Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Dari Banda, Hatta dan Sjahrir mampir ke Sukabumi di masa transisi. Berdiam di sebuah rumah polisi.
RUMAH tua namun elegan itu nyaris tanpa isi. Selain satu ruangan yang berisi sedikit foto replika Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Sukarno, hanya ruang depan kanan yang memiliki satu meja dan beberapa kursi. Di sinilah tempat Mulyani, juru pelihara rumah, “berkantor”.
Pertanyaannya, apa hubungannya Bung Karno dengan rumah yang beralamat Jalan Bhayangkara Nomor 156 A, Kota Sukabumi itu? Jelas-jelas di halaman depan terpampang plang “Benda Cagar Budaya: Rumah Bekas Tahanan Bung Hatta dan Syahrir”. Jangankan menjelaskan soal foto Bung Karno, menyoal kapan dan apa yang terjadi terhadap Hatta dan Sjahrir pun sang juru pelihara honorer BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) itu memberi penjelasan menyangsikan.
“Iya di sini tempat ditahannya Bung Hatta dan Sjahrir. Kira-kira tahun 1920-an,” ujarnya singkat menerangkan kala Historia berkunjung, 12 Februari 2019.
Entah “terpeleset” lidah atau memang tidak tahu, faktanya di era itu Hatta masih sekolah di Belanda. Ia dan Sjahrir baru pulang ke Hindia Belanda (kini Indonesia) pada awal 1930-an dan ditangkap pemerintah Hindia Belanda pada 1934.
Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Boven Digul (Papua), lantas Banda Neira (Maluku). Mereka baru diungsikan ke Sukabumi pada awal Februari 1942, saat Hindia Belanda sudah diinvasi Jepang.
Kenapa Sukabumi?
Untuk menghindari penangkapan atau kerjasama para tokoh politik dengan Jepang, pemerintah kolonial berusaha menyembunyikan mereka. “Belanda sudah mulai panik sejak Januari 1942,” ujar Irman “Sufi” Firmansyah, peneliti sejarah Sukabumi, kepada Historia. Namun, pemerintah mesti hati-hati mencarikan tempat persembunyian. “Ke daerah Sulawesi sudah bahaya karena Jepang sudah sampai ke Tarakan sejak akhir 1941. Kenapa Sukabumi? Dari dulu dianggap paling aman oleh Belanda karena di Sukabumi ada sekolah dan asrama polisi,” lanjutnya.
Penulis Sukabumi: The Untold Story dan Pembuangan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi itu juga memaparkan alasan kenapa Belanda memilih memulangkan kedua tahanan politik (tapol) itu ke Jawa. “Bung Hatta pernah bikin artikel di suatu koran yang intinya bersikap anti-Jepang. Tapi saat mau ditarik, sudah keburu beredar dan Belanda percaya bahwa Hatta akan mendukung perlawanan Belanda terhadap Jepang.”
Baca juga: Bung Hatta yang Sulit Ditembus
Kekhawatiran pemerintah ditambah oleh sikap Sjahrir yang sangat anti-fasis. Itu sebabnya, pemerintah buru-buru mengirim pesawat PBY Catalina ke Banda Neira pada 1 Februari 1942 demi menjemput Hatta dan Sjahrir. Karena semua bawaan dan keluarga bisa diangkut, sisanya terpaksa menyusul dengan kapal.
“Peti-peti berisi buku-bukunya Hatta dan Sjahrir enggak bisa diangkut. Akhirnya dibawanya dengan kapal dijaga Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Sementara Mimi dan Lily (anak-anak angkat Sjahrir lainnya) masih bisa ikut. Terbangnya enam jam nonstop sampai ke Surabaya. Di sana terjadi salah paham, sempat ditangkap dan ditahan satu malam. Tapi kemudian setelah dijelaskan pilotnya, mereka dibebaskan dan disediakan hotel,” sambung Sufi.
Pada 2 Februari, rombongan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Perjalanan ke Sukabumi dilanjutkan dengan mobil pada 4 Februari. “Ya karena waktu itu belum ada jalur kereta langsung ke Sukabumi, jadinya ke Jakarta dulu. Di Sukabumi ditempatkan di rumah itu yang sebelumnya jadi kediaman perwira senior sekolah polisi Belanda,” kata Sufi.
Meski berstatus tahanan politik, Hatta dan Sjahrir lebih bebas beraktivitas di sana. Keduanya dizinkan keluar rumah asal terlebih dulu melapor. Keduanya bahkan diberikan uang saku. “Sehari setelah tiba, kami diimbau untuk melapor ke asisten residen. Lalu kami diberikan 100 gulden untuk keperluan kami selama di Sukabumi,” kenang Sjahrir dalam memoarnya, Out of Exile.
Ketika Jepang Datang
Banyak tamu yang mengunjungi Hatta dan Sjahrir semasa pengasingan di Sukabumi. Mulai dari tokoh-tokoh macam Soejitno (adik Dr. Tjipto Mangunkusumo), Amir Syarifuddin, Sastra (aktivis Pendidikan), Beb Vuyk (wartawan Belanda), hingga rombongan keluarga seperti Siti Saleha (ibunda Hatta) dan Nyonya Djuhana (kakak Sjahrir).
Rudolf Mrázek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia mengungkapkan, tak banyak hal terkait pergerakan yang jadi obrolan para tamu aktivis itu. Justru Sjahrir dan Hatta dirayu Amir untuk membentuk jalinan kerjasama antara para aktivis nasionalis dengan pemerintah Belanda dalam meladeni Jepang. Jika mau, mereka akan “dievakuasi” ke Australia. Sjahrir tak berminat.
Baca juga: Menyibak Tabir Partai Sjahrir
“Mungkin orasi Amir membuat Hatta tertarik, namun saya tidak. Saya lebih banyak diam. Pertemuan kami berakhir tanpa kesimpulan dan sejak saat itu Amir tak pernah datang lagi,” kata Sjahrir, dikutip Mrázek.
Sjahrir tak menafikan bahwa menyerahnya Belanda pada Jepang hanya tinggal waktu. Namun, Sjahrir tetap menolak kooperatif dengan Jepang sebagaimana Hatta kala ditemui Jepang setelah masuk Sukabumi.
“Setelah Belanda menyerah pada Jepang, datang Komisaris Polisi Asikin agar kami kembali ke Jakarta. Kami jawab bahwa soal ini nanti akan kami bicarakan dahulu dengan Angkatan Perang Jepang yang datang ke Sukabumi,” ujar Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku.
Beberapa hari setelahnya, seorang perwira tinggi Kempeitai (Polisi Rahasia Jepang) menemui Hatta dan Sjahrir di rumah itu. Hatta dianjurkan untuk menghadap ke Markas Angkatan Darat (AD) Jepang di Bandung. “Hatta bersedia tapi minta izin dulu ke Jakarta untuk mengantar ibunya pulang ke Bukittinggi via Pelabuhan Tanjung Priok,” sambung Sufi.
Di lain kesempatan, Hatta juga kedatangan Kolonel AD Ogura. Dia meminta Hatta dan Sjahrir menghadap Jenderal Harada di Jakarta. “Sekarang ada dua macam kehendak, kedua-duanya dari pihak militer, mana yang harus kutaati,” kata Hatta.
Hatta akhirnya memutuskan ke Jakarta sembari mengantar ibunya pulang sebelum menghadap Jenderal Harada, wakil Kepala Staf Tentara ke-16 yang menguasai Jawa. Dalam pertemuan itu, Hatta menegaskan sikapnya sebagaimana dituliskan dalam Mohammad Hatta: Memoir.
“Apakah Anda bersedia bekerjasama dengan pemerintahan militer Jepang?” tanya Harada.
“Apakah Jepang berniat menjajah Indonesia?” tanya balik Hatta. Dalam responsnya, Harada menyatakan justru niat Jepang adalah membebaskan Asia dari kolonialisme.
Berbekal janji Harada sebagai kepanjangan tangan pemerintah Jepang, Hatta berkenan kooperatif. Namun, Hatta tidak bersedia menjadi pejabat resmi pemerintah militer Jepang. Hatta setuju jadi penasihat asalkan tidak bertanggungjawab langsung kepada Jepang. Harada setuju dan Hatta diberikan tempat di Kantor Penasihat Umum.
Baca juga: Bung Hatta dan Kecoa
Pertengahan Maret, Hatta benar-benar meninggalkan Sukabumi dan kembali ke Jakarta. Sementara Sjahrir yang enggan ikut bekerjasama, pindah ke Semarang, Cipanas, dan kembali ke Jakarta untuk bergerak di bawah tanah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar