Masuk Daftar
My Getplus

Ranjau Siliwangi Usai Renville

Tidak setuju dengan Perjanjian Renville, para republiken diam-diam menanam “bom waktu” di Jawa Barat.

Oleh: Hendi Johari | 17 Jan 2020
Para prajurit dari Divisi Siliwangi dan keluarga siap berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta (Arsip Nasional Belanda)

Berita yang dilansir oleh De Locomotief pada 22 Februari 1949 sempat membuat heboh. Harian berbahasa Belanda yang terbit di Batavia itu menyebutkan bahwa pada 1 Januari 1949, sejatinya kaum republiken akan melakukan teror di seluruh Jawa Barat. Namun karena dokumen-dokumen rencana tersebut kadung jatuh ke tangan militer Belanda lewat suatu operasi penyergapan di Gunung Dora Desa Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya) pada 25-26 Oktober 1948, aksi serangan umum itu berhasil digagalkan.

Baca juga: Drama di Gunung Dora

Panglima KNIL Jenderal S.H.Spoor sendiri diberitakan naik pitam. Dalam buku karya sejarawan militer J.A. de Moor, Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia, sang panglima menyatakan bahwa upaya-upaya teror yang dilakukan para pengikut Republik di wilayah Belanda adalah bukti bahwa TNI tidak pernah berusaha loyal terhadap suatu perjanjian damai.

Advertising
Advertising

Atas penemuan itu, intelijen militer Belanda menuduh Brigade Tjitaroem  sebagai otak di balik rencana-rencana teror di Jawa Barat. Siapakah mereka?

Pasca diberlakukannya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, Divisi Siliwangi harus meninggalkan basisnya di Jawa Barat dan menempati basis baru mereka di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Keputusan itu diterima setengah hati oleh pihak tentara.

Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi), kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan salah seorang perwira intel dari Divisi Siliwangi (Letnan Kolonel Soetoko) untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan.

Lewat Soetoko-lah kemudian pada 18 Januari 1948, berdiri Brigade Tjitaroem. Brigade ini kemudian membawahi unit-unit dari beberapa batalyon Divisi Siliwangi yang tidak ikut hijrah. Di antaranya: Batalyon Soegih Arto (Djaja Pangrerot) di wilayah Cililin, sebagian anggota Batalyon Soedarman di Tasikmalaya, Batalyon Hadi di Sumedang, sebagian Batalyon Kemal Idris di Sukabumi-Cianjur, Satuan Pemberontak 88 pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri di Purwakarta-Karawang dan Lasjkar Wanita Indonesia (LASWI).

Baca juga: Pencipta Neraka di Barat Jawa

Dalam perkembangan berikutnya, banyak kesatuan lasykar yang ikut bergabung dengan Brigade Tjitaroem. Mereka terdiri dari Laskar Rakyat di Bandung Timur dan Lembang, sebagian anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Ujungberung, sebagian anggota Hizbullah pimpinan Zainal Abidin di Limbangan dan pimpinan Aceng Kurnia di Cicalengka, Sabilillah pimpinan Enoch di Wanaraja dan Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG) di Garut-Tasiklmalaya.

Khusus untuk batalyon-batalyon yang berasal dari Divisi Siliwangi, peleburan ke Brigade Tjitaroem bersifat perintah resmi. Sebagai contoh Letnan M. Adnan misalnya. Anggota Brigade Tjitaroem dari unsur Batalyon Kemal Idris itu masih ingat bagaimana saat dirinya sedang bersiap-siap ikut hijrah, tetiba dipanggil oleh Komandan Brigade Infanteri 2 (Brigif 2) Soerjakantjana Letnan Kolonel A.E.Kawilarang ke Sukabumi. 

“Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949.

Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.

Baca juga: Berjudi di Atas Renville

Instruksi itu dilaksanakan secara baik oleh para prajurit yang ditinggalkan di Jawa Barat. Menurut BM. Permana (95), eks anggota Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi, saat melakukan operasi militer di “daerah Belanda” mereka berlaku laiknya sebuah pasukan liar.

“Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi sebagai Kesatuan Patriot Bangsa. Kalau Belanda sih menyebut kami sebagai “rampoker,” kata BM. Permana

Tak ayal, adanya “kelompok-kelompok liar” itu ibarat ranjau yang ditinggalkan oleh Divisi Siliwangi untuk Belanda. Usai Perjanjian Renville diterapkan, alih-alih bisa beristirahat, tentara mereka justru semakin bekerja keras mengamankan wilayahnya masing-masing. Praktis Jawa Barat menjadi zone gerilya tak terbatas bagi para pejuang Republik yang sengaja ditinggalkan.

Selain penghadangan dan penyerangan pos-pos militer Belanda, aksi penculikan  dan pembunuhan terhadap orang-orang sipil yang dianggap pro Belanda pun berlangsung dalam intensitas tinggi. Itu terutama terjadi di Karawang, Purwakarta dan Garut.

Baca juga: Aksi Militer Belanda Menghabisi SP 88

 

TAG

sejarah-revolusi divisi-siliwangi

ARTIKEL TERKAIT

Secuplik Kisah Walikota Bandung yang Terlibat G30S Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Sang Jenderal Jadi Tukang Nasi Orang-Orang Rawagede Jenderal Spoor dan Peristiwa Sulawesi Selatan Insiden Rawagede di Mata Jenderal Spoor Teror Sampar Ditakuti Tentara Belanda Barisan Wanita Pelatjoer, Penyebar Bakteri di Markas Tentara Belanda Kubangan Darah Korban Pasukan Khusus Belanda Solidaritas Prajurit India Untuk Indonesia Merdeka