Masuk Daftar
My Getplus

Kekerasan, Dampak Revolusi Kemerdekaan yang Bertahan Hingga Sekarang

Kemerdekaan diraih dengan revolusi dan diplomasi. Revolusi berdampak pada hilangnya kelas menengah asli Indonesia dan munculnya legitimasi penggunaan kekerasan.

Oleh: Martin Sitompul | 23 Agt 2015
Laskar-laskar rakyat dalam revolusi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

REVOLUSI Indonesia tidak termasuk ke dalam kategori revolusi besar di dunia.Tetapi, Indonesia berhasil merdeka melalui proses revolusi dan diplomasi. Di masa revolusi inilah Indonesia mengalami saat-saat krisis dan kritis untuk mencapai negara kesatuan.

Demikian disampaikan Guru Besar Sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi, dalam seminar “Memaknai 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia di Tengah Dunia yang Berubah dalam Perspektif Sejarah” yang diselenggarkan Program Studi Sejarah FIB UI di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 20 Agustus 2015.

Menurut Zuhdi, Perjanjian Linggarjati merupakan ujian pertama bagi Indonesia menuju negara kesatuan. Ada ketegangan di antara kekuatan-kekuatan besar yang seharusnya bersatu untuk menerima konsep Republik Indonesia Serikat yang termuat dalam Perjanjian Linggarjati yang diparaf pada 15 November 1946.

Advertising
Advertising

“Hatta berpidato sedemikian keras di KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) agar Perjanjian Linggarjati diratifikasi. Di situ pula Sukarno menyatakan diri sebagai presiden revolusi,” ujar Zuhdi.

Dalam konteks “merdeka 100 persen,” Jenderal Soedirman memilih bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dibentuk 4-5 Januari 1946 atas prakarsa Tan Malaka. Organisasi yang menghimpun 141 organisasi politik, laskar, dan lain-lain, ini oposisi terhadap Kabinet Sutan Sjahrir yang memilih cara diplomasi. Puncaknya, ketika Amir Sjarifuddin dan Musso mendirikan Front Demokrasi Rakyat hingga pecahnya Peristiwa Madiun 1948 (Baca: Akhir Tragis Republik Komunis). Hal ini membuktikan, tidak mudah cita-cita Proklamasi dapat digaungkan hingga semua komponen bangsa mendukung negara kesatuan.

“Tidak mengherankan apabila muncul slogan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati. Akan tetapi, slogan ini hanya akan mati harga jika kita tidak memanfatkan segala potensi yang ada. Salah satunya sektor kelautan,” kata Zuhdi. “Sekarang, inilah tugas kita, bagaimana kita merajut pulau-pulau menjadi satu seperti yang biasa kita nyanyikan dari ‘Sabang sampai Merauke berjejer pulau-pulau.’ Dan kalau boleh, jangan lagi kita menyebutkan istilah pulau terpencil atau pulau terluar dari kepulauan-kepualauan yang ada di Indonesia.”

Sementara itu, Anthony Reid, sejarawan yang menggeluti sejarah Asia Tenggara, menyoroti dampak dari revolusi kemerdekaan. Menurutnya, ada jejak yang hilang dan muncul dari revolusi Indonesia pascakemerdekaan. Hal ini turut membentuk apa yang terjadi di Indonesia hari ini.

Pertama, hilangnya kelas menengah asli Indonesia. Banyak etnis Tionghoa dan orang-orang Eurasia yang terbunuh masa revolusi 1945-1946. Padahal, mereka adalah elite intelektual dan pelaku ekonomi kreatif di masa itu.

“Apa yang terjadi di Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi terhadap Malaysia dan Thailand. Malaysia dan Thailand tidak mengalami jejak kekerasan dalam kemerdekaannya. Lewat proses negosiasi, banyak kelas menengah di Malaysia yang menjadi nasionalis. Sedangkan di Thailand, kebanyakan kelas menengah elitenya adalah orang-orang Tionghoa yang masih memiliki garis keturunan dengan kerajaan Thailand,” kata Reid.

Kedua, munculnya legitimasi penggunaan kekerasan. Seperti yang terlihat dalam kasus Peristiwa Madiun 1948, Darul Islam sejak tahun 1949; separatisme di Maluku tahun 1950, Aceh tahun 1953, dan PRRI/Permesta tahun 1958; teror pasca-Gerakan 30 September 1965, hingga invasi ke Timor Timur tahun 1975.

“Negara secara tidak langsung melegitimasi kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah,” kata Reid. “Hal ini mendorong terjadinya tindak pelanggaran hak asasi manusia dan berimplikasi terhadap sulitnya penegakan hukum di Indonesia.”

“Rekonsiliasi pelaku-korban memang diperlukan tetapi yang lebih penting adalah hukum harus ditegakkan. Para pelanggar hak asasi manusia harus dihukum sesuai prosedur yang berlaku. Namun, hal ini agaknya susah terjadi karena hukum di Indonesia masih sangat lemah, ia digerakkan oleh penguasa,” kata Reid.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Penyebar Kristen di Kampung Ibu Prabowo Umat Advent Hari Ketujuh, Penanti Kedatangan Yesus Kedua Kali Jenderal-Jenderal dari SMP Tarutung Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru