SEKIRA akhir September 1945, keluarga besar Presiden Sukarno sempat “mengungsi” ke Bogor. Kepindahan itu terjadi karena di Jakarta teror tentara Belanda mulai merajalela. Namun ketika di Bogor pun, Fatmawati Sukarno merasakan hal serupa. Dia tidak merasa betah dengan situasi revolusiener yang tengah melanda kota hujan itu.
“Bung Karno dan aku pulang kembali ke Jakarta, tetapi Guntur dan nenek-kakeknya tetap tinggal di Bogor (Jalan Ciwaringin No.33), bersama keluarga Harun Kabir …” ujar Fatmawati dalam Catatan Kecil Bersama Bung Karno Bagian I.
Hingga kini sosok Harun Kabir dikenal sebagai tokoh pejuang di Jawa Barat. Namanya tertabalkan di tiga kota: Bogor (Jalan Kapten Harun Kabir yang lalu berganti menjadi Jalan Taman Safari), Cianjur (Jalan Mayor Harun Kabir) dan Sukabumi (Jalan Kapten Harun Kabir).
Baca juga: Soeroso, Banteng Muda Musuh Belanda
“Pak Harun itu dulu pernah menjadi komandan saya di Lasykar Ciwaringin 33,” ungkap Sukarna, lelaki kelahiran tahun 1921. Siapakah sebenarnya Harun Kabir?
*
Sejatinya Harun Kabir bukanlah berasal dari Bogor, Cianjur atau Sukabumi, seperti banyak diyakini oleh beberapa peneliti sejarah. Aslinya dia adalah menak Bandung dan putra tunggal dari Raden Kabir Natakusumah, keturunan langsung dari Bupati Bandung ke-5 Raden Wiranatakusumah I (1769-1794).
“Ayah saya lahir di Kapatihan pada 5 Desember 1910…” ungkap almarhum Hetty Kabir (putri ke-2 pasangan Harun Kabir-R.A. Soekrati) yang saya wawancarai pada 2014.
Menjelang pemerintah Hindia Belanda runtuh, Harun Kabir menjabat sebagai Asisten Residen Bogor. Ketika militer Jepang berkuasa (1942—1945), dia ditempatkan sebagai pejabat di Zaimubu (Departemen Keuangan), Jakarta. Pasca proklamasi 17 Agustus 1945, Harun lantas mendirikan Lasykar Ciwaringin 33 yang memakai rumahnya sebagai markas besar.
Pada awal 1946, Lasykar Ciwaringin 33 dilebur ke dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa karya Dinas Sejarah Kodam III, beberapa bulan kemudian, Divisi Siliwangi mendapuk Harun Kabir sebagai Kepala Staf Brigade Surjakantjana, dengan pangkat mayor. Namun kemudian karena ada pembenahan struktur dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta, semua pangkat perwira diturunkan menjadi satu tingkat. Harun pun turun pangkat menjadi kapten.
Sebagai kepala staf brigade yang membawahi Bogor, Cianjur dan Sukabumi, mobilitas Kapten Harun begitu tinggi. Kendati awalnya dari dunia sipil, Kapten Harun dikenal sebagai sosok perwira yang sangat disiplin dan loyal kepada Republik.
“Harun Kabir adalah perwira yang sangat cakap…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, eks Komandan Brigade Surjakantjana Divisi Siliwangi (1946-1947).
Kesaksian soal itu terlontar pula dari mulut Hetty Kabir. Dia masih ingat bagaimana sang ayah sering jarang pulang ke rumah karena selain sibuk bertugas juga menghindari pengawasan intelijen militer Belanda.
Baca juga: Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia
“Ayah memang menjadi incaran tentara Belanda. Begitu kritisnya situasi itu, hingga kami harus diungsikan ke rumah kerabat di Garut ” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu.
*
Pertengahan Juli 1947, militer Belanda melancarkan agresi pertamanya ke wilayah Republik. Soekrati dan ketiga putri-nya: Tina (12), Hetty (11) dan Joyce (4), tengah dalam perjalanan ke Banten (tempat sanak keluarga Soekarti) ketika pasukan kavaleri Belanda merangsek ke Sukabumi. Karena mendengar Harun sedang ada di Perkebunan Teh Bunga Melur, mereka pun menuju ke perkebunan yang ada di Desa Takokak (selatan Cianjur) itu.
Baca juga: Cerita Sukabumi Saat Agresi
Tiba di Bunga Melur, mereka akhirnya bersua dengan Harun. Suatu pertemuan yang mengharukan pun terjadi namun tidak lama karena Kapten Harun saat itu tengah melakukan rapat koordinasi dengan Letnan Kolonel Eddie Soekardi dan Mayor A.E. Kawilarang (Komandan Resimen Bogor). Saat itulah tetiba pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Belanda datang dan menembaki tempat rapat para perwira Siliwangi.
“Semuanya menjadi panik, kami berlindung ke kebun-kebun dan hutan-hutan,” ujar Hetty.
Namun Kapten Harun sempat menemui istri dan anak-anaknya. Dengan berat hati, dia meminta mereka untuk tidak meneruskan perjalanan ke Banten. Harun menyarankan agar Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce mengikuti Lurah Bisri Artawinita (Lurah Takokak) yang sudah dia minta mencarikan tempat buat mereka. Soekrati setuju.
“Setelah memeluk dan menciumi kami satu persatu, ayah lalu berlari menuju medan pertempuran bersama yang lain,” kenang Hetty.
Selanjutnya, keempat Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce bergabung dengan warga desa dan malam itu juga meninggalkan Bunga Melur menuju Cioray (sebuah kampung yang dinilai masih aman). Masih segar dalam ingatan Hetty, sepanjang jalan ia melihat rumah-rumah penduduk terbakar akibat bombardemen militer Belanda. Dalam kondisi gelap, mereka pun harus hati-hati melewati jembatan-jembatan yang sudah dirusak oleh TNI.
Baca juga: Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan
Menjelang tengah malam, sampailah rombongan pengungsi ke Cioray. Di sana, Soekrati dan ketiga putrinya sudah ditunggu oleh Harun. Karena alasan kemananan, mereka ditempatkan tersendiri oleh Lurah Bisri di sebuah dataran tinggi, tempat para penduduk berladang huma.
“Kami mendiami sebuah gubuk agak besar yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan,”kata Hetty.
*
Selama di bukit itu, Harun relatif bisa mengunjungi keluarganya secara rutin. Jika tidak sedang memimpin pasukan atau melaksanakan tugas penting, dia pasti meluangkan waktu untuk menginap di gubuk itu: bercengkarama dengan keempat perempuan yang sangat dicintainya.
Rabu malam, 12 November 1947, pintu gubuk tetiba diketuk. Begitu dibuka, masuklah Harun dengan dipopong oleh kedua pengawalnya: Letnan Dua Arifin Tisnaatmidjaja dan Sersan Mayor Soekardi. Rupanya malaria-nya yang didapnya kambuh. Setelah istirahat dan melewati masa kritis, Harun lalu menyampaikan kabar bahwa besok pagi dia harus menemui Mayor A.E. Kawilarang dan Mayor R.A. Kosasih untuk suatu tugas ke MBT Yogyakarta.
“Sepeninggalnya, ayah meminta ibu dan kami untuk tidak lagi tinggal di gubuk itu dan bergabung saja dengan para pengungsi lain di kampung,” kenang Hetty. Soekrati mengiyakan. Beberapa saat kemudian, diiringi merdunya simponi serangga hutan, mereka pun tertidur.
Sekira jam 4 dini hari, dari luar gubuk, tetiba terdengar suara derap sepatu lars dan teriakan dalam bahasa Belanda. Sadar bahwa dirinya sudah terkepung oleh musuh, Harun lalu bergegas memakai seragamnya. Hetty masih ingat, Soekrati terlihat sangat khawatir. Namun Harun cepat menenangkannya. Usai memakai seragam lengkap, seperti biasa, Harun memeluk dan menciumi satu persatu perempuan-perempuan yang dicintainya itu.
“Saat itu, saya merasakan detik-detik perpisahan selamanya dengan ayah…” kenang Hetty. Air matanya menetes.
Tak lama kemudian, sebuah seruan keras menyuruh para penghuni gubuk untuk keluar. Dengan tenang, Harun membuka pintu gubuk, seraya tangannya digandeng oleh Soekrati yang menggendong si kecil Joyce. Sementara di belakang mereka,Tina dan Hetty masing-masing tangannya dipegang oleh Letnan Arifin dan Sersan Soekardi.
Seorang sersan Belanda berpakaian tempur lengkap mendekat sambil membawa senter dan pistol.
“Kapitein Harun Kabir?!” teriaknya.
“Benar!” jawab Harun. Ada nada ketenangan di dalamnya.
Sang Sersan bule itu lantas memerintahkan Harun dan dua pengawalnya untuk memisahkan diri. Ketiganya dibariskan namun dalam posisi berhadapan (sekira 3 meter) dengan Soekrati, Tina, Hetty dan Joyce. Sambil memandang keempatnya, Harun masih sempat memainkan senyum dan membisikkan kata-kata: “Kuatlah! Jangan takut! Ada Allah…”
“Rechtsomkerrrr !!!” teriak Sang Sersan. Ketiganya lalu membalik.
“Mars!”
Seiring kata “jalan” itu, tetiba serentetan tembakan terdengar. Peluru-peluru tajam itu kemudian menghatam tubuh ketiga patriot Republik itu sekaligus mengakhiri hidup mereka. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhirnya, Harun masih sempat berteriak “merdeka”. Soekrati tercekat, keempat putrinya terisak. Hening kemudian. Asap mesiu mengepul, menusukan baunya yang mengotori udara sejuk pagi itu.
Usai memastikan ketiganya tak bernyawa, Sang Sersan lalu melangkah ke arah Soekrati. Dalam nada lembut, dia kemudian berkata dalam bahasa Belanda: “Nyonya, maafkan kami. Ini dalam situasi perang. Suami nyonya membunuh tentara kami untuk bangsa dan negaranya, kami pun terpaksa membunuhnya demi bangsa dan negara kami. Harap Nyonya mengerti…”
“Ya, saya mengerti,” kata Soekrati dalam nada tenang,”Saya hanya minta tolong kepada Sersan untuk mengangkat jenazah-jenazah itu ke dalam gubuk agar tidak didatangi binatang-binatang buas yang ada di sekitar tempat ini.”
Permintaan itu diiyakan. Usai melaksanakan permintaan Soekrati, tentara-tentara itu pun pergi. Sepeninggal mereka, Soekrati seraya menggendong Joyce bergegas menuju kampung untuk meminta bantuan. Sementara Tina dan Hetty diminta ibunya untuk menunggu jenazah-jenazah itu.
“Kamu bisa bayangkan, bagaimana perasaan saya dan Tina harus menunggui tubuh kaku ayah saya yang beberapa jam sebelumnya baru saja memeluk dan mencium kami?”kata Hetty kepada saya 5 tahun yang lalu.
*
Atas bantuan penduduk kampung, jasad-jasad itu kemudian dimakamkan di halaman gubuk. Pada 1963, jasad mereka yang sudah menjadi kerangka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cianjur. Adhie Kabir (64) masih ingat saat dikeluarkan dari bumi, sebuah cincin perak masih tersemat di tulang jari manis Kapten Harun Kabir.
“Ada ukiran HK di badan cincin itu,” kenang salah satu cucu dari Harun Kabir itu.
Beberapa tahun kemudian, keluarga besar kemudian memutuskan untuk kembali memindahkan kerangka Harun Kabir ke samping makam Raden Abung Kabir Natakusumah di Ciandam, Sukabumi. Menurut Hetty, itu dilakukan karena saat hidup, Harun pernah berpesan agar jika meninggal kelak, ia ingin jasadnya disandingkan dengan jasad ayahnya tercinta.
Baca juga: Yang Gugur di Karang Kedaung