DUSWANTO Harimurti masih ingat ketika suatu hari di tahun 1978 diminta orangtuanya mengantarkan ke kediaman Presiden Soeharto. Dia tak tahu ibunya, Lasijah Soetanto, punya urusan apa sehingga diundang Ibu Negara Tien Soeharto. Alih-alih ingin mengetahuinya atau sekadar ingin tahu isi kediaman presiden, Duswanto pilih menunggu di mobil ketimbang ikut masuk.
Tak ada kejanggalan sedikit pun yang dia dapati sampai kedua orangtuanya keluar dari rumah presiden. Pun ketika mereka dalam perjalanan pulang. Tak ada sedikit pun cerita dari orang tuanya. Keanehan justru muncul di rumah mereka, rangkaian bunga berjajar menutupi pagar rumah. “Tahu-tahu sudah ada pos di depan rumah, ada ajudan, ada polisi untuk berjaga,” kata Duswanto, putra kedua Lasijah, kepada Historia.
Duswanto baru belakangan tahu undangan ibu negara dimaksudkan untuk menanting Lasijah menduduki jabatan baru dalam Kabinet Pembangunan III yang sedang dibentuk Presiden Soeharto.
Pecinta Pendidikan
Lahir di Bantul, Yogyakarta pada 13 Agustus 1924, sedari kecil hasrat Lasijah pada ilmu pengetahuan begitu tinggi. Setelah menamatkan pendidikan dasar di HIS Yogyakarata tahun 1937, dia melanjutkan pendidikannya ke MULO di kota yang sama dan lulus tiga tahun berikutnya.
Menginjak remaja, Lasijah masuk kepanduan –tempat dia bertemu dan berkenalan dengan RM Soetanto Reksopertomo, pria yang kelak menjadi teman kuliah dan suaminya– di Yogyakarta. Pada 1941, dia menjadi guru di Christelijke Schakel School Wonogiri. Tak lama di sana, dia lalu mengajar di SD-SMP Puro Pakualaman, SGA Stella Duce, dan di SMA Bopkri Yogyakarta.
Semasa Perang Kemerdekaan, Lasijah ikut berjuang dengan menjadi kurir yang menyamar sebagai tukang jamu. Sementara, Soetanto menjadi gerilyawan di gunung. Pertemuan-pertemuan singkat dan semangat senasib seperjuangan menumbuhkan bibit cinta di antara mereka.
Usai perang, sembari mengajar di SMA Bopkri Lasijah melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum UGM dan lulus tahun 1962. Dia menjadi asisten dosen riset Hukum Adat dan menjadi dosen Ilmu Hukum di UGM beberapa tahun setelahnya.
Sebagai poliglot, Lasijah lalu diminta FKIP dan Fakultas Sastra UGM mengampu bahasa Prancis. Keuletannya dalam belajar membuat De Sorbonne Trois, Prancis menghadiahinya beasiswa diploma pada 1972. Sepulang dari Prancis, dia mengajar di Lembaga Pendidikan ABRI dan mendapat penghargaan Satyalancana Dwidya Sistha pada 1983.
Dewinya Perempuan
Segudang kesibukan tak membuat Lasijah meninggalkan gerakan perempuan. Di kantor suaminya, Dit. Lalu Lintas PJKA Balai Besar Bandung, Lasijah menjabat sebagai ketua Ikatan Wanita Kertea Api (IWKA). Keaktifan berorganisasi itu juga untuk memenuhi kewajiban dari pemerintah. Di masa Soeharto, istri pegawai negeri diwajibkan aktif berorganisasi. Bila ketahuan melanggar, sanksinya jabatan suami bisa diturunkan. Struktur organisasi pun mengikuti jabatan suami.
Sama seperti organisasi perempuan lain di era itu, IWKA juga masuk ke dalam Kowani. Lasijah otomatis menjadi anggota Kowani. “Ibu lama aktif di Kowani. Kowani itu sudah diakui secara internasional, jadi sering dapat undangan konferensi internasional tentang peranan perempuan dan kesetaraan gender,” ujar Sri Utami Sastriastuti atau Tuti, menantu Lasijah, kepada Historia.
Tuti mengenang keaktifan Lasijah dalam berbagai kongres internasional. Lasijah kerap mengikuti kongres perempuan internasional di India atau Nairobi (Kenya). “Ibu pernah jadi pembicara di UNDP tahun 1970-an,” sambung Tuti yang rajin mengkliping pemberitaan tentang mertuanya.
Keaktifan Lasijah dalam forum perempuan internasional membuatnya terpilih menjadi ketua umum Kowani pada 1974. Sejak masuk Kowani, karier politik Lasijah meningkat signifikan. Pada 1977, dia terpilih menjadi anggota DPR/MPR dari unsur Golongan Karya.
Ketika pemerintah membentuk Kementerian Muda Urusan Peranan Wanita (UPW) pada 1978, sebagai pemenuhan syarat guna mendapatkan bantuan finansial dari Amerika Serikat, nama Lasijah jadi pilihan pemerintah untuk menjadi nahkoda pertama institusi itu. Selain karena ketua Kowani, Lasijah dipilih karena sepak-terjangnya di dalam gerakan perempuan. Untuk memastikan kesediaannya, Nyonya Tien Soeharto mengundang Lasijah ke Cendana.
Lasijah bersedia, dia pun menjadi Menteri Muda UPW pertama. Dalam memimpin insitusinya, Lasijah berprinsip bahwa penanganan perempuan di Indonesia dititikberatkan pada integritas wanita dalam pembangunan. Hal ini sejalan dengan konsep WID (Woman in Development, di masa berikutnya WID dikritik karna banyak cela) yang menjadi pegangan PBB kala itu. Perempuan mesti dibentuk sebagai individu yang mampu berperan ganda, sabagai ibu rumahtangga sekaligus sumberdaya manusia dalam pembangunan.
Ketika masa kerja Kabinet Pembangunan III berakhir, Lasijah tak berharap kembali menjadi menteri. Sebelumnya, Ibu Negara Tien juga mengingatkan dirinya harus legowo bila jabatan itu tak diberikan lagi padanya. Maka ketika pengumuman menteri baru disiarkan TVRI, Lasijah santai mengajak anak-anaknya menontonnya sambil menimati singkong goreng. Namun, dia terkejut ketika namanya muncul kembali sebagai Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. “Lho kok ibu ya?” kata Duswanto menirukan ucapan ibunya yang kaget.
Baca juga: