Masuk Daftar
My Getplus

Ganda Campuran, dari Pemain Sisaan Jadi Andalan

Mulanya kalah pamor, ganda campuran jadi tumpuan harapan yang dibanggakan Indonesia.

Oleh: Randy Wirayudha | 24 Jul 2019
Pasangan ganda campuran Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir kala berselebrasi usai memastikan medali emas di Olimpiade Rio de Janeiro 2016 (Foto: bwfbadminton.com)

SERASA masih ada yang mengganjal. Dari empat laga final Indonesia Open ke-38 pada Minggu, 21 Juli 2019, hanya ganda putra yang mampu dimenangkan wakil tuan rumah.

Yang disayangkan adalah asa di ganda campuran. Sektor ini sejak era 1990-an turut jadi andalan Indonesia di berbagai gelanggang. Terakhir sektor ini memberi satu-satunya medali emas kepada Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, kala pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet) mengalahkan pasangan Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying di final.

Dipandang Sebelah Mata

Sebagaimana ganda putra, ganda campuran mulanya juga dipandang sebelah mata. Sebagaimana dalam olahraga tenis, nomor ganda di badminton juga kalah pamor dibanding tunggal. Alhasil, tidak ada pelatihan khusus. Pemilihan pemain hanya bersandar pada penilaian pelatih bahwa si pemain bisa mengemban tugas rangkap, tunggal maupun ganda.

Advertising
Advertising

Realitas itu lumrah pada dekade 1970-an. Pemain ganda legendaris Christian Hadinata pun mengalaminya. “Biasanya pemain tunggal merangkap ganda. Di Kejuaraan Asia 1971, saya malah merangkap di dua nomor ganda. Di ganda putra dengan Ade (Chandra) dan ganda campuran dengan Mbak Retno Koestijah, di mana kita juara di ganda campuran,” ujar Christian kepada Historia.

Baca juga: Dulu Ganda Putra Bulutangkis Adalah Nomor Buangan

Setahun berselang, Christian berganti pasangan dengan Utami Dewi, adik dari Rudy Hartono, untuk tampil di Olimpiade Munich. Kala itu bulutangkis masih jadi cabang olahraga demonstrasi dan duet Christian/Utami Dewi membawa pulang medali perunggu.

Christian Hadinata & Imelda Wiguna, legenda ganda campuran pemenang All England 1979. (badmintonindonesia.org).

Prestasi Christian di nomor ganda campuran terus melejit. Bersama Imelda Wiguna, keduanya menjuarai All England 1979. Ketika berpasangan dengan Ivana Lie, Christian berhasil merebut medali emas Asian Games 1982.

“All-England 1979 tidak ada yang menyangka. Waktu itu ganda campuran baru populer di kalangan Eropa. Di Asia apalagi di Indonesia, tidak diminati, tidak diseriusi. Begitu juga dengan Ivana di Asian Games (1982). Di Asian Games salah satu kenangan paling manis juga karena suasananya berbeda jika tampil di ajang multi-event seperti Asian Games itu,” sambungnya.

Baca juga: Richard Leonard Mainaky Pelatih Bulutangkis Bertangan Besi

Sempat menurun, sumbangan prestasi dari ganda campuran bangkit lagi sejak 1990-an. Sektor ini jadi tanggungjawab Richard Mainaky, eks pemain tunggal dan ganda putra, yang diajak Christian melatih di Pelatnas PBSI. Mengawali dari asisten pelatih pada 1994, dan dua tahun berselang Richard memegang penuh pembinaan ganda campuran. Ia memoles anak-anak asuhnya dari sisa sektor-sektor lain.

“Bicara materi dan kualitas, sektor ganda campuran ya bisa dibilang pemain sisa. Tapi ya inilah tantangan saya untuk mengubah pemain buangan jadi pemain juara,” kata Icad, sapaan akrab Richard.

Kerja keras Icad berhasil melahirkan bibit demi bibit ganda campuran yang melanjutkan estafet prestasi di sektor itu. Setelah Tri Kusharyanto/Minarti Timur, berturut-turut hadir pasangan Nova Widiyanto/Vita Marissa, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet), hingga Praveen Jordan/Debby Susanto. Semua lahir dari pola keras yang diterapkan pria berjuluk “Pelatih Bertangan Besi” itu.

Baca juga: Sudirman Bukan Sembarang Piala Bulutangis

“Saya (punya) prinsip begini. Sebenarnya pelatih itu bukan harus pintar ya. Dia harus mau tegas, disiplin, kerja keras di lapangan. Itu yang membuat atlet berhasil. Kalau pelatih hanya pintar tapi tidak tegas dan kerja keras, mau pemain bagaimanapun akan sulit. Jadi prinsip tegas, kerja keras, dan disiplin semua harus jalan,” sambungya.

Hampir semua gelar pernah dipetik anak-anak asuhnya, kecuali Piala Sudirman. Utamanya lewat perjuangan Owi/Butet, duet yang dibesut Icad dari nol.

Richard Leonard Mainaky, pelatih kepala ganda campuran Pelatnas PBSI. (Randy Wirayudha/Historia).

Sayangnya semua anak asuhnya gagal menyandingkan gelar juara sebagaimana rekan mereka di ganda putra pada Indonesia Open 2019. Owi bersama partner barunya, Winny Kandow, keok di perempatfinal oleh duet Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying (11-21, 21-14, 14-21). Owi masih dalam masa transisi setelah “bercerai” dari Butet Januari lalu. Ini jadi pekerjaan rumah Icad berikutnya agar bisa tune dengan pasangan barunya itu.

“Tontowi/Winny kalah pengalaman, khususnya Winny. Sedangkan lawan pengalamannya segudang. Itu tanggungjawab saya. Ke depannya kami akan selalu benahi kekurangan secepat mungkin,” ujar Icad di lain kesempatan, dikutip situs resmi PBSI, 19 Juli 2019.

TAG

bulutangkis christian hadinata richard mainaky

ARTIKEL TERKAIT

Torehan Medali Olimpiade dari Sabetan Raket Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Cerita Liem Swie King Terobos Banjir Badminton is Coming Home! Menguber Uber Cup Putri Bulutangkis dengan Segudang Prestasi Elizabeth Latief dan Semangat Kartini Indonesia dan Kejayaan All England Alan Budikusuma Terpuruk di Kuala Lumpur, Berjaya di Barcelona