Tahun 1948, Letnan Muda Sho Bun Seng adalah anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat. Selain memata-matai posisi musuh, Sho juga dikenal sebagai piawai dalam urusan penyelundupan, terutama menyelundupkan candu. “ Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura lalu hasilnya dibelikan senjata dan amunisi…” kenangnya.
Selama berlangsung Agresi Militer Belanda II di Sumatera Barat, Sho mengaku aktif ”berniaga” candu. Barang-barang itu didapat rata-rata dari rekan-rekannya sesama gerilyawan seperti Letnan Kolonel Abdul Halim melalui Kompi Bakapak dan Letnan Samik Ibrahim dari Kesatuan Hizbullah. “ Jumlahnya bisa mencapai puluhan kilogram setiap penjualan,” ujar lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta tersebut.
Pemanfaatan candu dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) memang suatu keniscayaan. Menurut Robert B. Cribb dalam tulisannya berjudul Opium and the Indonesian Revolution, saat menghadapi milter Belanda, para pejuang republik sangat membutuhkan dana yang banyak. Sebagai jalan keluarnya, mereka lantas melelang habis stok candu, sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda. “ Itu ternyata sangat membantu pembiayaan revolusi mereka,” ungkap Cribb dalam tulisan yang dimuat oleh jurnal Modern Asia Studies edisi 22 (April 1988).
Kendati dijalankan tanpa gembar-gembor, bisnis candu di era Perang Kemerdekaan sejatinya direstui pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam Djogdja Documenten no.230 milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat resmi yang menyebutkan soal perniagaan barang haram itu. Salah satunya, surat Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara RI R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo yang meminta kepolisian membantu bisnis candu yang akan digunakan untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri, membiayai para pejabat Indonesia dan menggaji pegawai-pegawai RI.
Untuk melancarkan pengelolaan dan transaksi candu, pemerintah mendirikan kantor-kantor regi candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Sebut saja yang terbesar adalah Kantor Regi Candu dan Garam Kediri, Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta dan Kantor Depot Regi Canda serta Obat Yogyakarta.
Namun dari sekian pihak yang menerima manfaat dari bisnis candu tersebut, pihak tentaralah yang mendapat porsi paling besar. Hampir setiap waktu, mereka mengajukan permintaan seperti yang dilakukan oleh Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata pada 22 Januari 1948. Kepada Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta, Aroedji meminta pasokan candu untuk kepentingan para pejuang di Jawa Timur.
“ Mayor Jenderal drg. Moestopo sebagai Komandan Teritorial Komando Jawa Timur diberi kewenangan penuh untuk mengambil sejumlah candu itu langsung di Surakarta,” tulis Julianto Ibrahim dalam Opium dan Revolusi; Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950).
Divisi Siliwangi pun termasuk kesatuan yang mendapat jatah barang haram itu dari pemerintah republik. Tercatat mereka mendapat izin untuk menukarkan atau menyelundupkan candu sebanyak 15.000 cepuk/tube untuk dibelikan beberapa jenis bahan pakaian. “ Pihak yang bersedia menyediakan dan mengusahakan bahan pakaian itu adalah Bank Negara Indonesia (BNI), P.T. Margono dan beberapa pedagang lainnya,” ungkap Julianto.
Tidak hanya TNI, kesatuan lasykar yang dekat dengan pemerintah juga bisa jadi kecipratan uang candu tersebut. Sebagai contoh, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), pernah mengirim surat permohonan kepada Kantor Wakil Presiden agar mendapat izin memperoleh candu dari Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta sebanyak 3000 cepuk/tube.