GEDUNG besar bergaya setengah art deco itu masih berdiri kokoh di tengah kota Yogyakarta. Catnya yang bercorak kombinasi hijau tua dan hijau muda menandakan bahwa bangunan tersebut ada di bawah pengawasan pihak TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat). Semula, gedung yang dibangun pada 1904 itu merupakan rumah dinas pejabat administrator perkebunan Hindia Belanda di Jawa Tengah dan Yogyakarta, namun pada 1942-1945 dikuasai militer Jepang.
“Pasca proklamasi kemerdekaan gedung ini kemudian beralih fungsi menjadi MBTKR (Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat),” ujar seorang pemandu di Museum Pusat TNI Dharma Wiratama (nama terkini gedung tersebut) kepada Historia.
Sekitar 74 tahun yang lalu, di gedung MBTKR terjadi suatu peristiwa sangat penting. Ceritanya, sebulan usai diumumkan Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 oleh Presiden Sukarno, TKR sama sekali belum memiliki pemimpin tertinggi. Kendati Presiden sudah menetapkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun sampai batas yang sudah ditentukan, pemimpin pemberontakan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar itu tak juga muncul. Isu yang bertiup saat itu, Soeprijadi diperkirakan sudah dibunuh oleh bala tentara Dai Nippon.
Baca juga: Ketika Tentara Tanpa Panglima
Kekosongan pimpinan membuat TKR terkesan rapuh karena para anggotanya bertindak nyaris tanpa kendali. Pengangkatan dan pemberhentian para komandan di daerah sebagian besar dipilih langsung oleh bawahannya, atau paling banter dilakukan oleh Komite Nasional Daerah setempat, atau juga oleh panitia yang sengaja dibentuk untuk maksud itu.
“Bahkan tidak jarang perorangan pun menyusun sendiri suatu pasukan dan ia menjadi komandannya…” tulis Letnan Jenderal (Purn) Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia
Menurut Tjokropranolo, cara-cara semacam itu tentu saja tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Harus ada suatu tentara yang kuat untuk menjadi tulang punggung dari semua kesatuan-kesatuan perjuangan bersenjata yang ada guna menghadapi Belanda yang diperkirakan akan menguasai kembali setelah pihak Sekutu kelak meninggalkan Indonesia.
Berdasarkan situasi tersebut, formatur Kepala Markas Besar Oemoem (MBO) TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo berinsiatif mengadakan rapat besar antar perwira. Pertemuan itu diadakan di gedung MBTKR yang terletak di Jalan Gondokusuman (sekarang Jalan Jenderal Soedirman) Yogyakarta pada 12 November 1945, dengan melibatkan para perwira TKR (paling rendah berpangkat Letnan Kolonel atau menjabat sebagai komandan resimen).
“Semua perwakilan yang diundang hadir kecuali dari Jawa Timur,mereka masih sibuk berperang melawan Inggris di Surabaya,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Baca juga: Akhir Pertempuran Surabaya
Namun sebelum acara berlangsung, sama sekali tak disebut-sebut soal rencana pemilihan panglima tertinggi TKR. Dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid I, Jenderal (Purn) A.H. Nasution sendiri bersaksi bahwa acara tersebut pada awalnya ditujukan untuk membahas strategi mengatasi pergerakan pasukan Sekutu dan mengantisipasi kehadiran Belanda yang dikatakan ingin menguasai kembali wilayah Indonesia.
“Pokok konperensi seperti yang telah diketahui oleh para hadirin sebelumnya ialah pembahasan soal: “Membangun tentara yang kuat guna menghadapi serangan musuh.” ungkap Tjokropranolo.
Riuh dan Kacau
Dalam film Jenderal Soedirman yang beberapa waktu lalu diluncurkan, digambarkan suasana rapat memang sedikit hangat. Namun sejatinya, situasi dalam rapat tersebut berlangsung kacau, tidak disiplin dan sangat panas. Menurut Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, sejak awal pun sudah ada kesan bahwa rapat perwira itu tidak akan berjalan tertib. Laiknya para koboy, para peserta datang ke ruangan rapat dengan masing-masing menyandang pistol di pinggang. Belum lagi di antara mereka yang membawa gunto (pedang Jepang) dan klewang Belanda.
“Saya menyebutnya sebagai “rapat koboy-koboyan", “ ujar Didi dalam otobiografinya: Pengabdian bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono (penyusun).
Didi menyebut kekacauan itu terjadi justru disebabkan oleh kekurangtegasan Oerip yang menjadi pimpinan rapat. Namun dirinya paham jika Oerip tidak bisa mengendalikan para peserta rapat yang sama sekali sebagian besar masih asing bagi dirinya.
Baca juga: Agar Negara Tak Lagi Zonder Tentara
"Saya kira itu berhubung dengan situasi yang apabila tidak dihadapi secara bijaksana, malah akan tambah memanas,” ujar Didi.
Kesemrawutan semakin menjadi-jadi saat setiap orang yang tampil bicara di forum selalu diteriaki kata “jelek” lalu dipaksa untuk turun dari mimbar. Tak terkecuali, Menteri Pertahanan Suljodikusumo dipaksa untuk turun dari mimbar, walaupun ia belum selesai berpidato.
“Pokoknya rapat itu jauh dari sikap kedisiplinan dari sebuah organisasi tentara,” kenang mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut.
Tiba pada sesi pemilihan Panglima Besar, suasana semakin riuh dan kacau. Setiap orang memaksakan diri untuk bicara di forum itu. Karena situasi demikian, atas usul Komandan Divisi V TKR Banyumas Kolonel Soedirman, maka rapat diskor selama beberapa saat. Namun begitu dimulai kembali, rapat ternyata langsung diambilalih oleh Kolonel Hollan Iskandar.
“Saya pikir sebagai seorang bekas anggota PETA, sejak semula Hollan memiliki visi untuk menjadikan Panglima Besar TKR datang dari kalangan PETA,” ujar Rushdy Hoesein.
Kecurigaan Rushdy berkelindan dengan analisa Salim Haji Said. Menurut pakar militer Indonesia tersebut, bukan rahasia lagi, jika kala itu para perwira TKR alumni PETA “mencurigai” Oerip sebagai pro Belanda. Mengutip hasil wawancara dirinya dengan Nasution, Said menyebut sesungguhnya telah terjadi “kudeta” terhadap Oerip dalam rapat itu.
“Pak Nas bilang ke saya: ia sangat mencurigai PETA-PETA itu sudah melakukan rapat gelap di luar sebelumnya,” ujar Said kepada Historia.
Baca juga: Kekecewaan Didi kepada Nasution
Suara Enam Divisi
Di bawah pimpinan Hollan Iskandar maka proses pemilihan pun dilakukan lewat cara pemunggutan suara. Delapan kandidat pun bermunculan di papan tulis. Mereka adalah Sri Sultan Hamenkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, Pardi dan Nazir.
Selanjutnya, proses pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu persatu, begitu nama para kandidat disebutkan oleh panitia. Lewat cara tersebut, sesi pemilihan berlangsung sampai tiga kali. Sesi pertama dua orang kandidat gugur. Berikutnya, dua orang kandidat gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, Soedirman unggul dengan 22 suara mengatasi perolehan Oerip yang hanya 21 suara.
Sejatinya, kemenangan Soedirman tak lepas dari peran Kolonel Muhamad Nuh yang menyumbangkan 6 suara. Saat diwawancarai oleh Noor Johan Nuh (yang tak lain adalah putra dari Muhamad Nuh), Nasution membenarkan bahwa suara wakil dari TKR Sumatera itu secara signifikan adalah penentu gagalnya Oerip menjadi Panglima Besar TKR.
“Kolonel Muhammad Nuh hadir membawa surat dari Koordinator/ Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani yang menetapkan dirinya sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra,” ungkap Noor Johan dalam blog pribadinya. Lantas bagaimana ceritanya Muhamad Nuh bisa memberikan 6 suara untuk Soedirman?
Sebagai satu-satunya wakil TKR Sumatera pada rapat itu, sejak kali pertama Muhamad Nuh merasa berhak menyumbangkan 6 suara. Itu diyakini Muhammad Nuh karena kapasitasnya selaku wakil Komandemen Sumatera yang membawahi 6 divisi. Namun karena dalam kenyataannya divisi yang dimaksud belumlah terbentuk, pendirian Nuh ditentang oleh beberapa Panglima Divisi dan Komandan Resimen yang berasal dari Jawa.
“Mereka menghendaki Kolonel Muhammad Nuh pun sepatutnya hanya punya satu suara,” ungkap Noor Johan.
Disinilah peran Holand Iskandar bermain. Selaku pimpinan rapat, Holan meluluskan keinginan Muhammad Nuh dengan mengacu pada kawat/telegram dari Presiden Sukarno mengenai pengangkatan Dr. A.K. Gani sebagai Koordinator/Organisator Tentara di Sumatra. Kawat Presiden itulah yang menurunkan keputusan penetapan Jenderal Mayor Suhardjo sebagai Panglima Komandemen Sumatra dan Kolonel Muhammad Nuh sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra.
“Pada akhirnya, argumen yang diutarakan Kolonel Muhammad Nuh dapat diterima oleh peserta konperensi,” tulis Noor Johan.
Konfrensi ala koboy itu berakhir dengan disepakatinya Soedirman selaku Panglima Besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo tetap duduk sebagai Kepala Staf Umum TKR. Menurut sejarawan Moehkardi, terpilihnya Soedirman tidak terlepas dari nama harumnya saat bersama pasukannya berhasil menghalau Inggris di Ambarawa dan Magelang beberapa bulan sebelum momen pemilihan Panglima Besar TKR itu berlangsung.
”Itu harus diakui, sedang nama Pak Oerip saat itu hanya populer di kalangan anggota TKR eks KNIL saja,” ungkap mantan dosen sejarah di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) tersebut.
Baca juga: Gebrakan Pertama Si Opsir Tua
Rendah Hati
Walaupun dihasilkan dari suatu “rapat koboy-koboyan”, sang jenderal dengan besar hati menerima keputusan tersebut. Tanpa merasa dirinya seorang senior, ia lantas langsung memberi selamat kepada Soedirman dan menyatakan janji akan setia sehidup semati pada semua keputusan yang akan dikeluarkan oleh atasan barunya tersebut. Sebaliknya, Soedirman sendiri yang menyadari “kejuniorannya” dibanding Oerip, meminta mantan perwira KNIL itu untuk bersedia membantu tugas-tugasnya sebagai seorang panglima besar.
“Mas Oerip itu dikenal sebagai seorang yang rendah hati dan kesediaannya untuk berkorban bagi nusa dan bangsa begitu besar sehingga sering kali ia menyingkirkan perasaan-perasaan pribadi,” kata Rohmah Soemohardjo Soebroto, istri dari sang jenderal.
Dan memang sejarah mencatat, janji itu terus dipegang Oerip sampai dia meninggal pada 17 November 1948. Walaupun eks perwira KNIL, dalam soal prinsip perjuangan, Oerip segaris dengan Soedirman yakni: Indonesia merdeka 100%. Karena garis ini pula, Oerip menentang keras terjadinya Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville hingga ia “disingkirkan” dari jabatan Kepala Staf Umum TNI oleh Presiden Sukarno.
“Sukarno yang memberi, Sukarno pula yang mengambil…”kata Rohmah.
Menurut Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo, alih-alih sebagai dua pesaing, hubungan antara Oerip dan Soedirman lebih menyerupai relasi “abang dan adik”. “Itu diperlihatkan dalam suasana informal, Pak Oerip lebih suka memanggil Pak Dirman sebagai “dimas” dan sebaliknya Pak Dirman sendiri lebih senang memanggil Pak Oerip sebagai “kangmas” atau “ Pak Oerip” saja,” ujar Wakil Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) itu.
Begitu loyalnya Oerip kepada Soedirman, hingga suatu hari, kala ada seorang kawan baiknya datang dan menyitir soal Oerip yang lebih pantas menjadi panglima besar karena ia lebih senior dan berpengalaman dibanding Soedirman, dengan santai Oerip menjawabnya:
“Soedirman lebih cocok dibanding saya menjadi panglima karena sebagian besar prajurit kita adalah bekas anggota PETA,” ujar Oerip.
Baca juga: Pengunduran Diri Jenderal Soedirman