PADA 1990, melalui survey Majalah Time menobatkan Bandung sebagai salah satu kota paling aman (safest) di dunia. Padahal saat itu, Bandung merupakan kota berpenduduk padat dengan populasi dua juta jiwa lebih dan mendiami wilayah seluas 16.729,50 hektare.
Menurut Joshua Barker, antropolog Universitas Toronto Kanada, salah satu institusi yang membuat Bandung menjadi kota yang aman adalah Siskamling (sistem keamaman lingkungan). Kegiatannya disebut ronda dengan suatu aturan –yang di setiap RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga), pasti ada: 1 x 24 jam wajib lapor.
“Siapa pun yang tinggal di lingkungan selama lebih dari dua puluh empat jam harus melapor kehadirannya kepada ketua RW (1 x 24 jam wajib lapor),” kata Barker dalam tulisannya, “Surveillance and Territoriality in Bandung” yang dimuat dalam Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam. “Aturan ini dipampangkan di pintu masuk ke RW tersebut dan menjadi pemberitahuan ketika seseorang pergi,” lanjut Barker.
Aturan 1 x 24 jam merupakan hukum kolonial Belanda yang agak dipaksakan secara sistematis, terutama untuk orang asing. Aturan yang diketahui melalui buku L. Th. Mayer, Peratoeran Hoekoeman Policie jang Oemoem atas Orang Bangsa Jawa dan Sebrang di Tanah Hindia-Nederland (18??) ini, antara lain menyebutkan tentang pemberlakuan denda satu sampai lima belas rupiah jika: pertama, seseorang yang berpindah dari suatu kampung ke kampung lain tanpa memberitahukan ke kepala kampung asal. Kedua, seseorang yang pindah ke sebuah kampung tapi tidak memberitahukan nama, pekerjaan, dan tempat asal kepada kepala kampung dalam waktu 24 jam setelah tiba di kampung tersebut. Ketiga, seorang yang menerima tamu tapi tidak melaporkan nama, pekerjaan dan tempat asal orang tersebut kepada kepala kampung dalam 24 jam. Dan dia tidak memberitahukan kepala kampung atas kepergian orang tersebut.
Aturan 1 x 24 jam dibuat “karena dalam setiap daerah (negri) ada yang memimpin, atau orang yang bertanggung jawab untuk mempertahankan keamanan publik (kaslametannja orang banjak), yang harus diberitahu ketika ada orang yang datang dan pergi … sehingga tidak seorang pun yang akan ceroboh untuk meninggalkan tempat itu atau membawa orang lain ke tempat itu tanpa memberitahukan kepada pemimpin setempat atau polisi. Hal ini juga untuk mencari pelaku, atau orang lain lebih mudah,” tulis L. Th. Mayer sebagaimana dikutip Barker.
Aturan 1 x 24 jam diterapkan dengan efektif pada masa Orde Baru dengan “RT/RW sebagai pihak yang mendapat ‘kehormatan’ untuk menerima laporan 1 x 24 jam dari warga yang nyelonong ke kampungnya melebihi batas waktu tersebut,” tulis tajuk Sinar Harapan, 1 November 2004.
Di pinggiran kota Bandung yang miskin, ketika Barker melakukan penelitian dan tinggal dengan kepala RW, pemantauan kedatangan dan kepergian orang-orang menjadi sebagian besar pekerjaan ketua RW dalam 1 x 24 jam. Tapi sistem pelaporannya dapat bervariasi dengan aturan yang berbeda. Di wilayah perkotaan hal penting tentang laporan ini adalah bahwa identitas pengunjung dicatat dalam sebuah buku. “Pertanyaan umum yang biasa ditanyakan kepada pengunjung seperti dari mana berasal, bagaimana datangnya, dan akan tinggal bersama keluarga siapa,” kata Barker.
Peranan RT/RW melakukan kontrol keamanan di lingkungannya dengan menerapkan aturan 1 x 24 jam wajib lapor diadopsi oleh Orde Baru dari sistem tonarigumi saat pendudukan Jepang di Indonesia. Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer sejak pendaratannya di Jawa pada 1942, Jepang menghidupkan kembali surat jalan dan bertempat tinggal (Wijk en Passenstelsel) yang diperkenalkan dan dikenakan oleh VOC kepada penduduk Tionghoa. Jepang mengenakannya kepada seluruh penduduk Jawa.
“Orang harus memiliki keterangan penduduk. Untuk bepergian ke luar daerahnya harus ada surat keterangan khusus. Menginap di luar domisili harus melapor ke pejabat setempat. Semua ini diawasi oleh tonarigumi yang ada di setiap kampung,” tulis Pram.
Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol menulis bahwa tonarigumi resmi dikenalkan di Jawa pada Januari 1944. Pada jenjang terendah, tonarigumi terdiri dari 10 atau 20 rumah tangga dan “berlaku untuk memperketat cengkeraman pemerintah atas penduduk serta untuk meningkatkan komunikasi dengan mereka.”
Di Jepang, cikal bakal tonarigumi ada sejak zaman Tokugawa. Saat itu, unit dasar masyarakat pedesaan disebut buraku, yakni pengelompokan rumah secara alamiah terdiri dari 50-100 rumah tangga yang dibagi ke dalam beberapa kelompok yang disebut goningumi (rukun lima rumah tangga). Setelah Restorasi Meiji, buraku dibubarkan. Pada 1890, sekira 76.000 buraku direorganisasi melalui dekrit pemerintah ke dalam unit administratif baru: son yang dikepalai oleh soncho. Saat itu, jumlah son ada 12.000. Tapi di banyak daerah buraku tetap dihidupkan dengan nama baru: tonarigumi.
Menjelang Perang Dunia II, dalam rangka kebijakan “Mobilisasi Total”, Kementerian Dalam Negeri mulai menaruh perhatian kepada manfaat tonarigumi sebagai unit terendah untuk melakukan kontrol dan sekaligus memobilisasi penduduk. Tonarigumi bertindak sebagai sarana efektif dalam melakukan kontrol atas penduduk Jepang pada masa perang. Setiap rumah tangga dipaksa supaya berpartisipasi, dan bagi yang tidak mau, tidak berhak untuk ikut serta dalam kegiatan regional apa pun, termasuk distribusi makanan.
Dalam beberapa hal tonarigumi di Jawa dan di Jepang memiliki fungsi yang sama. Pada kedua kasus, di masyarakat pedesaan tonarigumi dianggap sebagai lembaga untuk membantu pemerintahan desa karena beban kerja pemerintah yang meningkat akibat situasi perang.
“Di antaranya yang terpenting adalah keamanan dengan bekerja sama keibodan (organisasi keamanan) dalam mempertahankan tanah air dan melawan serangan udara, kebakaran, mata-mata, dan penjahat, tulis Kurasawa.
Dan keamananlah yang menjadi prioritas utama Orde Baru. Karena itu, ketua RT/RW harus menjaga keamanan lingkungannya dengan menerapkan aturan 1 x 24 jam wajib lapor. Sejarawan Asvi Warman Adam kepada Sinar Harapan, 1 November 2004, mengakui bahwa RT/RW di era Orde Baru memang menjadi ”momok” bagi kebebasan masyarakat sipil. Ia menjadi “mata dan telinga” penguasa. Pada 1980-an, ia digunakan untuk menyisir para aktivis maupun simpatisan yang ditengarai terlibat dalam G30S. “Proses sejarah dan kesadaran politik warga yang berkembang saat ini, telah menggeser peranan RT/RW tersebut menjadi lembaga yang menampung aspirasi komunitas,” kata Asvi.
Tulisan 1 x 24 jam masih dapat kita temui, biasanya ditempel di pos ronda. RT/RW juga masih menjalankan tugasnya mencatat penduduk yang datang dang keluar, meski tidak seketat Orde Baru. Sepertinya, pertumbuhan dan mobilisasi penduduk yang cepat menjadi penghambat pelaksanaan aturan 1 x 24 jam.