Masuk Daftar
My Getplus

Haji Agus Salim di Mata Natsir

Dia menganggap The Grand Old Man sebagai guru utama dalam urusan politik.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 27 Jun 2020
Kiri-kanan: Haji Agus Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Sutan Sjahrir, dan Charles Tambu. (nationaalarchief.nl).

Pada 1950, Indonesia kembali mengubah bentuk pemerintahannya dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketua Masyumi Mohammad Natsir ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai perdana menteri. Jabatan itu menjadi yang tertinggi bagi Natsir sekaligus yang pertama. Kabinet Natsir mulai menjalankan aktivitas kenegaraannya pada September 1950.

Dalam Biografi Mohammad Natsir, Lukman Hakiem menyebut ada tiga tokoh yang mempengaruhi alam pikir seorang Natsir, yakni: Ahmad Hassan (pendiri Persis), Syaikh Ahmad Soorkati (pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyah), dan Haji Agus Salim. Jika Ahmad Hassan adalah guru di bidang keagamaan, Agus Salim diakui Natsir sebagai guru di bidang politik.

“Dalam mata rantai generasi kepemimpinan umat Islam Indonesia, M. Natsir adalah penerus kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) dan H. Agus Salim (1884-1954). Karena itu dapatlah dikatakan bahwa sikap dan jejak langkahnya adalah kelanjutan sikap dan jejak langkah umat terdahulu,” tulis Thohir Luth dalam M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Haji Agus Salim, Diplomat yang Melarat

Pemikiran Agus Salim cukup besar mempengaruhi kegiatan berpolitik Natsir. Sejak masih aktif di Jong Islaminten Bond (JIB), pandangan-pandangan The Grand Old Man telah dikenal Natsir. Selain karena usia keduanya terpaut cukup jauh (24 tahun) pengalaman-pengalaman Agus Salim juga telah memberi pengaruh signifikan kepada seorang Natsir.

“Kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia, maka saya rasa paling pertama tepat adalah pada Haji Agus Salim,” kata Natsir seperti dikutip Dharma Setyawan dalam Haji Agus Salim: The Grand Old Man. “…dia itu seorang politikus, seorang diplomat yang ulung, seorang ilmuwan, dan pejuang.”

Pernah pada suatu kesempatan, semasa menjabat pengurus JIB, Natsir dan beberapa kawan datang membawa satu masalah ke hadapan Agus Salim. Mereka pun terlibat perbincangan panjang. Setelah mendengar penjelasan Natsir, Agus Salim melontarkan pandangannya tentang kesulitan yang dihadapi juniornya itu secara jelas.

Baca juga: Rokok Kretek Agus Salim

Natsir dan para pengurus JIB mendengarkan dengan seksama penjelasan Agus Salim dan berharap mendapat solusi yang baik atas permasalahan mereka. Meski telah lengkap berbicara, namun gurunya itu tak kunjung memberikan jawaban, hingga seseorang berani menanyakannya. Dengan cepat Agus Salim menyela:

“Jawaban permasalahan itu ada pada saudara-saudara, karena ini persoalan generasi saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya yang masih kecil, jikalau saya terus menggendongnya kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh ia, tetapi ia akan beroleh pengalaman dari itu,” ucap Agus Salim.

Bagi Natsir, Agus Salim selalu ingin melihat generasi setelahnya memecahkan persoalan sendiri. Jika memang telah berusaha tetapi kesulitan itu sulit dipecahkan, barulah dia ikut ambil bagian. Tapi itupun tidak secara langsung. Dengan cara begitu Agu Salim yakin akan tumbuh keberanian dan kedewasaan yang akan melahirkan corak kepemimpinan baru.

Baca juga: Agus Salim Tak Pernah Berhenti Belajar

Natsir dan Agus Salim sendiri pernah bekerjasama. Keduanya pernah duduk di kabinet yang sama sebanyak tiga kali: Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949). Natsir bertindak sebagai Menteri Penerangan, sementara Agus Salim dipercayai memimpin Kementerian Luar Negeri. Mereka kerap terlibat dalam diskusi-diskusi soal kenegaraan.

Kedekatan Natsir dan Agus Salim di dalam kabinet disaksikan langsung oleh sejarawan George Mc Turnan Kahin saat mengunjungi Yogyakarta pada Agustus 1948. Ditulis H. Azmi dalam “Mohammad Natsir Nasional Sejati” termuat 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah, Kahin yang hendak menemui Natsir di kantor kementerian penerangan terlebih dahulu berbincang dengan Agus Salim. Bagi Menteri Luar Negeri itu Natsir adalah sosok yang sederhana, tetapi memiliki budi pekerti baik.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang cakap dan penuh kejujuran…,” kata Agus Salim.

TAG

haji agus salim mohammad natsir

ARTIKEL TERKAIT

Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan Menggerakkan Ideologi Kebangsaan dari Bandung Keponakan Hitler Melawan Jerman