Thamrin Dijegal di Sukabumi
Dari Batavia ia melirik Sukabumi. Diusung fraksi nasional dengan harapan menjadi walikota bumiputera pertama.
SISA-sisa karangan bunga itu masih bertebaran di halaman depan Balaikota Sukabumi. Siang itu, Minggu 7 April 2019, gedung bergaya art deco bikinan arsitek Belanda E. Knaud itu tampak sepi. Aktivitas perayaan 105 tahun Kota Sukabumi (1 April) telah usai.
Sejak diresmikan 22 Februari 1934, bangunan yang mulai dibangun pada 12 September 1933 itu jadi tempat berkantornya burgemeester (walikota) Sukabumi. Sejak lepas dari naungan Regentschappen Cianjur, Sukabumi berstatus gemeente yang otonom atas wilayahnya.
Hingga zaman Jepang, tak sekali pun kedudukan tertinggi di Gemeente (kotapraja) Sukabumi itu bisa dipegang kalangan bumiputera. Pernah ada “perlawanan” politik untuk memegang kendali kota yang kaya akan teh ini, tetapi hasilnya tetap nihil walau yang bertarung tokoh nasionalis Mohammad Hoesni Thamrin.
Kisahnya bermula dari dugaan korupsi George François Rambonnet, pejabat walikota merangkap sekretaris kota Sukabumi sejak 1926. Maka ketika balaikota itu rampung pada Februari 1934, Rambonnet –lebih banyak berkantor di rumah sewaan milik seorang Tionghoa bernama Lie Ek Tong– tak bisa menikmatinya lebih lama. Di tahun itu juga dia di-reshuffle oleh pemerintah Hindia Belanda “Dia dipindah ke Buitenzorg (kini Bogor) setelah muncul rumor korupsi itu,” ujar Irman Sufi Firmansyah, penggiat sejarah dan pengasuh komunitas Dapuran Kipahare kepada, Historia.
Baca juga: Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Bukan hanya dugaan korupsi yang menyebabkan Rambonnet dipindah, kata Sufi, tapi juga lantaran maladministrasi di berbagai sektor pekerjaan kota. Dampaknya, jabatan walikota Sukabumi pun lowong dan Rambonnet mulai diinvestigasi.
MH Thamrin Bakal Calon Walikota Sukabumi
Kekosongan jabatan walikota menjadi bahasan Indo Europeesch Verbond (IEV) dan National Socialistische Beweging (NSB), serta golongan bumiputera dan nasionalis. Masing-masing memajukan calonnya. Dari Fraksi Nasionalis di Gemeenteraad alias Dewan Kota (kini DPRD Kota), nama MH Thamrin yang dimajukan.
Thamrin dianggap tokoh terbesar golongan nasionalis setelah Sukarno yang saat itu masih dalam tahanan di Bandung. Thamrin dianggap laik lantaran sebagai anggota Volksraad atau Dewan Rakyat (kini DPR). Selain itu, mengutip Cahaya di Batavia: M.H. Thamrin dan Gerakan Nasionalis Kooperasi di Indonesia 1927-1941 karya Toto Widyarso, ia sejak Januari 1930 juga sudah menjabat Loco Burgemeester II Batavia (wakil walikota I Jakarta) dan dalam waktu enam bulan naik lagi jadi Loco Burgemeester I.
Itu salah satu keunggulan Thamrin dibanding IEV di ibukota. Sebelumnya, jabatan itu hampir dikuasai golongan Indo-Eropa. Mulanya jabatan wakil walikota itu akan diberikan ke wethouder (anggota dewan kota) golongan Eropa yang kiprahnya “baru kemarin sore”. Thamrin dan kawan-kawannya di gementeraad pun protes sehingga diadakan pemilihan ulang yang menaikkan Thamrin menduduki jabatannya.
Ketika di Sukabumi hendak terjadi pergantian walikota, Thamrin pun turut melirik. Sukabumi bukan wilayah yang asing bagi pemuda berdarah Betawi-Eropa itu. Kakeknya, George Anton Ort, punya bisnis hotel di Sukabumi sejak 1876. Istri ketiga Thamrin, Nyi Otoh Arwati, merupakan perempuan asli Sukabumi. Thamrin juga punya sebuah vila yang acap jadi “venue” berkumpulnya para pemuda nasionalis.
Baca juga: Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola
“Thamrin juga punya banyak kepentingan di Sukabumi. Ia juga sering mengangkat isu-isu tentang Sukabumi di Volksraad. Salah satunya tentang kasus alat ukur kalibrasi yang banyak merugikan rakyat oleh dinas kota Sukabumi. Lalu tentang kepemilikan lahan perkebunan dan transfer pengetahuan dari para pengusaha Eropa ke bumiputera. Satu lagi, bahwa kuat isunya Thamrin juga yang membuka boroknya Rambonnet,” sambung Sufi.
Media-media di Hindia Belanda ramai membicarakan prospek MH Thamrin menjadi walikota pertama dari kaum bumiputera. Sebagaimana diketahui, di tahun itu juga (1931) IEV “sukses” menjegal Ratu Langie menjadi walikota Ambon.
“Mengingat Tuan G.F. Rambonnet tak lagi bisa menjabat walikota setelah adanya investigasi resmi, maka jabatan itu akan segera digantikan. Ada lusinan calon serius untuk menggantikan. Fraksi bumiputera di dewan kota menginginkan calon dari bumiputera pula dan yang dipilih kaum ini adalah…Thamrin dari Batavia!” tulis koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 3 September 1931.
Namun, lanjut koran tersebut, Thamrin diisukan takkan mau menerima lantaran gaji walikota merangkap sekretaris kota tak sebesar gajinya sebagai anggota Volksraad, Gementeraad Batavia sekaligus Loco Burgemeester I Batavia. Total sebelumnya Thamrin punya gaji 1.600 gulden per bulan. Tapi jika menjadi walikota Sukabumi gajinya hanya 1.100 gulden per bulan.
“Isu gaji itu dihembuskan orang-orang IEV melalui koran-koran Belanda. Padahal Thamrin tak menyoalkan soal gaji. Namanya diusung oleh anggota-anggota gementeraad dari bumiputera, di antaranya Raden Djajakoesoemah, Raden Sadeli, dan Raden Demang Kartabrata,” ujar Sufi.
Namun, upaya mengangkat Thamrin jadi walikota bumiputera Sukabumi pertama pun kandas. “Karena itu tadi, sama IEV dibesar-besarkan di koran-koran Belanda. Padahal ini isu (politik) lokal, tapi digoreng menjadi isu nasional. Thamrin dianggap berbahaya jika menjadi walikota. IEV takut akan terjadi perubahan radikal yang memengaruhi orang-orang Eropa. Lebih lagi, jika Thamrin menang, itu akan jadi pemicu di daerah-daerah lain,” lanjutnya.
Dengan segenap intrik politiknya, IEV berhasil membuat nama Thamrin tak masuk ke deretan calon resmi yang diakui pemerintah. Rambonnet akhirnya tetap diganti pejabat golongan Eropa yang sebelumnya sudah menjalani fit and proper test, Albert Leonard Anihenie van Unen.
Ia sebelumnya menjabat walikota Salatiga dan per 20 Maret 1934 resmi menerima jabatan walikota Sukabumi. Sementara Rambonnet yang baru sebulan menikmati gedung balaikota anyarnya, digeser ke Bogor sembari investigasinya terus berjalan.
“Administrasi di Gemeente Sukabumi dalam keadaan kacau. Tidak ada arsip yang eksis sama sekali. Sejumlah dokumen hilang. Beberapa urusan dinas kota terbengkalai. Semuanya terlihat tak terurus sepeninggal Tuan G.F. Rambonnet, hingga membuat walikota baru Van Unen harus memulai lagi merapikan administrasi dari nol,” sebut suratkabar De Indische Courant, 10 Januari 1935.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar