KEBERHASILAN gerilya Jenderal Soedirman terletak pada kesediaan masyarakat membantu perjuangannya. Mereka menyediakan penginapan dan makanan, membuatkan tandu baru, memikul tandu, dan penunjuk jalan karena penduduk setempat lebih mengetahui arah jalan yang akan ditempuh.
“Menjadi kebiasaan rombongan itu untuk menggunakan tenaga-tenaga setempat sebagai penunjuk jalan,” tulis buku Soedirman Prajurit TNI Teladan.
Pada 24 Januari 1949 malam, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memutuskan jalan dari Desa Jambu menuju Warungbung. Penduduk setempat menyarankan agar paginya sudah harus berangkat ke tempat lain karena ternyata rombongan bergerek mendekati markas Belanda di Kasugihan, yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. Tandu dibuat dan pemanggul disiapkan malam itu juga. Benar saja, setelah mereka sampai di Desa Gunungtukul pada 25 Januari 1949, deru kendaraan militer Belanda begitu dekat sehingga rombongan terus melanjutkan prejalanan.
Sewaktu hendak memotong jalan Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949, Tjokropranolo seperti biasa mencari seorang penunjuk jalan. “Di daerah itu oleh penduduk setempat saya diperkenalkan kepada seorang penunjuk jalan bernama Putih (kemungkinan besar bukan nama sebenarnya, red.),” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia.
Baca juga: Tak Selamanya Jenderal Soedirman Ditandu
Namun, menurut Soedirman Prajurit TNI Teladan, orang itu penduduk Desa Jambu di Trenggalek, yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Dengan tetap waspada, tawaran itu diterima dengan senang hati.
Mula-mula, Tjokropranolo merasa aneh mengapa justru si Putih yang berperawakan kecil, berkulit putih, berperangai lembut tapi gerakannya lincah, dipilih sebagai penunjuk jalan. Sedangkan di sekelilingnya banyak orang lain yang postur badannya besar dan kokoh. Rupanya, kata Tjokropranolo, tidak ada orang yang berani menjadi penunjuk jalan karena rombongan sudah dekat dengan pasukan Belanda. Tapi si Putih berani.
“Tanpa bertanya lagi saya terima saja si Putih sebagai penunjuk jalan. Dalam perjalanan dari desa Gunungtukul ke desa Ngideng, si Putihlah yang menjadi penunjuk jalan,” kata Tjokropranolo.
Dua hari dua malam si Putih berjalan. Sesampainya di Desa Ngideng, rombongan menginap di rumah seorang penduduk yang cukup berada. Mereka dilayani dengan baik. Rumahnya tidak jauh dari sungai yang cukup deras, sehingga mereka lebih senang mandi di sungai daripada di sumur.
Baca juga: Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan
Tjokropranolo curiga terhadap si Putih karena tidak mau mandi bersama-sama dan memilih mandi di tempat lain yang lebih jauh. Dia pun memerintahkan seorang anggota rombongan, Mustafa, mengikuti si Putih. Dia khawatir si Putih sudah tahu siapa yang ditandu dan melaporkannya kepada pasukan Belanda di Ponorogo.
Setelah mengamati si Putih, Mustafa dengan tertawa lebar melaporkan kepada Tjokropranolo bahwa si Putih adalah "seorang wanita yang bertabiat kelaki-lakian." Bisa saja, si Putih tomboy, namun Tjokropranolo menyebutnya waria. “Saya sendiri ngga ngira. Sifat-sifatnya persis laki-laki. Legalah hati saya, setelah mengetahui bahwa si Putih itu ternyata seorang waria. Dia tentunya akan selalu menghindar mandi bersama kita,” kata Tjokropranolo.
Kendati Tjokropranolo tidak mengira telah dituntun oleh seorang waria, namun dia mengakui peranannya. “Sungguh ngga ngira. Pokoknya kita selamat.”*