di mana ayahnya memimpin Pesantren Cantayan, menjadikan Sanusi intim dengan ilmu agama.
Menurut Dr. H.A. Zaki Mubarak dalam Mama Kudang dan Kota Santri: Biografi KH. Muhammad Soedja’i dan Sejarah Kota Tasiklamalaya, salah satu cerita yang beredar adalah Ahmad Sanusi masih punya pertalian keluarga dengan Bupati Sukapura Raden Anggadipa alias Raden Tumenggung Wiradadaha III yang konon memiliki 60 anak. Dari puluhan anak itu silsilahnya turun sampai ke H. Yasin yang merupakan ayah dari KH. Abdurrahim.
“Cerita lain menyebutkan bahwa H. Yasin merupakan keturunan Syaikh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di daerah Tasikmalaya Selatan yang berpusat di Pamijahan. H. Yasin mengembara ke Sukabumi sampai memutuskan menetap di Cantayan. Dalam pengembaraan itu, ia ditemani istrinya, Naisari. Dari perkawinan itu, H. Yasin memiliki 10 putra dan salah satunya KH. Abdurrahim sebagai anak keenam,” tulis Zaki.
Dari Makkah ke Penjara Belanda
Ahmad Sanusi mendalami ilmu agama di pesantren ayahnya maupun pesantren-pesantren lain di Jawa Barat, mulai dari Pesantren Cisaat, Cijambe, Sukaraja, Garut, hingga Cianjur. Tak lama setelah menikah dengan istri pertamanya, Siti Juwariyah, pada 1910 Ahmad Sanusi bertolak ke tanah suci untuk ibadah haji sekaligus belajar agama selama lima tahun.
Pemikirannya lebih terbuka lagi setelah berguru dengan para ulama mahzab Syafi’i, seperti H. Abdullah Junaedi, H. Mukhtar, H. Abdullah Jamawi, maupun Syeikh Saleh Bafadil. Ia tak hanya belajar soal agama tapi juga tentang pergerakan.
“Tahun-tahun pertama bermukimnya H. Ahmad Sanusi di Mekkah, ia bertemu dengan H. Abdul Halim dari Majalengka. Karena berasal dari daerah yang sama, yakni Tatar Pasundan pertemuan tersebut berkembang menjadi persahabatan. Konon mereka bersepakat bahwa jika kelak kembali, mereka akan berjuang membebaskan bangsanya dari penjajahan Belanda melalui pendidikan,” sambung Miftahul.
Baca juga: Pondok Pesantren dan Penyiaran Islam Tertua di Jawa
Cita-cita itu diwujudkan KH Sanusi sepulangnya ke tanah air pada Juli 1915. Selain membantu ayahnya mengajar di Pesantren Cantayan, ia juga terjun ke politik dengan bergabung ke Sarekat Islam (SI). Posisinya sebagai adviseur atau penasihat. KH Sanusilah yang kemudian pasang badan kala SI diterpa serbuan “surat kaleng” yang berisi fitnah-fitnah terhadap SI. Sanusi melakukan pembelaan lewat sejumlah forum maupun bukunya, Nahratoed’dhargam.
“Sarekat Islam mencakup dua hal, keagamaan dan duniawi. Urusan keagamaan untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan Nabi sesuai kehendak Allah dan menjauhi larangan-Nya tanpa terkecuali. Mengenai persoalan duniawi, para anggotanya hendaknya berguna bagi masyarakat sejauh tidak bertentangan dengan agama, seperti usaha saling membantu dan kerelaan untuk membantu memajukan umat Islam tanpa harus anggota SI, bila perlu dalam perdagangan, kerajinan, dan pertanian. Selain itu orang berusaha memajukan kesejahteraan, pengetahuan, dan sebagainya bagi orang pribumi dengan mendirikan sekolah agar orang-orang pribumi tidak lagi memerlukan pertolongan orang asing,” tulis Sanusi di buku yang dianggap pemerintah kolonial sebagai buku berbahaya itu.
Gerak-gerik KH Sanusi kemudian diawasi aparat kolonial, termasuk oleh Wedana Patih Afdeeling Sukabumi R. Karnadibrata. Ia bahkan pernah dituding mendalangi Kerusuhan Cimareme tahun 1919. Kerusuhan itu pecah pasca-kelompok rakyat pimpinan Haji Hasan menolak menjual padi dengan harga tertentu kepada pemerintah. Kerusuhan berdarah tak terelakkan, Haji Hasan ikut menjadi korban tewas.
“Pemerintah Hindia Belanda menuduh KH Ahmad Sanusi terlibat dan menyembunyikan KH Muhammad Adra’i, salah satu tokoh utama Peristiwa Cimareme yang waktu itu masih buron. Akibat tuduhan itu, pemerintah menangkap dan menahan KH Ahmad Sanusi selama tujuh malam,” lanjut Miftahul.
Dari interogasi-interogasi yang dijalaninya, tak ditemukan bukti bahwa ia terlibat dalam kerusuhan maupun mengenal Adra’i. Kendati begitu, KH Sanusi tetap dalam pengawasan aparat kolonial setelah dilepaskan dan meneruskan kegiatan mengajarnya di pesantren yang dipimpinnya di Kampung Genteng, Cibadak.
Baca juga: KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional
KH Sanusi kemudian menjadi ajengan Genteng. Pola pendidikan yang diterapkannya menitikberatkan pada metode yang memancing sikap kritis para santrinya. Salah satunya dengan metode halaqah, di mana para santrinya membentuk sejumlah kelompok diskusi tentang ilmu-ilmu agama dan sosial-budaya.
Popularitas KH Sanusi yang terus meningkat di berbagai kalangan masyarakat Priangan Barat membuat elit feodal dan aparat kolonial makin gerah. Mereka mencari banyak alasan untuk bisa memenjarakan kembali Sanusi.
“Sampai suatu ketika, terjadilah pengrusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi dengan Bandung dan Bogor. Peristiwa yang terjadi pada Agustus 1927 itu dijadikan sebagai bukti awal menahan KH Ahmad Sanusi. Alasan yang dikemukakan pemerintah Hindia Belanda itu adalah salah satu jaringan kawat telepon yang dirusak itu lokasinya tidak terlalu jauh dari Pesantren Genteng,” sambungnya.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Namun dalam interogasinya di masa sembilan bulan penahanan di Cianjur dan kemudian 11 bulan di Sukabumi, KH Sanusi tak terbukti bersalah. Akan tetapi aparat kolonial tak jua membebaskannya. Atas keputusan Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge, KH Sanusi kemudian justru diasingkan ke Tanah Tinggi di Batavia Centrum (kini Pasar Senen).
“Pemerintah Hindia Belanda mengataan penahanan tersebut untuk menjaga ketenteraman umum (rust en orde) karena pemikiran-pemikiran KH. Ahmad Sanusi berpotensi menciptakan suatu mayarakat yang memiliki semangat revolusioner. Untuk mencegah perkembangan potensi tersebut, pemerintah memandang perlu mengasingkan KH Ahmad Sanusi dari lingkungan sosial budayanya,” ungkap A.M. Sipahoetar dalam Siapa? Loekisan tentang Pemimpin2.
KH Sanusi baru bisa kembali ke Sukabumi pada Agustus 1934. Itupun sebagai tahanan kota. Tidak diperkenankan kembali ke pesantrennya, Sanusi ditempatkan di sebuah rumah di Vogelweg (kini Jalan Bhayangkara) No. 100 Desa Gunung Puyuh.
Lika-liku Menuju Alam Kemerdekaan
Kendati dalam status tahanan kota, semangat KH Sanusi tidak padam. Ia tetap menggelar pengajian tiap minggu, tetap mengasuh organisasi Al-Ittihadjatoel Islamijjah (AII), membesut majalah bulanan Tamsjijjatoel Moeslimien, bahkan menulis sejumlah kitab tafsir.
“Selain membesarkan AII, KH Ahmad Sanusi pun membentuk organisasi onderbouw AII. Tahun 1937 ia mendirikan Barisan Islam Indonesia (BII) sebagai wadah pemudanya. BII didirikan karena adanya sikap militan dari para pemuda AII sehingga akan berdampak positif kalau disalurkan ke dalam organisasi. Untuk mengoptimalkan potensi kaum perempuan, KH Ahmad Sanusi juga membentuk organisasi Zainabiyah. Pembentukannya dilatarbelakangi keyakinan bahwa perjuangan tanpa dukungan kaum perempuan tidak mungkin bisa mencapai tujuan,” ungkap Sulasman dalam K. H. Ahmad Sanusi (1889-1950): Berjuang dari Pesantren ke Parlemen.
AII dengan BII kemudian turut berperan memudahkan pasukan Jepang menghajar posisi-posisi pasukan Belanda ketika masuk ke Sukabumi pada 1942. Setelah Hindia Belanda tumbang, Jepang dengan Gerakan Tiga A-nya menguasai Sukabumi.
“Di kota Sukabumi, Gerakan Tiga A pernah menyelenggarakan rapat akbar di suatu tempat yang sekarang bernama Lapangan Merdeka. Dalam rapat yang juga dihadiri oleh KH Ahmad Sanusi dan Soekarno, terungkaplah keinginan rakyat Sukabumi yaitu mereka ingin merdeka,” tambah Miftahul.
Baca juga: Thamrin Dijegal di Sukabumi
Sejak zaman Jepang itulah KH Sanusi makin dikenal kalangan nasionalis seperti Bung Karno, Ahmad Subardjo, dan H. Agus Salim. Pada Maret 1945, nama KH Sanusi termasuk di dalam daftar anggota Dokuritsu Junbi Chōsa-kai alias Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ketika sejumlah anggota mengusulkan bentuk-bentuk negara dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, KH Sanusi memberi usulan berupa sebuah negara dengan bentuk imamat, dipimpin seorang imam. Ketua Radjiman Wedyodiningrat menerima usulan itu sebagai alternatif ketiga, sementara Moh. Yamin keberatan.
“Yamin berkeberatan karena dari isi pidato KH Ahmad Sanusi tidak menyinggung imamat sebagai salah satu bentuk negara yang dikenal masyarakat. Terhadap keberatan Yamin itu, KH Ahmad Sanusi mengatakan: ‘maksud saya dengan imam itu republik.’ Jelaslah imam itu maksudnya republik yang menolak (usulan) kerajaan sebagai bentuk negara Indonesia merdeka. Imamat yang teguh pada hukum Tuhan dan dipilih oleh rakyatnya atas pertimbangan mendalam tentang persatuan,” tulis Saafroedin Bahar dalam Risalah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Baca juga: Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Pasca-proklamasi 17 Agustus 1945, KH Sanusi menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Bersama sejumlah tokoh dan ulama ia juga membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Sukabumi yang kemudian dipimpin ajengan KH Acun Basyuni. Sedangkan BII diarahkan Ahmad Sanusi menjadi laskar perjuangan di luar pasukan reguler BKR.
“Selama berkecamuknya Perang Kemerdekaan, KH Ahmad Sanusi ikut berjuang mengangkat senjata, antara lain dalam Pertempuran Bojongkososan. Pesantren Gunung Puyuh yang dipimpinnya juga dijadikan markas perjuangan. Tugas utamanya menjamin lancarnya distribusi logistik yang dibutuhkan pejuang,” lanjut Mifthahul.
Sesuai Perjanjian Renville (17 Januari 1948), KH Sanusi turut hijrah ke Yogyakarta, sementara pasukan santrinya tetap di pedalaman Sukabumi. Ia baru kembali ke Sukabumi pasca-pengakuan kedaulatan, Desember 1949. Namun, tak lama menghirup udara kemerdekaan, KH Sanusi menghembuskan nafas terakhir pada 15 30 Juli 1950. Ia wafat di Sukabumi pada usia 64 tahun.
“Menjelang wafatnya, KH Ahmad Sanusi memanggil para santri dan jamaahnya untuk melihat bulan purnama yang dikelilingi oleh bintang. Oleh karena fenomena alam itu sebelumnya tidak pernah terjadi, ia berkata: ‘pasti akan terjadi sesuatu.’ Ternyata, sesuatu yang terjadi itu adalah meninggalkan keluarga, para santri, dan jamaahnya untuk selama-lamanya untuk menghadap Sang Khalik pada Ahad malam, 15 Syawal 1369 H,” tulis Miftahul.